Dari sekian banyak undang-undang di negeri ini, apakah teman-teman familiar dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2018? Jika belum, CSave (Civil Society Againts Violent) sebuah lembaga jejaring organisasi masyarakat sipil yang berkolaborasi menangani ekstrimisme kekerasan di Indonesia, regional dan global membuat sebuah buku berjudul “Perisaiku”.
Buku ini mengajak pembacanya mengenal dan memahami undang-undang tentang tindak pidana terorisme begitu mudah dengan ilustrator dan narasi yang ringan. Dalam buku ini, dijelaskan tokoh Jalu bertemu dengan Bripda Damai, seorang Bripda yang pernah menangani kasus Pak Hitut salah satu anggota ISIS yang kini sedang menjalani masa hukuman.
Dalam buku ini, Bripda Damai menjelaskan alasan mengapa Pak Hitut ditangkap sesuai dengan UU No. 5/2018 Pasal 6 tentang definisi tindak pidana terorisme yaitu setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban, hingga mengakibatkan kerusakan.
Masyarakat sipil dalam hal ini sangat berperan apalagi jika masyarakat merasa curiga dan terganggu kemudian kooperatif melaporkan tindakan-tindakan mencurigakan seperti menarik diri dari lingkungan, menyerang ideologi atau keyakinan orang lain yang berbeda, meracik bom, memperdagangkan bahan peledak dan senjata lainnya.
Biasanya mereka mendapatkan dana ini berasal dari donasi dan penggalangan dana. Oleh karena itu dalam undang-undang ini pada pasal 12 dijelaskan siapapun yang terlibat dan mengorganisasikan tindak pidana terorisme akan ditangkap. Mulai dari anggota, perekrut, pendiri, pemimpin, pengurus korporasi terorisme.
Bahkan orang yang mengadakan pelatihan militer untuk aksi terorisme hingga membuat, menyebarluaskan tulisan atau dokumen baik elektronik maupun nonelektronik, mengumpulkan, menampung dan mengirimkan orang untuk mengikuti pelatihan militer ini pun dapat terjerat pasal pidana terorisme. Oleh karena itu, bijak menggunakan sosial media pun penting untuk dilakukan.
Setiap tindak pidana terorisme mendapatkan sanksi hukuman mulai dari 3-20 tahun. Tidak hanya itu, tren aksi terorisme yang mengikutsertakan keluarga pun jika pelaku tertangkap, akan mendapatkan tambahan sepertiga dari hukuman yang seharusnya.
Jika seseorang mengetahui ada tindakan terorisme di lingkungan sekitar dan diancam hingga diintimidasi oleh pelaku terorisme, jangan takut terhadap gertakan mereka karena undang-undang ini khususnya pasal 20 menjadi pelindung bagi siapapun yang mengalami hal tersebut.
Justru apabila seseorang mengetahui namun takut, dan pada akhirnya memberikan kesaksian palsu atau alat bukti palsu, hingga merintangi petugas dalam penyidikan akan dikenakan sanksi pidana yang tertulis dalam pasal 21-22.
Selain membahas tentang pelaku, undang-undang ini juga menjelaskan tentang perlindungan terhadap korban terorisme mulai dari bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, santunan hingga kompensasi yang tertulis dalam pasal 35-36.
Oleh karenanya, sebagai warga yang baik kita harus menguatkan lingkungan agar kekerasan ekstrem dapat diminimalisir dan dilumpuhkan aktivitasnya. Hal ini bisa dengan beragam cara beberapa diantaranya adalah aktif dalam kegiatan warga, seluruh warga harus terdaftar jelas mulai dari tingkat rukun warga (rw), membangun kesadaran dengan terus menambah pengetahuan, serta mendukung program pemerintah.
Saat ini tindakan preventif yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal terorisme adalah kesiapsiagaan nasional dengan sistem deteksi dini, kontra radikalisasi dengan narasi-narasi perdamaian, dan juga deradikalisasi melalui tokoh-tokoh masyarakat maupun agama. Negara juga membuat undang-undang ini agar masyarakat dapat menggunakannya sebagai perisai diri dari bahaya terorisme. []