• Login
  • Register
Rabu, 11 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Falsafah Hidup Penyandang Disabilitas dalam “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati”

Literasi yang secara serius membahas isu disabilitas masih sangat minim. Kita perlu mengupayakannya bersama-sama.

anis.fadia anis.fadia
25/04/2025
in Buku
0
Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Literasi Indonesia hari ini perlahan-lahan mulai mengangkat isu-isu disabilitas sebagai objek tulisan. Hal ini juga terlihat dalam novel Seporsi  Mie Ayam Sebelum Mati. Novel ini menceritakan bagaimana penyandang disabilitas bertahan hidup.

Novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati ini adalah novel kedua yang saya baca yang membahas tentang penyandang disabilitas emosional. Jika pada novel Seberapa Candu cinta itu dari Disabilitas Emosional hingga Kritik Sosial dalam ‘Seberapa Candu Cinta itu’ penulis novel tidak menyebutkan secara spesifik inspirasi penulisan novel.  Brian Khrisna, penulis novel ini menyebutkan bahwa kisah ini dia tulis berdasarkan wawancara dengan kawan penyintas depresi akut.

Novel ini menceritakan tentang Ale – seseorang yang terkucilkan oleh lingkungan dan mengidap depresi akut. Ia berniat bunuh diri dan ambang hidupnya berada dalam pencarian semangkuk mie ayam.

Dari mie ayam ini kemudian dia bertemu banyak orang, mengetahui banyak sisi kehidupan, realitas sosial, dan beragam kejadian spele namun ternyata memiliki makna yang dalam.

Secara umum, novel ini memaparkan filosofi kehidupan penyandang disabilitas utamanya disabilitas emosional, sementara sisanya disabilitas fisik.

Baca Juga:

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

Joglo Baca SUPI: Oase di Tengah Krisis Literasi

Belajar Toleransi dari Kisah Khalifah Manshur dan Georgeus Buktisyu

Buku Sayap-Sayap Patah: Kritik Kahlil Gibran terhadap Pernikahan Paksa

“Maybe Life is worth living again”

Pertemuan Ale dan Jipren (penyandang disabilitas netra) merupakan titik krusial yang paling menentukan terhadap sudut pandang Ale tentang hidup dan (memilih) mati.

Ini juga memperlihatkan pada kita bagaimana penyandang disabilitas terkadang menganggap bunuh diri sebagai alternatif “paling baik”. Pikiran seperti ini muncul ketika mereka telah mencapai titik depresi dan merasa menjadi orang paling tidak berguna dan paling sial di dunia.

Jipren mengatakan, “Menjadi orang cacat jauh lebih buruk ketimbang menjadi mayat”. Dan Ale memprotesnya dengan, “Apa  yang menarik di dunia ini sampai Bapak tetap bertahan? Dunia ini jahat sama kita, Pak. Bukankah mati jauh lebih baik?” (h. 180).

Terdapat banyak fakta menarik yang mereka jadikan jawaban terhadap pertanyaan itu, setelah berkali-kali jatuh dan terpuruk.

Keinginan dalam hidup, harapan bahwa keadaan – atau kita bisa sebut sebagai sistem dalam lingkup yang lebih besar – berubah, dan kesetaraan agar mereka dilihat selayaknya manusia biasa adalah jawaban-jawaban yang mereka temukan dalam proses pencarian itu.

Stoikisme sebagai Falsafah Hidup

Sebagai pengalaman langsung pengidap depresi akut, novel ini menceritakan bagaimana penyandang disabilitas memiliki stok penerimaan yang lebih banyak daripada orang dengan non-disabilitas.

Stoikisme mereka jadikan sebagai metode survival oleh penyandang  disabilitas di tengah dunia yang jarang sekali memihak mereka.

Mereka mengandalkan penerimaan atas segala hal yang terjadi di kehidupan mereka. Selaras dengan prinsip stoikisme, mereka juga menekankan pentingnya ketenangan batin dan pengendalian sikap kita terhadap hal-hal di luar kendali kita; dalam cerita novel  ini, sikap orang lain, segala hal yang di luar kendali kita seperti disabilitas, dan bahkan lingkungan yang tidak asssesibel.

Dalam novel ini, para tokoh  memandang kehidupan “orang di bawahnya”, di bawahnya lagi, dan seterusnya lalu menganggap lebih beruntung daripada mereka yang lebih susah.

