Mubadalah.id – Saat matahari musim semi yang cerah terbit di atas lanskap kuno Tanah Suci Palestina, terdapat dua perayaan keagamaan penting yang sedang berlangsung. Di mana kedua perayaan tersebut kita kenal sebagai “Perayaan Dua Paskah”. Perayaan yang dimaksud adalah Paskah Kristen (Easter) dan Paskah Yahudi (Passover).
Namun, di tengah kekerasan dan genosida yang terus terjadi di Palestina, momen-momen sakral dalam Perayaan “Dua Paskah” ini seharusnya menjadi momentum untuk merenungkan serta menyerukan perdamaian. Selain itu harapan, serta desakan untuk mengakhiri kekerasan dan penderitaan yang telah lama melanda rakyat Palestina.
Esensi Perayaan Dua Paskah
Perayaan Dua Paskah ini sarat makna sejarah serta spiritualitas yang mendalam. Dalam konteks ini, Paskah Kristen (Easter) melambangkan kebangkitan Yesus Kristus dari kematian. Simbol harapan baru, pembaruan hidup, serta janji keselamatan abadi. Nilai-nilai pengorbanan diri, kasih tanpa syarat, serta kemenangan kebaikan atas kejahatan menjadi inti refleksi pada masa ini. Menegaskan bukti kuat akan harapan dan pembaruan hidup.
Sementara Paskah Yahudi (Passover) memperingati pembebasan Bani Israel dari perbudakan Mesir. Sebagaimana yang termaktub dalam Kitab Keluaran (Exodus). Perayaan ini adalah selebrasi kebebasan kolektif—identitas bangsa yang terbentuk melalui perjuangan melawan penindasan.
Di tengah konflik yang terus berlangsung, kedua perayaan ini menggema sebagai seruan penuh makna untuk rekonsiliasi dan saling pengertian. Mengingatkan kita akan kemanusiaan bersama yang melampaui batas-batas agama serta kerinduan kolektif akan masa depan tanpa pertikaian.
Perayaan Paskah Kristen (Easter) menekankan pada kebangkitan Kristus sebagai jalan menuju keselamatan rohani. Sementara Paskah Yahudi (Passover) berfokus pada memori historis tentang perjuangan fisik melawan penindasan demi meraih kemerdekaan. Walaupun kedua perayaan ini memiliki narasi serta tradisi yang berbeda secara fundamental, keduanya sama-sama menonjolkan tema pembebasan dan harapan akan masa depan lebih baik.
Perayaan Dua Paskah di Tanah Suci Palestina: Sebuah Perbedaan Kontras
Di Tanah Suci Palestina sendiri—termasuk di Gaza, Tepi Barat (terutama di wilayah-wilayah seperti Yerusalem Timur hingga Bethlehem), dan wilayah yang Israel kuasai—perayaan kedua hari raya tersebut berlangsung dalam suasana yang sangat kontras.
Di Israel, puncak perayaan Passover adalah perjamuan Seder yang diadakan pada dua malam pertama (satu malam di Israel untuk beberapa komunitas). Keluarga berkumpul di sekitar meja yang terpenuhi dengan makanan simbolis seperti matzah (roti tidak beragi), maror (herbal pahit), charoset (pasta manis), dan anggur.
Teks Haggadah mereka bacakan dengan lantang untuk menceritakan kembali kisah yang termaktub di Kitab Keluaran (Exodus). Di banyak bagian Israel—terutama di kalangan komunitas Yahudi—suasana selama Passover cenderung penuh perayaan yang tertandai dengan sukacita, rasa syukur atas kebebasan, kebanggaan budaya, dan pengamalan agama.
Beberapa sinagog mengadakan perjamuan Seder bersama atau program edukasi yang menjelaskan makna Passover. Sekolah-sekolah sering mengorganisir pertunjukan drama atau kegiatan bagi anak-anak untuk mempelajari serta melestarikan warisan budaya mereka. Ruang-ruang publik sering terhias; produk-produk kosher khusus Passover memenuhi pasar. Keluarga-keluarga berkumpul bersama kembali meskipun menghadapi tantangan zaman modern.
Sementara di Palestina, perayaan Paskah (Easter) bagi umat Kristen Palestina mereka rayakan secara sederhana dan penuh kesedihan di tengah konflik dan tekanan militer yang berkepanjangan. Baru-baru ini, sebuah serangan udara yang Israel lakukan di Gaza telah menewaskan sedikitnya 58 orang pada perayaan Jumat Agung yang merupakan salah satu rangkaian dari perayaan Paskah (Easter).
Lebih dari separuh korban jiwa berada di Kota Gaza dan Gaza utara. Namun serangan mematikan terjadi di seluruh Jalur Gaza, termasuk di Khan Younis dan Rafah di selatan. Hal ini terungkap berdasarkan sumber medis kepada Al Jazeera pada hari Jumat (18/04). Militer Israel menyatakan pasukan mereka beroperasi di wilayah Shaboura dan Tal as-Sultan dekat Rafah, serta di Gaza utara. Di mana Israel telah menguasai wilayah luas di timur Kota Gaza.
