Mubadalah.id – Desember, selain identik dengan akhir tahun, masyarakat juga menganggapnya sebagai bulan Gus Dur dan momen merindu pada panutan tokoh bangsa tersebut. Karena pada bulan ini, ulama besar yang dikagumi sejuta umat berpulang ke pangkuan Ilahi. Sebagaimana kita tahu, Gus Dur menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, pada Rabu 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB.
Meskipun sudah 15 tahun yang lalu Gus Dur telah meninggalkan kita semua. Namun, beliau tetap hidup dalam ingatan kita melalui pikiran, pelajaran, teladan, dan jasa-jasanya. Cucu kinasih dari KH Hasyim Asy’ari ini memang meninggalkan banyak kisah inspiratif, baik dari masa kepemimpinan maupun kehidupan pribadinya.
Mengenang Gus Dur, sebagai seorang ulama dan tokoh bangsa, beliau memperjuangkan hak-hak kaum yang lemah, kebebasan beragama, dan persatuan bangsa. Presiden RI ke-4 ini juga terkenal karena kecerdasannya, pemikirannya yang luar biasa, serta kemampuan untuk melihat sesuatu dari berbagai perspektif yang berbeda.
Kehidupan pribadi Gus Dur yang sederhana, humoris, dan penuh kehangatan membuat banyak orang merasa dekat dengannya. Mengenang Gus Dur banyak kisah dari sahabat dan keluarga yang menggambarkan betapa besar hati Gus Dur, serta bagaimana ia selalu berusaha untuk membawa kedamaian dan toleransi di tengah keberagaman umat.
Kisah Inspiratif Gus Dur
Salah satu dari banyaknya kisah inspiratif Gus Dur adalah persahabatan lintas iman dengan Profesor Pemikiran Katolik dan Interreligious Dialogue, Temple University, U.S. Leonard Swidler.
Gus Dur meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, keduanya memiliki satu kesamaan dalam nilai-nilai spiritual yang mereka junjung, yaitu kecintaan pada Tuhan. Melalui spirit welas asih dan komitmen untuk hidup berdampingan dalam kebaikan, tanpa memandang perbedaan agama, ras, atau latar belakang lainnya.
Prof Len Swidler menceritakan bahwa perjumpaan pertamanya dengan Gus Dur adalah pada pertengahan tahun 1990-an. Ketika bapak bangsa tersebut datang ke Dept Agama, Temple University, di kota Philadelpia, Pennsylvania, Amerika Serikat. Yakni untuk menemui Pak Alwi Shihab yang sedang menempuh studi PhD-nya. Sejak saat itu juga, Gus Dur sering datang ke Amerika untuk pergi berobat ke rumah sakit mata.
Ketika keduanya bertemu, Len memberi tahu Gus Dur tentang Trialog Yahudi, Kristen, dan Muslim yang telah ia jalankan selama bertahun-tahun, sehingga mereka merencanakan untuk mengadakan trialog berikutnya di Indonesia. Ketika Len datang ke Indonesia ternyata Gus Dur telah menjadi Presiden saat itu. Sebagai konsekuensinya, dialog antar umat beragama tersebut akhirnya berlangsung di Istana Presiden.
Novel My Name is Asher Lev
Pada kesempatan tersebut, Gus Dur juga meminta Len Swidler untuk melakukan program dua minggu untuk guru-guru sekolah dasar se-Indonesia bersama dengan Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, dan UNICEF. Program tersebut, salah satunya adalah mengajar dan melatih para guru dengan deep-dialogue dan critical-thinking.
Ketika itu, para guru mengaku sangat antusias dengan program yang ia jalankan. Karena hal tersebut, Len berinisiatif untuk menghubungi Asia Bank dan The World Bank untuk mendapatkan dana lebih yang ia gunakan untuk melatih para profesor-profesor di bidang pendidikan.
Presiden Dialogue Institute itu mengungkapkan bahwa Gus Dur juga pernah lagi singgah ke Temple University untuk menemuinya, ketika dalam perjalanan ke Israel untuk menerima hadiah dari Israel. Persahabatan itu semakin erat dengan perbincangan-perbincangan santai di antara keduanya.
Suatu waktu, Gus Dur pernah mengatakan kepada Len bahwa Chaim Potok, seorang penulis novel Yahudi merupakan novelis favoritnya. Di mana ternyata Potok tinggal hanya beberapa blok dari rumahnya. Len juga pernah bekerja sama dalam politik demokratis bersama istri Potok.
Dan salah satu Novel favorit Gus Dur karangan Chaim Potok adalah My Name is Asher Lev. Len berpikir bahwa Gus Dur melihat sesuatu pada dirinya dalam karakter tokoh utama novel itu, Asher Lev.
Hingga, ketika mendengar kabar wafatnya Gus Dur pada Desember tahun 2009. Len Swidler yang sangat mencintai Gus Dur merelakan datang ke Indonesia untuk perjumpaan terakhir dan mengucapkan salam perpisahan kepada sahabat baiknya ini.
Kunjungan ke Pesantren Tebuireng
Professor dari Amerika ini juga menceritakan bahwa beberapa kali ia telah berkunjung ke Pesantren Tebuireng Jombang. Kunjungan tersebut dalam acara haul KH. Abdurrahman Wahid. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya persahabatan mereka, yang lebih dari sekadar hubungan antar pribadi, tetapi juga hubungan yang dibangun atas dasar saling menghormati dan mencintai.
Gus Dur meninggalkan banyak pelajaran berharga yang terus hidup dalam ingatan banyak orang. Karena itu, kita sebagai generasi muda yang hidup di masa ini, seharusnya mau mengenal dan mewarisi buah pikiran dan prinsip-prinsip Gus Dur. Meskipun tidak secara langsung, yaitu dengan cara membaca tulisan-tulisan atau catatan yang menceritakan kehidupan dan pemikiran beliau.
Sebab keteladanan Gus Dur menjadi sangat penting, terutama di tengah krisis moralitas yang terjadi di bangsa ini, di mana perbedaan sering kali memperlebar jurang pemisah antar sesama. Dengan mengenal dan mengingat pelajaran hidup dari Gus Dur, kita dapat terus merawat nilai-nilai luhur yang beliau tanamkan. Wallah a’lam. []