Mubadalah.id – Di tengah arus pemberitaan yang cenderung kaku dan seragam, kehadiran gaya penyampaian yang segar, jenaka, dan bernuansa satir dari presenter Metro TV, Valentinus Resa, patut kita apresiasi. Langkah ini sebagai bagian dari napas segar demokrasi.
Gaya humor kritis ini bukan hanya hiburan semata, tetapi juga merupakan bagian dari jurnalisme yang mencerdaskan, dan membebaskan. Yakni untuk mendekatkan publik pada makna-makna kritis di balik sebuah peristiwa. Dalam dunia media yang semakin terpolarisasi, cara baru dalam penyampaian berita ini menawarkan alternatif yang segar dan menantang kebiasaan.
Satir dalam dunia jurnalistik bukan hal baru. Ia merupakan ekspresi dari kebebasan berpikir dan berbicara yang sehat dalam masyarakat demokratis. Satir adalah cara untuk mengatakan kebenaran tanpa harus menunjuk langsung. Cara untuk mengajak orang tertawa sambil berpikir.
Humor kritis yang tajam dalam satir tidak hanya menghibur, tetapi juga mampu merangsang refleksi mendalam. Dalam konteks Indonesia, kita tak bisa mengabaikan satu tokoh penting yang berhasil menjadikan humor sebagai bagian dari praktik politik dan advokasi sosialnya. Dia adalah Abdurrahman Wahid, atau yang lebih kita kenal sebagai Gus Dur.
Gus Dur adalah sosok yang membuktikan bahwa humor bukan penghalang keseriusan. Di tangan beliau, humor justru menjadi alat untuk membongkar kemapanan, menjangkau publik akar rumput, dan mengoreksi kekuasaan tanpa menciptakan ketegangan. Humor dalam politik Gus Dur bukan basa-basi. Ia adalah strategi, narasi, dan cara hidup.
Sebagai seorang pemimpin, Gus Dur selalu berhasil membuat orang tertawa, namun dalam tawa itu terkandung makna yang dalam. Melalui candaannya, Gus Dur menyampaikan pesan-pesan mendalam tentang pluralisme, keadilan, dan hak asasi manusia. Yang lebih penting, menjadikan politik sebagai ruang yang manusiawi.
Humor dan Gus Dur
Dalam buku Tertawa Bersama Gus Dur karya Akbar Khamid, menceritakan bagaimana Gus Dur sering menggunakan humor untuk menyampaikan kritik sosial dan politik. Humor bagi Gus Dur bukan hanya alat untuk mencairkan suasana, melainkan cara untuk menyampaikan pesan moral yang mendalam tanpa membuat orang merasa terpojok.
Gus Dur menggunakan humor sebagai alat yang tidak hanya meredakan ketegangan, tetapi juga sebagai jembatan untuk membangun dialog antara masyarakat dengan pemerintah. Bagi Gus Dur, humor adalah cara yang paling jujur untuk mendekati kebenaran tanpa menimbulkan permusuhan atau rasa sakit hati. Dengan humor, ia mengajarkan kita bahwa politik tidak selalu harus tegang dan serius, tetapi bisa kita sampaikan dengan cara yang lebih manusiawi.
Semangat yang sama kini muncul melalui gaya penyampaian Valentinus Resa. Ia bukan sekadar “melucu” di layar kaca, tetapi tengah meneruskan satu jejak penting dalam demokrasi. Menjadikan komunikasi publik sebagai sarana menggugah, bukan hanya menyampaikan.
Ia memanfaatkan format berita bukan hanya untuk menjelaskan fakta, tetapi juga untuk mengajak penonton berefleksi secara ringan namun kritis. Melalui humor yang terselipkan dalam setiap penyampaian berita, ia membuka ruang bagi penonton untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, mengajak mereka untuk tertawa sekaligus berpikir.
