Mubadalah.id – Eleanor Roosevelt mengatakan bahwa, No one can make you feel inferior without your consent. “tidak ada seorang pun yang berhak membuatmu merasa rendah diri kecuali tanpa persetujuanmu.” Bagi penulis, kutipan tersebut sesuai dengan kasus guyonan atau humor yang kadang kala bisa menyakiti hati pendengarnya.
Ketika Humor Menyakitkan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, humor bermakna sesuatu yang lucu dan keadaan yang menggelitik hati. Dengan demikian, humor sebenarnya bisa menjadi faktor penyembuh “the best medicine” bagi orang yang sakit hati. Namun realitanya, humor juga bisa menjadi penyebab timbulnya rasa sakit hati.
Humor ketika bersinggungan dengan sarkasme, panggilan nama, ejekan penghinaan, intimidasi, bisa menyakitkan pendengar. Bahkan, menjadi “toxic” di berbagai situasi.
Tentunya, menggambar sebuah garis yang membedakan antara humor dalam dakwah yang lucu dan tidak lucu tidak semudah kedengarannya. Kemudian apa yang selayaknya bisa kita lakukan untuk mengurangi humor yang menyakitkan orang lain? Tawaran solusi tersebut bisa pembaca temukan di akhir tulisan ini.
Humor Sebagai Elemen dalam Dakwah
Humor merupakan salah satu media penyampaian dakwah di era kontemporer. Melalui sarana humor, sebuah dakwah akan lebih menarik dan tidak terkesan monoton. Selain itu, humor juga dapat mencairkan suasana ketika sedang berdakwah.
Maka tidak heran, para pendakwah sering menyelingi dakwah mereka dengan cerita-cerita jenaka, seperti K.H. Anwar Zahid, Gus Kautsar, Ustadz Abdus Somad, Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Hanan Attaki, dan Gus Miftah. Dengan demikian, menjadi sebuah hal yang lumrah bahwa humor selalu hadir di majelis-majelis ilmu di Indonesia.
Akhir-akhir ini, Gus Miftah sering dicerca sebab guyonannya, untuk tidak mengatakan hinaan, kepada salah satu penjual minuman di tengah kerumunan jamaah. Ia menyampaikan kata-kata yang mungkin bagi beliau wajar dan bagi pendengar tidak wajar atau menyakitkan. Sebenarnya, kejadian yang semisal juga pernah terjadi pada majelis milik Gus Iqdam. Namun untuk kasus yang kedua jarang tersorot.
Penilaian atas perasaan orang lain tentu tidak bisa kita ukur secara mutlak, karena kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengetahui perasaan seseorang kecuali dengan adanya kesaksian dari pelaku atau sosok yang kita ajak bercanda itu sendiri.
Kita hanya bisa menduga bahwa humor yang Gus Miftah lemparkan bermakna menyakitkan atau menyenangkan sesuai dengan kondisi dan gesture dari pihak-pihak yang terlibat, semisal mimik wajah dari pedagang minum yang diajak bercanda.
Etika Pendakwah dalam Menyikapi Humor
Etika merupakan elemen yang penting dalam Islam. Bahkan, etika sering kali ditempatkan lebih tinggi daripada ilmu itu sendiri. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan beberapa etika yang bisa dikedepankan dalam melemparkan guyonan sekaligus cara menangkapnya secara baik.
Pertama, memahami situasi dan kondisi pendengar. Ketika humor di lemparkan kepada seseorang, maka menjadi sebuah keharusan untuk mempertimbangkan bagaimana kondisi dari si penerima humor?, siapa dia?, bagaimana latar belakangnya? Bagaimana keadaan di lingkungan saat itu? Apakah humor tersebut bisa menyakiti hatinya?
Pastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah kita pikirkan terlebih dahulu, karena kondisi dan situasi yang berbeda bisa mengubah makna yang terkandung dari humor. Bisa jadi yang awalnya menyenangkan menjadi bullying yang bisa menyakitkan.
Kedua, melakukan konfirmasi pada diri kita sendiri. Sebagai pendakwah secara khusus, ataupun masyarakat secara umum harus mengonfirmasi jika kita berada di posisi itu, apakah kita sendiri bisa nyaman dengan guyonan yang kita berikan? Upaya menempatkan diri sebagaimana lawan bicara akan membantu kita agar bisa menyortir setiap perkataan yang kita sampaikan.
Etika Jamaah dalam Menyikapi Humor
Adapun bagi para jamaah terdapat beberapa etika yang bisa kita kedepankan saat mendengar humor yang dilemparkan oleh pendakwah. Pertama, memahami situasi dan kondisi pembicara, sekaligus karakter yang ia miliki. Sebab, terkadang humor itu bisa menyakitkan dan menyenangkan sesuai dengan persepsi kita atas sosok yang menyampaikan.
Kedua, memahami humor berdasarkan makna eksplisit dan implisit. Terkadang, guyonan yang dilemparkan oleh pembicara menggunakan makna majaz. Oleh karena itu, tidak bisa setiap perkataannya dimaknai sesuai dengan makna tertulis, namun juga melihat konteks kepada siapa ia menyampaikan dan seperti apa maksud yang sebenarnya ia inginkan.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menggurui sosok-sosok tertentu dan tidak juga untuk menghakiminya. Penulis di sini bersifat netral dan sekedar merefleksikan kejadian yang ramai dibicarakan melalui pandangan penulis, dan mengarahkan tawaran kepada siapa pun yang merasa perlu atas pembacaan yang bersifat netral. Wallāhu A’lām. []