Mubadalah.id – Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan obrolan seputar pernikahan anak. Pembahasan itu muncul sejak berlangsungnya pernikahan Zizan (19) dan Syifa (17). Mereka adalah tiktokers dengan followers puluhan ribu. Pernikahan itu menjadi pembicaraan netizen lantaran usia Syifa mereka nilai masih di bawah umur.
Merespon pernikahan putrinya yang banyak dikomentari netizen, ibu dari mempelai perempuan memberikan tanggapan dalam akun instagramnya @bunda_aliyya. Ia menyatakan bahwa pernikahan tersebut mereka lakukan atas dasar restu keluarga dan keyakinan agama. Ia juga mengaitkan pernikahan tersebut dengan tokoh-tokoh agama zaman dahulu yang melangsungkan pernikahan di bawah umur.
Alasan yang ia bangun atas dalih hak menentukan nasib sendiri dan deskripsi agama sangat sering kita jumpai untuk membenarkan pernikahan anak. Tidak sedikit yang akhirnya mengamini dan menganggap pernikahan anak adalah hal yang benar. Padahal, alasan itu perlu ditinjau secara kritis agar tidak menimbulkan sesat pikir atau logical fallacy. Berikut adalah beberapa alasan yang kerap dijadikan dalih untuk pembenaran pernikahan anak:
Melangsungkan pernikahan adalah hak setiap orang
Sekilas pernyataan ini benar, tapi ketika kita kaitkan dengan konteks yang terjadi dalam pernikahan Zizan dan Syifa, pernyataan itu perlu untuk kita kritisi. Mereka adalah influencer yang memiliki banyak pengikut. Kita sadari atau tidak, tindakan yang mereka ambil akan mempengaruhi pandangan orang banyak dalam mengartikan pernikahan.
Bagi pengikut yang sudah memahami resiko pernikahan anak tentu tidak akan terbujuk. Tapi bagi pengikut “awam” apalagi anak-anak di bawah umur. Tindakan itu bisa kita anggap sebagai kriteria ideal untuk menikah. Normalisasi pernikahan anak akan terjadi.
Berdasarkan data UNICEF 2023, Indonesia menempati peringkat ke-4 di dunia untuk jumlah kasus perkawinan. Perkiraan jumlah anak perempuan yang melakukan pernikahan di bawah umur menembus angka 25,53 jiwa. Satu dari Sembilan anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun.
Data itu amat memprihatinkan karena pernikahan anak banyak menimbulkan masalah yang kompleks. Dalam undang-undang nomor 16 tahun 2019 negara berupaya mengatasi masalah tersebut dengan menetapkan batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun baik bagi pria maupun perempuan. Hal itu kita lakukan untuk memutus resiko perkawinan anak dan memastikan sang mempelai sudah “matang” baik secara jiwa maupun raga.
Sudah semestinya, publik figur dengan ribuan pengikut mempertimbangan keputusan yang akan memengaruhi banyak orang. Memang benar, siapapun memiliki hak untuk mengambil keputusan atas hidupnya. Tetapi ketika menabrak aturan negara juga nilai yang masyarakat tetapkan, akan lebih baik jika mempertimbangkan kembali keputusan yang akan kita ambil.
Menghindari Zina
Zina kita artikan sebagai perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan. Para pendukung pernikahan anak menganggap pernikahan adalah solusi untuk menghindari zina. Apakah narasi itu tepat?
Dalam sebuah penelitian yang Hafridi Khaidir dkk lakukan pada tahun 2019, mereka menemukan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergaulan bebas. Di antaranya rendahnya kontrol diri, rendahnya kesadaran remaja terhadap bahaya pergaulan bebas, dan nilai-nilai keagamaan yang cenderung kurang.
Selain itu, gaya hidup yang kurang baik, rendahnya taraf pendidikan keluarga, keadaan lingkungan keluarga yang kurang harmonis, minimnya perhatian orang tua, serta pengaruh teman sebaya dan pengaruh internet.
Melihat hasil penelitian di atas, dapat kita artikan bahwa dorongan melakukan seks bebas bukan hanya persoalan hasrat seksual. Tetapi juga kemampuan dalam mengontrol diri dan pengaruh lingkungan sekitar. Memilih jalan pernikahan tentu bukan jawaban yang tepat. Tindakan itu hanya memindahkan satu masalah ke masalah lainnya. Sebab, pernikahan anak mengandung resiko terjadinya kekerasan seksual, penelantaran anak, perceraian dini, perdagangan manusia, hingga kematian.
Akan lebih masuk akal jika upaya untuk menghindari zina kita lakukan dengan mengoptimalkan pendidikan kesehatan reproduksi (KESPRO) yang komprehensif. Tujuannya agar anak muda bisa memahami dampak dari perbuatan zina secara ilmiah. Lalu melakukan sosialisasi konsep parenting yang ramah bagi anak, dan menyediakan ruang yang luas juga bervariatif bagi anak muda untuk mengoptimalisasikan potensinya.
Meneladani Sunnah Rasul
Alasan yang paling banyak mereka gunakan untuk menormalisasi pernikahan anak adalah karena Rasul menikahi Aisyah saat masih dibawah umur. Tentu data itu tidak bisa kita telan bulat-bulat di era saat ini. Kondisi kultural dan sosial antara zaman Rasul dan sekarang amat berbeda.
Pada zaman itu, belum ada batasan usia pernikahan yang ditetapkan oleh agama maupun masyarakat. Pernikahan yang dilakukan juga terkait pertimbangan politik untuk menguatkan ukhuwah islam. Dan untuk persoalan umur, beberapa kalangan masih berselisih pendapat apakah Aisyah saat itu berumur 6 atau 15 tahun. Jadi, alasan yang mereka gunakan dengan menyandarkan pada sunah Rasul sangat lemah.
Agama tidak lepas dari konteks ruang dan waktu. Nash yang muncul baik dari kitab suci maupun hadis selalu membutuhkan tafsir yang kontekstual juga berpijak pada nilai rahmatan lil’alamin.
Pada intinya, cara berpikir yang mudah menyamakan antara Zaman Rasul dan saat ini tanpa melakukan upaya kontekstualisasi adalah tindakan yang kurang tepat. “Cocoklogi” ayat atau hadis yang kita jadikan pembenaran kerap melahirkan dampak yang merugikan bagi berbagai pihak. Termasuk misalnya pada ayat-ayat mengenai poligami yang merugikan perempuan.
UNICEF mencatat bahwa perkawinan anak seringkali membuat perempuan tak mendapatkan pendidikan layak dan layanan kesehatan yang memadai. Bahkan, di negara yang masih bias gender, status pernikahan bagi perempuan di bawah umur seringkali menjadi hambatan untuk mendapatkan kesempatan kerja dan optimalisasi potensi diri.
Kita bisa menengok lebih dalam dampak perkawinan anak dalam novel Perempuan di Titik Nol (1977) gubahan Nawal El Saadawi, Homeless Bird (2012) gubahan Gloria Whelan dan film dokumenter berjudul Wadon Ora Didol (2022) garapan Watchdoc Documentary. []