Mubadalah.id – Halo sobat pecinta film drama keluarga. Film 1 Kakak 7 ponakan ini asli seru banget, ngingetin kita akan pentingnya arti keluarga, kebersamaan, perjuangan, cinta dan ketulusan.
Kalo kita pikir-pikir, jadi kakak yang ngasuh saudara kandungnya itu, emang kedengeran hal biasa dan sewajarnya. Tapi gimana kalo ngasuh saudara yang bukan kandung, atau kalo dalam cerita ini diposisikan sebagai ponakan, bahkan ada juga anak orang lain, anak dari gurunya. Apalagi kalo jumlah asuhannya enggak sedikit, bonus dengan keterbatasan ekonomi. Udah lambai-lambai tangan kaya di film uji nyali kali ya. Hihi..
Walaupun begitu, sosok Moko sebagai kakak, bukan berarti enggak ada realitanya di kehidupan ini, pasti ada kakak-kakak yang berhati malaikat seperti Moko versi aslinya di dunia nyata.
Sang sutradara Yandy Laurens, mengadaptasi film rilisan awal tahun 2025 ini dari sinetron tahun 90-an. Karya lain Yandy Laurens yang terkenal juga, Keluarga Cemara (2018) dan Jatuh Cinta seperti di Film-Film (2023). Kalau kalian liat pemeran Abah di film keluarga cemara, pasti ga nyangka di film 1 Kakak 7 Ponakan ini, karakternya berbalik. Wkwk.. Tapi Ringgo keren sih mainin perannya. Hihi..
Moko Sosok Kakak yang Menjadi Orang Tua Tunggal
Film 1 Kakak 7 Ponakan ini menampilkan sosok perjuangan seorang kakak yang bernama Moko. Nama aslinya, Chicco Kurniawan. Ceritanya dia nanggung beban buat ngurus ponakan-ponakannya, di tengah lagi ngejar cita-citanya buat jadi arsitektur.
Selain itu ia sedang menjalin cinta dengan Maurin, yang diperanin sama Amanda Rawles. Semua yang tengah dia perjuangkan harus dikorbankan, setelah kakak iparnya meninggal karena serangan jantung. Kakaknya juga setelah itu menyusul meninggal saat proses persalinan.
Mendadak Moko menjadi orang tua tunggal yang harus menghidupi ponakan-ponakannya yang masih duduk di bangku sekolah, bahkan yang baru lahir tadi. Akhirnya mau tidak mau, dunia arsitektur yang lagi dia geluti, harus dia ganti dengan dunia babysitter. Peralatan maupun buku-buku seputar ke-arsitektur-an yang dia punya semasa kuliah, terpaksa dia pinggirin dan diganti dengan peralatan serta buku seputar cara mengasuh bayi.
Kesempatan buat ngelanjutin kuliah S2 bersama sang kekasih pun harus dia korbanin. Moko lebih milih ngurus ponakan-ponakannya, supaya mereka tetep bisa memiliki sosok yang mengayomi dan menemani mereka. Ngurus bayi, masak, ngebersihin rumah, ngambilin raport ponakan-ponakannya plus nyari nafkah buat kehidupan mereka, jadi tugas yang Moko emban. Syulit..syulit..
Terkadang Kebaikan dibalas Kepedihan
Moko beruntung banget memiliki Maurin. Kekasih yang baik, pinter, cantik, perhatian, punya duit alias kaya, sering bantuin kalo dia lagi ngebutuhin apa-apa, ditambah setia lagi. Paket komplit pokoknya dah. Cuma mungkin sebagian orang berpandangan, karakter Maurin langka di kehidupan nyata.
Padahal enggak menutup kemungkinan perempuan-perempuan di luar sana banyak juga yang memiliki sosok kaya Maurin gitu. Jadi film ini tuh kaya bukan khayalan, tapi emang ada realitanya di kehidupan nyata. Kira-kira gitu sih, reviewnya pak Ahok setelah nonton film ini. Hihi..
