Mubadalah.id – Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, yang lebih kita kenal dengan nama Al-Ghazali. Beliau adalah seorang ulama besar yang lahir di Thus, Khurasan (Iran) pada tahun 450 H/1058 M. Al-Ghazali tidak hanya terkenal sebagai seorang ahli fiqih, filsafat, teologi, dan sufi, tetapi juga sebagai seorang pemikir yang berperan besar dalam dunia politik Islam.
Pemikiran politiknya, yang tertuang dalam berbagai karya, terutama dalam Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati al-Muluk, memberikan wawasan mendalam tentang konsep kepemimpinan yang adil dan bijaksana.
Pemikiran Al-Ghazali tetap relevan hingga hari ini, terutama dalam konteks kepemimpinan negara dan pengelolaan masyarakat yang adil, yang berhubungan erat dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebaikan untuk rakyat. Inilah nasihat Imam Al-Ghazali untuk para politisi.
Pemikiran politik Al-Ghazali dapat terlihat sebagai respons terhadap krisis moral dan sosial yang masyarakat Muslim hadapi pada masanya. Beliau tidak hanya mengajarkan tentang cara beribadah yang benar, tetapi juga memberikan pedoman bagi penguasa untuk menjalankan kepemimpinan yang adil.
Dalam karyanya, Ihya’ Ulumuddin, khususnya pada Juz II, Al-Ghazali menekankan bahwa kerusakan rakyat berawal dari kerusakan pemimpin mereka. Inilah nasihat Imam Al-Ghazali untuk para politisi.
Ia menulis, “Sesungguhnya kerusakan kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan pemimpin, dan kerusakan pemimpinnya disebabkan oleh kerusakan para ulamanya, dan kerusakan ulamanya disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan atau tahta, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurusi rakyat kecil apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala persoalan” (Ihya’ Ulumuddin II, hal. 381).
Hubungan Antara Pemimpin dan Masyarakat
Al-Ghazali mengajukan sebuah pandangan yang penting dalam memahami hubungan antara pemimpin dan masyarakat. Ia menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi dalam masyarakat tidak dapat terpisahkan dari perilaku dan kepemimpinan para penguasa. Ketika pemimpin tidak menjalankan tugasnya dengan adil, tidak melindungi rakyatnya, dan tidak menjunjung tinggi prinsip-prinsip moral dan etika, maka rakyat yang menjadi korban pertama.
Hal ini terjadi karena pemimpin memiliki kekuasaan besar dalam mengarahkan kebijakan, baik yang menyangkut ekonomi, sosial, maupun politik. Keputusan-keputusan yang diambil oleh penguasa yang zalim akan menimbulkan penderitaan bagi rakyat kecil. Menciptakan ketidakadilan, dan merusak struktur sosial. Oleh karena itu, pemimpin yang tidak adil akan mengakibatkan kerusakan besar dalam masyarakat.
Pandangan ini rasanya hampir mirip dengan dinamika politik modern, di mana banyak negara yang mengalami ketidakstabilan sosial dan ekonomi akibat kepemimpinan yang korup dan tidak adil.
Pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya daripada kepentingan rakyat akan menciptakan ketimpangan sosial yang parah. Ketika pemimpin tidak mendengarkan kebutuhan rakyat, bahkan rakyat miskin dan terpinggirkan, kerusakan itu akan berlanjut dan semakin memperburuk keadaan.
Menilik Peran Ulama
Al-Ghazali juga mengingatkan kita tentang peran ulama dalam menciptakan keadilan sosial. Ia menyatakan bahwa kerusakan pemimpin berakar pada kerusakan ulama, yang gagal menjalankan tugas moral dan sosialnya. Ulama, sebagai pemimpin spiritual, harus memandu penguasa untuk tidak tergoda oleh ambisi duniawi yang merusak.
Namun, apabila ulama lebih mementingkan kedudukan dan harta, mereka akan gagal menjalankan fungsi mereka sebagai penjaga moralitas. Ulama yang terkuasai oleh ambisi duniawi tidak akan mampu memberikan nasihat yang benar kepada penguasa dan masyarakat. Sebaliknya, mereka mungkin malah mendukung kebijakan yang tidak adil dan merugikan rakyat.
Konsep ini sangat penting dalam dunia politik saat ini, di mana banyak ulama dan tokoh agama yang terlibat dalam politik. Ulama yang seharusnya menjaga jarak dari godaan duniawi harus berfungsi sebagai pengingat bagi penguasa untuk tetap adil dan berpihak pada rakyat.
Dalam konteks Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya, seringkali kita melihat keterlibatan ulama dalam politik praktis yang dapat mempengaruhi kebijakan negara. Oleh karena itu, ulama harus menjaga integritasnya dan tidak terjebak dalam permainan politik yang mengabaikan keadilan.
Sifat-sifat yang Harus Dimiliki Pemimpin
Nasihat Imam Al-Ghazali juga memberikan panduan tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin ideal. Dalam Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati al-Muluk, Al-Ghazali menekankan bahwa seorang pemimpin harus mampu berbuat adil di antara masyarakat, melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas. Selain itu tidak berlaku dzalim atau tirani.
Di lain sisi, pemimpin harus memiliki integritas, menguasai ilmu agama dan negara, serta memiliki keahlian dalam menyusun kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat. Pemimpin yang ideal harus memiliki fisik yang sehat, tidak cacat, dan mampu menggunakan akal sehatnya untuk memimpin dengan baik. Ia juga harus memiliki keberanian dan kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat.
Selain itu, Ia juga mengingatkan bahwa seorang pemimpin harus memegang teguh janji yang telah dibuat dan harus senantiasa bersikap adil. Rasulullah ﷺ sendiri pernah mengingatkan bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan tiga hal. Pertama, memberikan belas kasih kepada rakyat. Kedua, berlaku adil dalam hukuman, dan ketiga, menepati janji yang telah diberikan (Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati al-Muluk, hal. 4).
Pemimpin Ideal Menurut Al-Ghazali
Pemikiran Al-Ghazali tentang kepemimpinan dan keadilan memiliki relevansi yang sangat kuat dalam politik modern. Dalam banyak kasus, kita melihat bagaimana ketidakadilan dan korupsi dalam pemerintahan dapat merusak struktur sosial dan menyebabkan ketidakstabilan politik.
Oleh karena itu, prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Al-Ghazali tentang pemimpin yang adil, ulama yang menjaga moralitas, dan pentingnya integritas serta kejujuran dalam kepemimpinan sangat penting untuk kita terapkan dalam konteks saat ini.
Sebagai contoh, dalam proses pemilihan umum yang sering terjadi di berbagai negara, pemilih dan masyarakat perlu memilih pemimpin yang tidak hanya mampu menjanjikan perubahan, tetapi juga menunjukkan komitmen terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Pemimpin yang ideal, menurut Al-Ghazali, adalah yang mampu mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Begitu pula, ulama dan tokoh agama harus berperan sebagai pengingat bagi penguasa untuk tidak terjerumus dalam kesalahan yang merugikan rakyat.
Dalam hal ini, Ia mengajarkan bahwa kerusakan rakyat bermula dari kerusakan penguasa yang tidak adil. Penguasa yang tidak adil disebabkan oleh ulama yang gagal menjalankan tugas moralnya. Oleh karena itu, pemimpin yang ideal harus memiliki integritas, kemampuan intelektual, dan moralitas yang tinggi. []