Mubadalah.id – Term ”ulama” dalam konteks kebudayaan Indonesia dimaknai secara khusus. Ia adalah gelar yang diberikan kepada orang-orang yang dipandang mengerti dan memahami ilmu-ilmu agama Islam.
Hal itu biasanya terbukti dengan kemampuan seseorang membaca al-Qur’an dan “kitab-kitab kuning”. Kitab-kitab ini umumnya berisi ilmu-ilmu fikih, tafsir, hadist, tauhid, dan sejenisnya yang tertulis oleh para tokoh Islam abad pertengahan.
Dengan keahliannya dalam keilmuan agama tersebut ulama juga acap ia pahami sebagai pemimpin/tokoh agama. Ulama adalah juga agen perubahan sosial.
Dalam bacaan antropologis yang sederhana, ulama di Indonesia biasanya tampil dengan pakaian sarung, peci, sorban, atau tutup kepala yang lain.
Tutup kepala ini, konon, merupakan ciri yang meneguhkan sosoknya sebagai ulama. Tanpa aksesori ini unsur wira’i (kehormatan) pada diri ulama menjadi berkurang.
Ulama juga terkesan sebagai orang yang rajin beribadah, banyak membaca al-Qur’an, berzikir, dan pandai berdoa. Mereka menjadi rujukan dalam setiap urusan yang berkaitan dengan agama, termasuk memberi fatwa.
Terminologi tersebut tentu saja telah mereduksi makna genuine dari ulama. Ulama adalah kata jamak (plural) dari ‘alim, yakni orang yang mengerti, orang yang tahu tentang banyak bidang ilmu.
Kata lain yang semakna dengan ulama adalah “ulu al-‘ilm” (para pemilik ilmu pengetahuan), “ulu al-albab” (pemilik ketajaman pikiran) dan “ulu al-abshar” (pemilik pandangan yang jauh).
Pada masa awal Islam sebutan ulama ditujukan kepada orang-orang yang tidak hanya menguasai ilmu-ilmu keagamaan (diniyyah). Tetapi juga ilmu-ilmu secara lebih luas (ilmu umum), seperti fisika, kedokteran, astronomi, dan ilmu-ilmu humaniora.
Bidang-bidang keilmuan ini pada masa lalu tidak dihadapkan secara dikotomis. Al-Qur’an menyatakan:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam merupakan tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang mempunyai pikiran yang mendalam.”
“Yakni orang-orang yang senantiasa mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi. (Mereka kemudian berkata), ’Wahai Tuhan, tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau. Maka jauhkan aku dari siksa neraka.”(QS Ali Imran [3]: 190).