Tapi namanya hidup ya, ada aja episode yang di luar nurul. Sosok kaya Maurin yang bisa kita bilang paket komplit tadi, harus ngalamin pahitnya cinta. Di tengah perjuangan dia kuliah S2 dan butuh pendamping kaya Moko, kekasih sekaligus teman kuliah semasa S1 yang dia anggap paling pintar di kelas, dan bisa membantu meringankan tugas-tugas kuliahnya, Moko malah mutusin Maurin.
Permintaan Moko buat ngejalanin hidup masing-masing, seakan emang keputusan bodoh yang laki-laki ambil. Gimana enggak, sosok Maurin, perempuan yang karakternya sulit diungkapkan dengan kata-kata, malah dia lepasin.
Tapi walaupun gitu, kaya yang tadi pak Ahok bilang, film ini realistis, jadi enggak sedikit laki-laki yang punya rasa bersalah ketika dia ada di posisi yang kayak Moko alami. Bukan tega sebenernya, tapi emang sulit rasanya perang sama batin sendiri tuh. Ngerasain kan kalian hey para lelaki! Wkwk..
Keputusan ninggalin orang yang kita sayang, dengan menganggap itu adalah jalan yang paling tepat, beneran keputusan sulit sih. Apalagi bukan karena konflik fatal kaya selingkuh atau beda keimanan. Atau beda weton bagi orang yang masih megang banget prinsip kepercayaan orang Jawa. Ini juga lumayan nyesek sih hihi..
Jadi si Moko ninggalinnya tuh karena faktor ngerasa diri dia bisa menghambat karir atau masa depan cerah yang bisa Maurin raih. Kira-kira begitu sih perasaan Moko yang mewakili perasaan-perasaan laki-laki di luar sana. Yagesya Hihi..
Laki-laki dengan Beban Ganda
Beban ganda atau double burden dapat kita artikan sebagai beban pekerjaan yang diterima oleh salah satu jenis kelamin lebih banyak dari jenis kelamin lainnya. Dalam kajian gender, beban ganda kebanyakan mengarah pada kondisi perempuan menanggung dua tugas sekaligus, tugas domestik dan tugas publik.
Dalam artikelnya Liliana Hasibuan mengutip pandangan Michelle (1974) yang menyatakan peran ganda atau beban ganda adalah konsep dualisme cultural, yaitu konsep domestic sphere dan public sphere.
Liliana meneruskan, beban ganda merupakan partisipasi perempuan yang menyangkut peran tradisi dan transisi. Peran tradisi dia sebutkan sebagai peran perempuan menjadi istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Adapun peran transisi mencakup pemahaman perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan.
Adanya konsep tersebut bukan berarti double burden tidak terjadi pada laki-laki, pada kondisi-kondisi tertentu, laki-laki juga dapat memiliki keadaan beban ganda tersebut. Sebagaimana yang terjadi di Desa Cibangkong, Banyumas. Roby dalam skripsinya menyebutkan terdapat suami yang bertanggung jawab sebagai pencari nafkah, sekaligus mengasuh anaknya. Hal ini dikarenakan istri yang juga bekerja dan pergi jauh dengan jangka waktu lama.
Jadi, Moko dalam ceritanya juga ngalamin beban ganda, setelah kakak dan kakak iparnya meninggal. Beban gandanya yaitu Moko memiliki tanggung jawab sebagai pencari nafkah dan mengurus keponakan-keponakannya.
Kondisi beban ganda gini, atau bahasa kerennya tadi double burden, bisa siapa saja miliki. Jadi enggak bisa kita tentuin kalo pemikul beban ganda itu, ngeliat dari jenis kelaminnya, tapi keadaan lah yang membuat seseorang tersebut mengalaminya.
Peran Orang Lain di Kehidupan Kita
Menjadi Moko emang enggak mudah Bro, soalnya dia harus bertarung sama dirinya sendiri. Di awal cerita, dia ngalamin himpitan antara berjuang untuk masa depannya dan mengurus ponakan-ponakannya. Dan di akhir cerita, dia berhadapan dengan pilihan mencari nafkah untuk menghidupi ponakan-ponakannya, tapi dengan keadaan yang jauh dari mereka.