“Sebagai orang buta, kami Cuma bisa menganggap semua orang itu baik. Sebab, hanya itu yang dapat kami lakukan. Kalaupun mereka ternyata jahat dan curang seperti orang di jembatan penyeberangan tadi, kami hanya bisa menerima. Gimana Tuhan aja… ” (h. 176)

Dalam beberapa bagian seperti pada penggalan percakapan Ale dengan Jipren  di  atas, bagi saya, sikap penerimaan seperti itu terjebak dalam toxic positivity.

Sebab sebetulnya ada hal yang bisa kita usahakan bersama, yaitu, sikap kita sendiri sebagai “orang lain” dalam kehidupan orang difabel dan menganggap mereka sebagai kawan yang setara.

Pemerintah sebagai “orang lain” juga dapat mengubah hal itu dengan kebijakan yang lebih inklusif.

Isu Disabilitas dan Literasi Indonesia

Hal lain yang menjadi perhatian saya pada buku-buku yang secara acak saya beli, namun ternyata memiliki sedikit kesamaan dalam  membahas orang depresi.

Fakta Ini menunjukkan bahwa literasi sastra kita hari ini, mulai naskah akademik, teks keagamaan,  hingga sastra mulai menganggap pentingnya isu-isu disabilitas kita bicarakan untuk menjangkau khalayak yang lebih banyak. Dengan kata lain, semakin banyak orang yang mencoba untuk menjadikan isu ini mainstream.

Hal ini tentu saja patut kita apresiasi. “Cahaya kecil” ini semoga semakin terang dan berdampak langsung terhadap penyandang disabilitas. Brian Khrisna, penulis novel ini, berharap bahwa orang lain dapat menemukan alasan-alasan kecil untuk hidup sekali lagi.

Namun demikian, isu ini masih jauh panggang dari api. Literasi yang secara serius membahas isu disabilitas masih sangat minim. Kita perlu mengupayakannya bersama-sama. []

 

 

 

Tags: bukuIsu DisabilitasliterasiReview NovelSastraSeporsi Mie Ayam Sebelum Mati
anis.fadia

anis.fadia

Alumni PP. Annuqayah Sumenep Madura dan UIN Sunan Kalijaga  Yogyakarta

Terkait Posts

Novel Jodoh Pasti Bertemu

Membaca Novel Jodoh Pasti Bertemu dalam Perspektif Mubadalah

3 Juni 2025
Haji Pengabdi Setan

Ali Mustafa Yaqub: Haji Pengabdi Setan dan Ujian Keimanan Kita

3 Juni 2025
Kisah Khalifah Manshur dan Georgeus

Belajar Toleransi dari Kisah Khalifah Manshur dan Georgeus Buktisyu

30 Mei 2025
Sayap-sayap Patah

Buku Sayap-Sayap Patah: Kritik Kahlil Gibran terhadap Pernikahan Paksa

30 Mei 2025
Perempuan Keluar Malam

Refleksi Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab: Apakah Perempuan Tak Boleh Keluar Malam?

28 Mei 2025
Daughters of Abraham

Ulasan Daughters of Abraham: Ketika Para Putri Ibrahim Menggugat Tafsir

27 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kesetaraan yang

    Tauhid sebagai Dasar Kesetaraan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dad’s Who Do Diapers: Ayah Juga Bisa Ganti Popok, Apa yang Membuat Mereka Mau Terlibat?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Devotee: Ketika Disabilitas Dijadikan Fetish

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bersukacita dalam Membangun Perdamaian Dunia: Menilik Penggembalaan Apostolik Paus Leo XIV Bagi Dunia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tauhid dan Implikasinya bagi Kemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Di Balik Bayang-bayang Plato: Sebuah Hikayat tentang Diotima
  • Karhulta di Riau: Mengancam Keberlangsungan Hidup Manusia dan Keberlanjutan Alam
  • Dad’s Who Do Diapers: Ayah Juga Bisa Ganti Popok, Apa yang Membuat Mereka Mau Terlibat?
  • Tauhid sebagai Dasar Kesetaraan
  • Bersukacita dalam Membangun Perdamaian Dunia: Menilik Penggembalaan Apostolik Paus Leo XIV Bagi Dunia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID