Mubadalah.id – Kartini adalah salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Namanya selalu kita kaitkan dengan perjuangan emansipasi perempuan dan perlawanan terhadap ketidakadilan sosial.
Melalui surat-suratnya, yang kemudian diadaptasi dan diinterpretasikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, kita dapat melihat pemikiran Kartini yang melampaui zamannya. Buku ini bukan hanya sekadar biografi, tetapi juga refleksi mendalam tentang gagasan, perjuangan, dan cita-cita Kartini.
Melalui buku ini, kita diajak untuk memahami perjuangan Kartini dari sudut pandang yang lebih mendalam. Lahir di tengah sistem feodalisme Jawa yang kaku, Kartini harus menjalani kehidupan di bawah tekanan adat yang mengekang perempuan. Dalam sistem itu, perempuan ditempatkan pada posisi subordinat, tanpa kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Namun, Kartini menolak tunduk pada tradisi yang ia anggap tidak adil.
Kartini bukan hanya seorang perempuan dengan pemikiran cerdas, tetapi juga memiliki keberanian untuk menentang hierarki sosial yang berlaku di masyarakat. Salah satu bentuk penentangannya terhadap sistem feodalisme dapat terlihat dari keteguhannya untuk tidak dipanggil Keturunan bangsawan.
Kepada sahabatnya, Estella Zeehandelaar, Kartini mengungkapkan kekesalannya dipandang tinggi sebagai keluarga bangsawan. Dalam suratnya, Kartini dengan tegas menulis, “Apakah saya seorang anak raja? Bukan. Seperti kamu juga bukan”.
Kartini menjelaskan lebih lanjut bahwa meskipun keluarganya memiliki garis keturunan bangsawan, ia tidak merasa terikat oleh gelar atau status tersebut. “Raja terakhir dalam keluarga kami, yang langsung menurunkan kami menurut garis keturunan laki-laki, saya kira sudah berlalu 25 keturunan jauhnya,” ujarnya.
Gelar Bangsawan bagi Kartini
Kartini menegaskan bahwa bagi dia, gelar kebangsawanan tidak ada artinya. Menurutnya, yang lebih penting adalah memiliki bangsawan jiwa dan bangsawan budi. Ia sangat menentang pandangan yang terlalu menilai seseorang berdasarkan gelar keturunan semata.
Dalam suratnya, Kartini bahkan menyindir orang-orang yang begitu bangga dengan gelar bangsawan mereka, mengatakan, “Di manakah gerangan letak jasa orang bergelar graaf atau baron (gelar untuk bangsawan)? Pikiran saya yang picik tidak sampai untuk memikirkan hal itu.”
Kartini juga menceritakan dengan kesal bagaimana dirinya dan keluarganya dipanggil “putri-putri Jawa” oleh sejumlah perempuan asal Den Haag ketika menghadiri Pameran Karya Wanita. Orang Eropa lebih sering menyebut mereka dengan gelar “freule” (putri) alih-alih “Raden Ajeng,” meskipun sudah ia jelaskan berulang kali.
Kesal dengan sikap ini, Kartini merasa bahwa mereka seharusnya dihormati sesuai dengan gelar yang tepat, bukan hanya berdasarkan stereotip semata.
Dalam buku karya Pramoedya tersebut, Kartini juga mengungkapkan perasaannya tentang kebebasan dan hubungan dengan keluarganya dalam salah satu kutipan terkenalnya: “Aku akan sangat berduka cita sekiranya Ayah menentang cita-cita kebebasanku, tapi akan lebih bersedih hati lagi, apabila hasrat paling menyala itu terpenuhi, tapi dalam pada itu kehilangan cinta Ayahku.” (hlm. 57).
Kartini Mendobrak Batas Tradisi
Dalam hal ini, Kartini tampil sebagai sosok yang mendobrak batas-batas tradisi. Ia tidak hanya memperjuangkan pendidikan bagi perempuan, tetapi juga memandang pendidikan sebagai sarana untuk membebaskan seluruh lapisan masyarakat dari ketidakadilan. Kartini memahami bahwa tanpa pengetahuan, seseorang akan selalu berada dalam posisi lemah.
Surat-surat Kartini dalam buku ini penuh dengan gagasan egalitarianisme. Ia mengkritik adat Jawa yang membelenggu perempuan, sistem kasta yang tidak memberikan kesempatan yang sama, dan feodalisme yang menghambat kemajuan bangsa. Bagi Kartini, kesetaraan adalah hak asasi setiap manusia, tanpa memandang jenis kelamin, status sosial, atau garis keturunan.
Hal ini menyebabkan banyak daerah yang masih mengalami buta huruf, terutama di kalangan perempuan. Sebagai contoh, dalam salah satu suratnya kepada Estelle Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899, Kartini menulis,
“Bocah perempuan sekolah masuk sekolah! Itu adalah suatu pengkhianatan besar terhadap adat kebiasaan negeriku, kami bocah-bocah perempuan keluar rumah untuk belajar dan karenanya harus meninggalkan rumah setiap hari untuk mengunjungi sekolah,” dan melanjutkan, “Lihatlah adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Pergi ke tempat lain pun kami tak boleh.”
Gagasan Kartini tetap Relevan
Meskipun hidup di awal abad ke-20, gagasan Kartini tetap relevan di era sekarang. Ketimpangan gender, akses pendidikan yang belum merata, dan diskriminasi sosial masih menjadi isu besar yang dihadapi masyarakat. Semangat Kartini untuk melawan feodalisme dan memperjuangkan hak-hak perempuan menjadi inspirasi untuk terus memperjuangkan kesetaraan dan keadilan.
Dalam dunia kerja, misalnya, masih banyak perempuan yang menghadapi hambatan dalam hal gaji, promosi, dan representasi di posisi strategis. Di dunia pendidikan, banyak perempuan di daerah terpencil yang masih kesulitan mengakses fasilitas belajar. Perjuangan Kartini mengajarkan bahwa perubahan hanya dapat dicapai jika ada keberanian untuk melawan ketidakadilan dan menciptakan sistem yang lebih inklusif.
Seorang peneliti bernama Savitri Scherer, dalam Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi (Komunitas Bambu, 2012), menyebut karya Pramoedya yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja sebagai kajian sosial dan historis tentang feminis terkemuka dan pemikir nasionalis awal. Karya ini memberikan gambaran tentang Kartini sebagai sosok yang tidak hanya memperjuangkan hak perempuan, tetapi juga berperan penting dalam gerakan nasionalisme Indonesia.
Tentunya, buku ini adalah pengingat akan warisan pemikiran Kartini yang terus relevan hingga kini. Ia adalah simbol perlawanan terhadap feodalisme dan ketidakadilan, serta inspirasi bagi gerakan kesetaraan di berbagai bidang.
Keteguhan Kartini untuk menolak gelar “Raden Ajeng” menunjukkan konsistensinya dalam memperjuangkan kesetaraan dan perlawanan terhadap sistem yang menempatkan orang pada posisi yang tidak setara.
Kalimatnya yang penuh emosi tentang dilema antara kebebasan dan cinta keluarga mencerminkan sisi manusiawi dari perjuangannya. Semangat dan cita-cita Kartini tetap menjadi inspirasi abadi bagi generasi penerus untuk terus memperjuangkan keadilan sosial. []