Mubadalah.id – Kita akan sepakat bahwa pemenuhan hak ramah anak dan perlindungan baginya penting menjadi salah satu kewajiban keluarga di lingkup terdekat. Tetapi, baik sebagai orang tua ataupun kita semua terkadang masih keliru dalam memenuhi hak maupun kesempatan bagi mereka.
Alih-alih melindungi serta memahami, kita secara sadar sebetulnya kurang belajar mengenali kemauan hak yang ramah anak serta kerap membatasi kesempatan dan minat mereka.
Ini barangkali akan menjadi refleksi, ketika orang dewasa merasa mengetahui banyak hal ketimbang anak-anak. Sehingga orang tua merasa perlu melibatkan diri secara penuh untuk kepentingannya demi anak-anak.
Saya teringat saat membaca buku berjudul Le petit Prince atau Pangeran Kecil karya Antoine De Saint-Exupery yang sarat akan makna pelajaran hidup. Tentu buku ini bisa menjadi rekomendasi bacaan bagi anak-anak maupun orang dewasa, atau untuk semua kalangan. Tapi satu hal yang akan saya sorot dari salah satu makna buku tersebut adalah anak-anak memiliki imajinasi yang indah, bahkan lebih indah dari orang dewasa.
Sejatinya, anak-anak memiliki hak untuk mengembangkan imajinasi, karya, minat, dan kesempatan mereka. Dari situ, keterlibatan orang dewasa penting untuk mengapresiasi, mendukung, serta mengarahkan minat mereka. Bukan mengatur penuh untuk menuruti kemauan dan kebutuhan orang dewasa tanpa mau melihat ke dalam diri anak-anak.
Tetapi, buku itu menampakkan bagi pembaca bahwa realitanya orang dewasa seringkali bersikap tidak jujur, mengalihkan kesempatan, hingga mengabaikan anak-anak. Padahal, kita memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan dan mengarahkan aturan maupun kebijakan yang baik dan ramah anak. Bukan untuk membatasi ataupun bertindak memenuhi kesewenangan hegemoni kekuasaan mereka.
Gagap dan Gagal Memahami Kebutuhan Anak
Seyogyanya kewajiban orang tua adalah memastikan hak ramah anak terpenuhi dan melindungi anak dari hal-hal yang menyengsarakan mereka. Tidak cukup bagi orang tua, entitas pemerintah maupun negara wajib ‘ain untuk melindungi anak-anak dari kebijakan maupun aturan yang diskriminatif dan tak ramah anak.
Tetapi, apa daya kabar mengejutkan di pertengahan Januari 2025 kemarin, datang dari parlemen Irak yang setujui undang-undang yang izinkan perempuan di bawah 15 tahun menikah. Mengutip kabar tempo.co bahwa beberapa interpretasi dalam hukum Islam—diyakini oleh otoritas ulama syiah di Irak yang acap mengizinkan pernikahan dini pada anak perempuan, bahkan pada usia 9 tahun.
Artinya, dari hukum Irak ini bisa kita pastikan akan melegalkan pernikahan anak dan mencabut hak dasar perempuan dan anak perempuan. Mendengar kabar mengejutkan ini membuat kita begitu miris. Aturan hukum Islam yang tidak menempatkan aturan pada konteks kebaikan dan perkembangan zaman kini justru dapat disinyalir membuat kekisruhan. Dan ini adalah masalah dan tantangan besar kemanusiaan.
Permasalahan di atas tentu merupakan masalah besar bagi kehidupan anak-anak Irak. Meskipun memang pernikahan anak di Irak sudah menjadi isu lama. Inilah bukti kegagapan dan kegagalan orang dewasa—memahami, memenuhi, dan merekonstruksi—kebutuhan masa depan yang baik untuk anak-anak.
Bahkan jika kita melihat sendiri masalah dalam kehidupan sehari-hari saat orang dewasa berhadapan dengan anak-anak. Masih belum berubah kiranya kesadaran pemahaman orang dewasa mengartikan dan memahami dunia anak-anak, yang tidak ‘seremeh’ itu. Seringkali kita sebagai orang dewasa alih-alih memperhatikan mereka, justru mengecilkan harapan anak-anak kepada kita.
Porsi dan Kesempatan yang Sama
Dalam buku Pangeran Kecil di atas, saya kira banyak kejadian yang sama terkait tokoh anak laki-laki menunjukkan hasil karya kecilnya kepada orang dewasa. Di cerita tersebut mengungkapkan bahwa dari pemahaman anak-anak, orang dewasa tak bisa melihat karya anak laki-laki dengan baik.
Orang dewasa justru tak bisa memahami apa dan bagaimana respon yang bisa mereka berikan kepada anak-anak. Dan tentu saja, itu mengecilkan hati mereka. Anehnya, pangeran kecil yang seumuran dengan anak laki-laki itu yang bisa memahami.
Saya pernah mendengar cerita orang tua ketika salah satu tetangga memarahi anak SD karena kesalahan kecil yang ia lakukan di Masjid. Bahkan tidak hanya memarahi, tapi juga sedikit memukul. Meski tetap saja, tidak semestinya anak itu mendapat perlakuan negatif. Sebaiknya, orang dewasa cukup menasihati dan memberi contoh yang baik. Sebab, perlakuan negatif yang anak terima hanya akan berdampak buruk dan meninggalkan rekam memori yang kurang baik.
Mungkin, sesekali kita akan kesal ketika anak selalu berperilaku kurang baik atau merasa sulit mendorong anak-anak menjadi lebih baik. Tetapi, tak sedikit juga orang tua yang tidak paham bagaimana mengarahkan anak-anak itu. Sebagai orang tua ataupun orang dewasa lainnya harus mempelajari dahulu solusi baik yang akan orang tua berikan. Barangkali memang caranya yang salah.
Kesadaran Berbagai Pihak
Pada umumnya, setiap orang dewasa, anak, dan remaja memiliki hak asasi manusia yang berlaku universal. Anak bukanlah benda kepemilikan orang tuanya ataupun objek tidak berdaya. Sebab sebagai manusia, anak adalah subjek utuh yang memiliki haknya sendiri. Anak-anak memang masih perlu orang tua dampingi, dorong, dan beri semangat atas proses tumbuh kembangnya.
Apapun yang anak miliki dari berbagai potensi, kita tak boleh melarang ataupun meredupkan semangatnya. Negara juga sebaiknya membuka mata untuk menetapkan kebijakan dan aturan yang inklusif dan tidak disinyalir meredupkan masa depan anak-anak. Mengutip unicef.org, Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa dari banyak pemimpin dunia pernah berkumpul tahun 1989 menyepakati kesepakatan internasional tentang hak yang ramah anak.
Lahir gagasan dan aturan mencerahkan misalnya masa kanak-kanak adalah masa istimewa yang harus mendapatkan perlindungan. Termasuk empat pilar utama hak yang ramah anak tercantum dalam Konvensi Hak Anak, yaitu hak hidup, hak perlindungan, hak tumbuh kembang, dan hak partisipasi. Adanya hak-hak ini berdasarkan pada prinsip non-diskriminasi dan setiap tindakan harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak.
Pada masa tumbuh kembangnya, anak harus kita berikan kesempatan bertumbuh, belajar, bermain, berkembang, dan berhasil dengan bermartabat. Orang tua, remaja, maupun anak-anak patutlah menjalin relasi kesalingan dan keadilan untuk menciptakan nilai-nilai ma’ruf (kebaikan) antar sesama. Dalam praktiknya, bisa saling mendengar, memahami, mengapresiasi, membantu, dan saling belajar. []