Mubadalah.id – Dalam masyarakat modern, kesetaraan gender telah menjadi isu penting yang terus kita perjuangkan. Namun, berbagai bentuk bias gender masih hadir dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pola komunikasi.
Salah satu fenomena yang menonjol adalah mansplaining, istilah yang merujuk pada sikap pria yang menjelaskan sesuatu kepada perempuan secara merendahkan. Seolah-olah perempuan kurang memahami topik yang dibahas. Meskipun mereka memiliki kompetensi yang sama atau bahkan lebih tinggi. Fenomena ini mencerminkan wajah baru patriarki, yang meskipun telah mengalami transformasi, tetap menjadi penghalang bagi kesetaraan gender dalam komunikasi.
Kata mansplaining pertama kali populer setelah Rebecca Solnit, dalam bukunya Men Explain Things to Me (2014), menceritakan pengalamannya menghadapi seorang pria yang mencoba menjelaskan isi bukunya sendiri, tanpa menyadari bahwa Solnit adalah penulisnya.
Istilah ini kemudian berkembang menjadi simbol bias gender dalam komunikasi. Di mana pria sering merasa lebih berhak untuk berbicara, meskipun tidak memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada perempuan yang kita ajak berbicara.
“Mansplaining adalah manifestasi dari ketimpangan kekuasaan yang terus dipertahankan oleh sistem patriarki,” tulis Solnit dalam bukunya. Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam percakapan santai, tetapi juga di ruang profesional, akademik, hingga lingkungan digital seperti media sosial.
Patriarki Mengakar dalam Pola Komunikasi
Patriarki tidak hanya membentuk cara pandang terhadap peran gender, tetapi juga mengakar dalam pola komunikasi. Dalam budaya patriarki, pria sering kita posisikan sebagai penguasa ruang publik. Sementara perempuan kita anggap lebih cocok berada di ruang domestik.
Akibatnya, dalam diskusi publik, perempuan sering kita anggap tidak kompeten atau membutuhkan validasi dari pria. Dalam fenomena sosial saat ini, banyak perempuan yang masih menghadapi tantangan dalam menyuarakan pendapat mereka di berbagai ruang. Baik di tempat kerja, lingkungan akademik, maupun dalam diskusi di media sosial.
Beberapa kasus yang mencuat ke publik menunjukkan bahwa perempuan seringkali mendapatkan reaksi negatif ketika menyampaikan pendapat mereka. Termasuk diinterupsi atau dijelaskan ulang oleh pria dengan nada merendahkan. Fenomena ini menunjukkan bagaimana patriarki masih memengaruhi pola komunikasi, meskipun telah ada upaya untuk menciptakan kesetaraan di ruang kerja dan sosial.
Kemunculan era digital juga memengaruhi pola komunikasi modern. Media sosial yang awalnya kita anggap sebagai ruang yang demokratis sering kali menjadi tempat suburnya mansplaining.
Misalnya, di forum diskusi atau kolom komentar, banyak perempuan yang melaporkan pengalaman mereka menghadapi pria yang memberikan penjelasan tanpa diminta. Bahkan ketika mereka tidak memiliki keahlian di bidang tersebut. Fenomena ini menunjukkan bagaimana mansplaining telah berkembang menjadi masalah yang semakin kompleks di era digital.
Marginalisasi Akibat Mansplaining
Banyak perempuan, terutama yang aktif di bidang akademik, sains, dan teknologi, mengalami marginalisasi akibat mansplaining yang rekan kerja lakukan. Bahkan pengguna internet yang tidak memiliki kredibilitas dalam bidang tersebut. Hal ini menegaskan bahwa fenomena ini bukan hanya sekadar masalah komunikasi antarpribadi, tetapi juga terkait dengan akses perempuan terhadap pengakuan dan otoritas dalam bidang tertentu.
“Mansplaining tidak hanya mengganggu, tetapi juga merugikan perempuan secara psikologis dan profesional,” ujar Deborah Tannen, seorang ahli linguistik dalam bukunya Talking from 9 to 5 (1994). Perempuan yang terus-menerus menjadi korban mansplaining sering merasa direndahkan. Hingga pada akhirnya dapat menurunkan kepercayaan diri mereka dalam berkomunikasi. Selain itu, mansplaining dapat menghambat perempuan untuk mencapai potensi penuh di ruang kerja.
Misalnya, ketika seorang perempuan berbicara dalam rapat dan idenya terabaikan atau dianggap kurang valid karena pria mengkoreksi yang sebenarnya kurang kompeten. Ini menunjukkan bagaimana mansplaining secara langsung memengaruhi dinamika kerja dan kolaborasi.
Bahkan, dalam beberapa kasus, perempuan yang terus-menerus mengalami mansplaining cenderung menarik diri dari diskusi. Atau memilih untuk tidak menyuarakan pendapat mereka karena takut diremehkan. Hal ini tentu berdampak pada pengembangan karier mereka serta keterwakilan perempuan dalam posisi kepemimpinan.
Cara Mengatasi Mansplaining
Mengatasi mansplaining membutuhkan pendekatan sistemik, mulai dari edukasi hingga perubahan budaya. Pertama, edukasi gender sejak dini melalui pendidikan dapat membantu masyarakat mengenali pola komunikasi yang bias, termasuk mansplaining.
Kedua, pria perlu kita ajak untuk mengenali pola komunikasi mereka, termasuk memahami kapan mereka mungkin sedang melakukan mansplaining. Ketiga, perempuan perlu kita dorong untuk lebih percaya diri dalam mengekspresikan pendapat mereka dan menolak mansplaining dengan tegas.
Terakhir, perusahaan dapat memberikan pelatihan tentang kesetaraan gender dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif untuk memastikan bahwa komunikasi berlangsung tanpa bias gender. Organisasi juga dapat membentuk kebijakan yang secara aktif mengurangi dominasi komunikasi sepihak di tempat kerja. Misalnya dengan memastikan semua anggota tim mendapatkan kesempatan yang sama untuk berbicara dan kita dengar.
Mansplaining adalah salah satu bentuk wajah baru patriarki yang masih mendominasi pola komunikasi modern. Meskipun terlihat sepele, fenomena ini mencerminkan ketimpangan kekuasaan antara pria dan perempuan yang masih berakar kuat dalam budaya patriarki.
Dengan mengenali dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi mansplaining, kita dapat menciptakan ruang komunikasi yang lebih inklusif dan setara, di mana suara semua individu kita hargai tanpa bias gender. Kesadaran akan pentingnya komunikasi yang setara akan membawa perubahan yang lebih besar. Tidak hanya dalam interaksi sehari-hari, tetapi juga dalam sistem sosial yang lebih luas, sehingga menciptakan masyarakat yang lebih adil bagi semua gender. []