Perjamuan Sederhana Merayakan Paskah
Meski demikian, di tengah serangan yang berlangsung, umat Kristen Palestina di Gaza tetap mengadakan perjamuan sederhana dalam merayakan Paskah (Easter). Salah satu jemaat Kristen di Gaza, Ihab Ayyad mengatakan bahwa biasanya ia berkumpul dengan jemaat lain dan mengunjungi rumah tetangganya setiap tahun untuk merayakan Paskah.
Dia juga menjelaskan bahwa tahun ini mereka tidak melakukan kunjungan karena kehancuran total di mana-mana. Karena pasukan pendudukan Israel telah meratakan sebagian besar rumah kerabat dan tetangga mereka. Bahkan, banyak kerabat dan tetangga mereka yang menjadi martir atau mengungsi ke berbagai tempat. Sehingga mereka belum bisa merayakan Paskah (Easter) karena mereka merasa sangat sedih akibat serangan tersebut.
Jemaat Kristen dari Gaza lainnya, Ramez al-Soury mengatakan bahwa dulu dia biasa bepergian keluar Gaza untuk berziarah ke Bethlehem atau Yerusalem untuk merayakan pekan suci dalam menyambut Paskah (Easter). Namun sekarang, “suasana perang” menyelimuti Gaza. Suasana kematian dan kehancuran ada di mana-mana, memberikan tekanan dan ketakutan besar kepada para jemaat Kristen di Gaza. Sehingga mereka tidak bisa berziarah ke Bethlehem atau Yerusalem.
Terlepas dari suasana mencekam tersebut, para jemaat Kristen di Gaza tetap teguh pada iman mereka dan mereka tetap berkumpul dan beribadat di gereja. Bukan sebagai bentuk keputusasaan, melainkan sebagai wujud pengabdian dan penyerahan diri kepada Tuhannya. Para jemaat Kristen di Gaza meyakini bahwa semangat perayaan dari Jumat Agung adalah kekuatan iman dan keteguhan hati dari mereka yang masih percaya pada perdamaian. Meskipun dunia di sekitar mereka hanyalah panggung penuh kekerasan dan kematian.
Opresi dan Kekerasan Terhadap Umat Kristen Palestina di Tepi Barat
Tidak hanya di Gaza saja, penderitaan umat Kristen Palestina juga dirasakan di wilayah Tepi Barat, terutama di wilayah Yerusalem Timur, Bethlehem, Ramallah, dan sekitarnya. Pada perayaan Paskah (Easter) kali ini, Pemerintah Israel mengumumkan bahwa mereka telah mengeluarkan 6.000 izin. Meskipun terdapat sekitar 50.000 umat Kristen—kebanyakan Katolik atau Ortodoks Yunani—yang tinggal di Tepi Barat di luar Yerusalem Timur.
Sejak Peristiwa Thufan al-Aqsha tanggal 7 Oktober 2023, Pemerintah Israel berusaha memperketat izin masuk Yerusalem bagi masyarakat Palestina yang tinggal di Tepi Barat. Dengan dalih alasan keamanan nasional. Namun, menurut para pemuka agama Kristen di Palestina, kenyataannya hanya sekitar 4.000 izin yang diberikan, dan seringkali hanya kepada beberapa anggota keluarga dari setiap pelamar.
Lebih parahnya lagi, izin akses ini hanya berlaku selama satu minggu. Izin akses ini melarang para peziarah Palestina untuk menginap di Yerusalem. Sehingga mereka harus melakukan perjalanan melelahkan kembali ke Tepi Barat dengan bus atau taksi setiap malam. Melewati banyak pos pemeriksaan militer yang membatasi partisipasi mereka dalam perayaan.
Sekelompok peziarah dari desa Taybeh bahkan tidak diizinkan militer Israel untuk memasuki Yerusalem dalam rangka merayakan Minggu Palma (13/04) meskipun mereka memiliki izin akses yang sah.
Tidak berhenti sampai di situ, para peziarah yang berhasil sampai ke Kota Tua Yerusalem masih harus menghadapi kekerasan yang dilakukan polisi Israel yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada perayaan Paskah 2024, para umat Kristen Palestina dan peziarah internasional dipukuli oleh polisi dan pasukan bersenjata Israel saat mereka mencoba mencapai Gereja Makam Kudus (Holy Sepulchre).
Saling Menguatkan dan Meneguhkan Iman
Hal ini tersampaikan oleh salah satu jemaat, Omar Sabeel, yang juga pengelola Sabeel—organisasi Kristen di Yerusalem—bahwa staf-stafnya dipukuli saat mencoba menghadiri perayaan Paskah di Kota Tua Yerusalem. Menyebabkan beberapa jemaat memutuskan untuk mengurungkan niatnya dalam mengikuti prosesi Paskah.