Ragam Cara Berkomunikasi
Masyarakat kita, tentu saja, masih dalam proses belajar menerima ragam cara berkomunikasi di ruang publik. Tak jarang, gaya satir disalahpahami sebagai ejekan, bukan ajakan berpikir. Namun, justru di sinilah tantangan demokrasi yang sejati terletak.
Kita harus belajar untuk terbuka dengan keberagaman ekspresi, termasuk ekspresi yang memancing senyum sekaligus membuka ruang diskusi. Humor yang Resa gunakan dalam siaran berita bukanlah untuk melecehkan atau merendahkan, tetapi untuk menambah kedalaman dalam setiap topik yang ia angkat.
Menertawakan diri sendiri, mengkritik sistem dengan humor, dan menyampaikan kritik sosial melalui gaya santai bukanlah tindakan yang melecehkan. Itu adalah cara paling manusiawi untuk menyampaikan bahwa masih ada yang perlu kita benahi bersama.
Seperti Gus Dur yang bisa membuat rakyat tertawa sembari menyadarkan mereka tentang pentingnya kesetaraan dan kemanusiaan. Gaya satir di media juga bisa menjadi jembatan untuk memperluas pemahaman publik tentang isu-isu sosial dan politik yang seringkali terlalu kompleks untuk kita bicarakan secara langsung. Humor, dalam hal ini, bisa menjadi pemecah ketegangan dan pintu masuk menuju diskusi yang lebih luas.
Kita patut memberikan ruang bagi gaya penyampaian semacam ini, bukan untuk kita seragamkan, apalagi terbungkam. Media yang demokratis harus memberi tempat bagi keberanian berekspresi—selama itu dilakukan dengan niat baik, tidak menyerang pribadi, dan menjaga martabat kemanusiaan.
Satir, ketika terkelola secara cerdas dan beretika, justru memperkaya ruang publik dan mendewasakan cara berpikir masyarakat. Media yang mendukung keberagaman ekspresi ini berfungsi bukan hanya sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai penggerak opini publik yang kritis dan sadar akan dinamika sosial yang berkembang.
Berita tidak Harus Serius
Valentinus Resa, dalam kapasitasnya sebagai presenter, telah menunjukkan bahwa berita tidak harus selalu tersampaikan dengan wajah serius dan nada monoton. Ia menghadirkan warna baru, keberanian baru, dan kreativitas baru. Dengan pendekatan yang lebih ringan namun penuh makna, ia membuka ruang bagi penonton untuk lebih mendalami isu-isu yang terangkat dalam berita.
Dalam dunia jurnalisme yang sedang mencari kembali relevansinya di tengah banjir informasi dan disrupsi digital, pendekatan seperti ini layak kita dukung dan dikembangkan. Pendekatan ini juga penting karena jurnalisme yang mengedepankan kejujuran dan keberagaman perspektif dapat menjadi pendorong utama bagi demokrasi yang lebih matang.
Kita tidak sedang bicara tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Kita sedang berbicara tentang bagaimana ruang demokrasi seharusnya tidak hanya diisi oleh suara yang satu warna. Sebagaimana Gus Dur tidak pernah takut melucu di tengah forum serius.
Kita pun seharusnya tidak takut menerima keberagaman cara menyampaikan pesan. Selama esensinya adalah membangun, bukan menjatuhkan, maka semua gaya penyampaian punya tempat yang sah dalam demokrasi.
Dalam dunia yang semakin keras, penuh kebisingan, dan cenderung cepat tersinggung, mungkin yang kita butuhkan bukan hanya lebih banyak kebijakan, tetapi juga lebih banyak kelapangan hati. Humor yang jernih, satir yang menyentuh, dan penyampaian yang jenaka adalah tanda bahwa demokrasi kita masih bernyawa.
Gus Dur sudah membuktikannya, dan kini, generasi baru seperti Valentinus Resa sedang mencoba menjaganya. Lewat humor yang tajam dan berani, mereka membuktikan bahwa humor tidak hanya sebuah alat hiburan, tetapi juga bagian dari perjuangan menjaga kebebasan berbicara dan berpendapat. []