Udah gitu, ponakan-ponakannya tinggal sama kakak dan kakak iparnya lagi. Kakak iparnya sih yang punya karakter nyebalin dan toxic banget. Dia cuma manfaatin ketulusan Moko. Banyak gaya pula orangnya. Walaupun kadang ada benernya sih dan ngasih warna juga di film ini wkwk. Contohnya dia pernah bilang ”Orang sungkan itu selalu dipertemukan dengan orang gak tau diri’.
Melihat karakter Moko emang menginspirasi banget, soalnya dia ngajarin kita akan penting dan perlunya tanggung jawab. Tapi, ada juga yang nilai kalo Moko enggak seharusnya ngelakuin begitu, enggak seharusnya dia nanggung semua beban sendirian. Apalagi ponakan-ponakannya mulai dewasa, bisa mandiri dan bisa bekerja untuk membantunya memenuhi kebutuhan hidup. Sah-sah aja sih, namanya perspektif orang beda-beda kan ya.
Pandangan kurang setuju sama sikap Moko juga ada sebenernya di diri Maurin. Padahal dia bersedia menjadi tempat cerita dan berbagi rasa. Itulah yang jadi sebab Maurin kesal dengan Moko pas dia mutusin buat mengakhiri hubungan mereka, dan Moko enggak mau cerita tentang kondisi yang sedang Moko alami.
Sikap Maurin yang kontra dengan Moko di akhir cerita pun, ada benarnya juga. Kurang baik rasanya jika menanggung semua beban seorang diri, padahal ponakan-ponakannya udah mampu mandiri buat kerja, dengan catatan tidak dengan pekerjaan, yang tidak sesuai dengan usia mereka, kayak Ano yang masih belum cukup dewasa, tapi kerja jadi kuli bangunan.
Menjadi Maurin di Dunia Nyata
Kehadiran sosok seperti Maurin dalam dunia nyata tentu sangat seseorang butuhkan. Menjadi teman untuk mencurahkan isi hati dan pikiran, sangat membantu kesehatan mental orang lain. Melansir dari laman fimela.com, bercerita kepada orang lain, dapat melepaskan beban dan meningkatkan emosi positif, serta mengubah suasana hati dan pandangan seseorang.
Sejalan dengan itu, pakar psikologi UNAIR Atika Dian Ariana M.Sc., M.Psi, mengatakan, dengan berbagi cerita, kita akan memiliki perspektif yang beda dari apa yang kita alami. Persoalan yang kita lihat pun akan lebih objektif. Berbeda dengan orang yang diam saja, yang memungkinkan pintu solusi tertutup karena terpaku dengan perspektif yang kita gunakan.
Walaupun begitu, kita enggak bisa juga terlalu nyalahin Moko yang bersikap demikian, karena realitanya emang enggak mudah bro berada di posisi Moko. Apalagi di tengah kondisi yang serba kesulitan, jadi bisa aja sikap itu muncul dari jiwa kesatrianya dan naluri seorang kakak yang sangat tulus ngerawat ponakan-ponakannya.
Akibatnya, pikiran Moko jadi keruh dan sulit berpikir jernih. Artinya, bukan berarti Moko enggak mau cerita ke Maurin, dan enggak percaya sama ponakan-ponakannya buat hidup mandiri, tapi emang sesulit itu mengendalikan diri, apalagi pas isi kepala bertarung sama isi hati. Di sinilah saatnya sosok pendamping kaya Maurin perlu kita hadirkan. Membantu menjernihkan pikiran dan memberikan problem solving.
“Kita usahakan rumah itu, dari depan akan tampak sederhana, tapi dibuat kuat, dirancang muat, lega” (Sal Priadi_Kita usahakan rumah itu).
“Ba, sementara..kita mesra-mesraannya. Kecil kecilan dulu, ya.. tunggu sampai semua mereda” (Sal Priadi_Mesra-mesraannya kecil-kecilan dulu).
Lirik-lirik lagu Sal Priadi emang pas banget sih buat backsound film ini. Keren beud pokok filmnya. Selamat menonton ya! []