Meski mengalami serangkaian hal buruk, keinginan para jemaat Kristen di Palestina dalam memeriahkan perayaan Paskah (Easter) tetap jauh lebih kuat daripada ketakutan yang mereka hadapi. Menurut Gabriel Romanelli, pastor paroki dari Gereja Latin Keluarga Kudus di Gaza, penderitaan umat Kristen di Palestina, baik di Gaza maupun Tepi Barat, telah menguatkan dan meneguhkan iman mereka.
“Kita semua berdoa bersama untuk perdamaian, untuk semua yang telah meninggal, untuk pembebasan semua yang telah terampas kebebasannya, para tahanan dan sandera. Lebih jauh, tahun ini, saat kita merayakan bersama, kita memohon rahmat persatuan bagi semua umat Kristen di dunia: persatuan iman, harapan, dan kasih.
Selain itu, kita harus meyakinkan dunia bahwa semua konflik bisa kita hentikan. Karena perang tidak akan membawa kebaikan, dan semakin lama perang berlangsung maka akan semakin banyak kerusakan yang ditimbulkannya.”
Bagaimana Perayaan Dua Paskah Dapat Memicu Dialog Interfaith dan Perdamaian di Tanah Suci Palestina?
Momentum Perayaan Dua Paskah ini seharusnya dapat memberikan kesempatan unik dan mendalam bagi komunitas antarumat beragama di Tanah Suci Palestina untuk bersatu. Kedua hari raya ini memiliki tema-tema yang sangat mendasar seperti pembebasan, pembaruan, harapan, dan iman—nilai-nilai yang melampaui batas-batas agama.
Paskah Kristen (Easter) memperingati kebangkitan Yesus Kristus sebagai simbol kemenangan atas kematian dan harapan akan kehidupan baru, sementara Paskah Yahudi (Passover) mengenang pembebasan Bani Israel dari perbudakan di Mesir, menandai awal kebebasan dari penindasan. Kesamaan makna ini dapat menjadi jembatan penting untuk membangun dialog antarumat beragama.
Dengan mengakui nilai-nilai bersama tersebut, komunitas Kristen dan Yahudi dapat membuka ruang komunikasi yang lebih hangat serta saling pengertian. Dialog semacam ini tidak hanya memperkuat hubungan sosial tetapi juga membantu mengurangi prasangka serta ketegangan yang selama ini memecah belah masyarakat.
Selain itu, perayaan ini berlangsung selama musim semi. Musim yang secara tradisional berkaitan dengan kelahiran kembali dan awal yang baru. Secara metaforis sejalan dengan aspirasi untuk perdamaian setelah konflik yang berkepanjangan.
Waktu tersebut mendorong para penganut kedua agama untuk merenungkan tidak hanya sejarah spiritual mereka tetapi juga realitas kontemporer yang tertandai oleh perpecahan dan penderitaan di tanah air mereka. Mengenali persamaan ini dapat menginspirasi introspeksi kolektif. Yakni tentang bagaimana narasi turun-temurun tentang kebebasan dapat berhubungan dengan perjuangan masa kini untuk keadilan.
Menyuarakan Pesan Perdamaian
Selain itu, momentum kedua perayaan suci ini bisa kita manfaatkan untuk menyuarakan pesan perdamaian secara bersama-sama. Ketika umat beriman dari berbagai latar belakang berkumpul dalam semangat persatua, bukan perbedaan. Mereka menunjukkan bahwa harmoni adalah mungkin bahkan di tengah konflik panjang. Kegiatan bersama seperti doa lintas agama, diskusi budaya-religius, atau acara sosial bisa menjadi langkah konkret menuju rekonsiliasi antarumat beragama.
Terakhir, interaksi positif selama masa Paskah Kristen (Easter) dan Paskah Yahudi (Passover) dapat menumbuhkan rasa empati terhadap penderitaan satu sama lain akibat konflik berkepanjangan di Tanah Suci Palestina.
Kesadaran akan pengalaman kolektif tentang penindasan atau kehilangan membuka jalan bagi solidaritas kemanusiaan yang kuat. Dengan demikian, kebersamaan dalam merayakan momen-momen sakral ini bukan hanya soal ritual keagamaan, tetapi juga tentang membangun fondasi perdamaian abadi bagi generasi mendatang.
Perayaan Dua Paskah yakni Paskah Kristen (Easter) dan Paskah Yahudi (Passover) yang saat ini sedang berlangsung di Tanah Suci Palestina dapat menjadi pengingat bagi kita. Yakni tentang kekuatan iman untuk menginspirasi harapan dan kelahiran kembali semangat harmoni antarumat beragama. Selain itu, perayaan ini juga menjadi pengingat yang jelas akan kebutuhan mendesak akan perdamaian dan keadilan di Palestina.
Di momen seperti ini, marilah kita terus menyuarakan dukungan bagi mereka yang menderita. Tetap mengadvokasi agar dapat dihentikannya kekerasan yang berkepanjangan. Selain itu penguatan komitmen untuk hidup berdampingan bagi antarumat beragama di Tanah Suci Palestina. Semoga semangat perayaan suci ini membimbing kita menuju masa depan di mana semua orang dapat hidup dalam harmoni dan bermartabat.
Happy Easter and Passover, and Free Palestine! []