Mubadalah.id – Tanggal 10 Oktober merupakan hari peringatan kesehatan mental. Tentu peringatan ini sangat berarti, terutama bagi anak-anak muda seperti aku. Sebab, dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih, membuat Gen Z semakin mudah merasa insecure terhadap tubuhnya sendiri.
Hal ini disebabkan dengan terlalu banyak konten yang memperlihatkan betapa berharganya seseorang yang mempunyai tubuh putih, langsing dan tinggi. Sehingga semua orang berlomba-lomba untuk mempunyai penampilan seperti itu.
Ini lah yang juga terjadi di sekitarku, tidak sedikit teman-teman seusiaku yang melakukan berbagai cara untuk membuat tubuhnya terlihat putih, langsing dan menarik di mata orang lain. Bahkan mereka rela menghabiskan uangnya untuk membeli berbagai merk krim pemutih, perawatan atau membeli obat pelangsing.
Di sisi lain, di media sosial aku juga melihat ada banyak artis yang melakukan hal yang sama. Padahal jika dilihat-lihat sebetulnya tubuhnya, mulai dari atas rambut hingga ujung kaki sudah sangat sempurna.
Rasa Insecure Tinggi
Tetapi karena rasa insecure yang tinggi, banyak dari mereka yang terus melakukan perubahan pada berbagai anggota tubuhnya. Tentu selain ingin terlihat menarik, mungkin juga sebagai penunjang karir mereka.
Tetapi yang sangat dikhawatirkan adalah ketika ada orang yang stres atau bahkan depresi karena rasa insecure tersebut. Misalnya selebritas terkenal beranama Megan Fox. Dalam wawancaranya bersama Illustrated, ia mengungkapkan bahwa dia tidak pernah sekalipun mencintai tubuhnya sendiri. Padahal kalau kita lihat dengan seksama Megan Fox itu udah cantik sempurna banget.
Tentu Megan Fox bukan satu-satunya selebritas yang mengalami hal tersebut. Ada banyak artis Indonesia yang melakukan operasi plastik dan mengubah beberapa anggota tubuhnya karena merasa kurang percaya diri. Meskipun kalau di media bilangnya sih karena alasan kesehatan.
Tapi apapun alasannya, melansir dari magdalene.co, kondisi seperti ini bisa jadi masuk pada gangguan kesehatan mental yang disebut dengan “gangguan dismorfik tubuh” atau BDD (body dysmorphic disorder). Sebab banyak orang dengan BDD yang menjalani prosedur bedah plastik untuk “memperbaiki” kekurangan yang mereka rasakan.
BDD adalah kondisi kesehatan mental parah yang menyebabkan tekanan yang sangat besar dan mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi sehari-hari. BDD juga menjadi salah satu penyebab tingkat bunuh diri tertinggi dari semua kondisi kesehatan mental.
Mengenal Gangguan Dismorfik Tubuh
Masih dari sumber yang sama, BDD merupakan obsesi seseorang terhadap beberapa aspek dari tubuh atau penampilannya yang menurut mereka sangat cacat, padahal sebenarnya orang lain tidak melihat ada sesuatu yang cacat.
Orang dengan BDD biasanya akan mengalami ketidakpuasan atas penampilannya selama beberapa jam sehari. Selain itu, mereka juga akan mengalami perasaan terganggu dan tidak tenang dengan kekurangan tersebut.
Sehingga hal tersebut akan menyebabkan tekanan emosional yang ekstrem dan masalah yang serius dalam kehidupannya sehari-hari. Misalnya dia akan merasa bahwa orang lain memperhatikan, menilai, atau membicarakan kekurangan yang mereka rasakan.
Orang dengan BDD juga dapat mengalami perasaan jijik, cemas, dan rendah diri yang ekstrem, serta pikiran untuk bunuh diri karena kekurangan yang mereka rasakan sangat mengganggu. Maka tidak heran, jika orang dengan BDD akan menarik diri dari lingkungan sosial. Bahkan beberapa di antaranya mungkin tidak mau meninggalkan rumah sama sekali.
Cara Mengatasi BDD
BDD sebetulnya memerlukan perawatan dari ahli kesehatan mental. Namun melansir dari kalbemed.com ada beberapa cara yang dapat dilakukan sendiri untuk membantu melancarkan terapi yang sedang ia jalani, seperti:
Pertama, tetap disiplin mengikuti rencana terapi. Tidak melewatkan sesi terapi, meskipun merasa tidak ingin melakukan terapi. Kedua, pelajari mengenai gangguan yang dialami. Mempelajari apa itu BDD dapat memberikan semangat untuk mengikuti proses terapi.
Ketiga, perhatikan warning signs. Bekerjasamalah dengan penyedia layanan kesehatan atau tenaga kesehatan (psikiater) untuk mempelajari apa yang mungkin memicu timbulnya gejala. Buatlah rencana agar mengetahui apa yang harus ia lakukan jika gejala tersebut ia rasakan kembali.
Keempat, melatih strategi/latihan pengendalian diri yang sudah ia pelajari. Di rumah, secara rutin latihlah diri sendiri apa yang sudah ia pelajari selama terapi agar menjadi kebiasaan.
Kelima, hindari alkohol dan narkoba. Keenam, tetap aktif melakukan aktivitas. Ketujuh, melakukan hobi yang ia sukai atau menulis dalam buku/journaling. Kedelapan, ikut dalam support group agar terasa lebih ringan dan yang terakhir, belajar untuk menenangkan diri dan mengelola stres. []