Mubadalah.id – Bagaimana agenda WPS (women, peace, and security) berkaitan dengan isu difabel? Pertanyaan itu menyesakki pikiran tatkala saya hendak mendaftarkan diri pada sebuah pelatihan oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia.
Sejak mengikuti kegiatan Akademi Mubadalah 2025 di Yogyakarta pada Februari lalu, saya berupaya untuk rutin menulis dengan tema tunggal: hak-hak kawan difabel. Tulisan pertama saya berjudul Jangan Memanjakan Penyandang Disabilitas! , sebuah “warning” atas pelbagai program karitatif yang selama ini menggumuli para difabel.
Lantas, ketika berhadapan dengan pertanyaan tentang hubungan antara isu difabel dengan agenda WPS di formulir pendaftaran pelatihan AMAN tersebut, saya perlu berulang kali memutar kemudi otak. Apakah keduanya bisa nyambung ?
Saya mencoba untuk membongkar ingatan lama. Memori demi memori tentang materi Mubadalah yang disuguhkan Kang Faqih (Faqihuddin Abdul Kodir) terus saya coba basahi. Pada lerung nala yang paling mungil, saya merasakan bahwa keduanya memiliki keterkaitan—juga keterikatan.
Saya berupaya untuk menyusun korelasi selogis mungkin. Hasilnya lumayan. Saya berhasil lolos seleksi dan berhak untuk mengikuti kegiatan pelatihan secara luring (onsite). Saya merasa sangat beruntung. Setidaknya, ada harapan bahwa keyakinan saya dapat lebih beroleh pendalaman.
Kegiatan pelatihan luring berlangsung selama dua hari, yakni 22-23 Mei 2025. Sebelumnya, AMAN Indonesia telah menyelenggarakan pembekalan daring (online) selama sehari sebagai upaya menghindarkan peserta dari membawa “botol kosong”.
Tibalah hari pelaksanaan pelatihan itu. Bertempat di The Sunan Hotel, Surakarta, saya bersama dua puluhan aktivis dan pegiat komunitas keperempuanan belajar banyak tentang WPS. Satu di antaranya ialah tentang bagaimana agenda WPS berinterseksi dengan isu difabel.
Apa itu agenda WPS?
Sepanjang dua hari mengikuti training, saya beroleh pemahaman baru. Asumsi awal saya tentang keterkaitan agenda WPS dan isu difabel mendapatkan validasi. Ya, keduanya punya kohesi, sangat intim malah.
Namun, sebelum mengelaborasi tentang kohesivitas dan interseksionalitas keduanya, mari kita telaah terlebih dulu makna dan maksud agenda ini.
Agenda WPS (women, peace and security) merupakan produk luaran kebijakan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam bentuk resolusi 1325 yang terbit pada tahun 2000. Resolusi ini berfokus pada upaya pengarusutamaan gender dalam agenda perdamaian dan keamanan (Kusuma, 2022).
Masyarakat global, melalui PBB, berupaya untuk merespon segala bentuk kekerasan yang menerpa kalangan perempuan, terutama pasca bergulirnya Perang Dunia satu dan dua (PD I dan PD II). Selama periode mencekam itu, perempuan telah menjadi korban sistemik sebagai bagian dari siasat perang.
Karenanya, masyarakat dunia memandang perlu adanya upaya pencegahan yang lebih serius dan berkelanjutan. Di sinilah standing position agenda WPS. Ia tumbuh dengan semangat keberpihakan kepada perempuan dan kalangan rentan akibat situasi konflik.
Mengutip laporan Dewan Keamanan (DK) PBB (UN Security Council), agenda WPS berkonsentrasi untuk memaksimalkan peran dan partisipasi perempuan dalam pembangunan, perdamaian, pencegahan konflik dan kekerasan, perlindungan, serta pemulihan berkelanjutan yang inklusif gender.
Selain itu, agenda ini juga menekankan pentingnya adopsi perspektif gender dalam operasi, perdamaian, proses perdamaian dan resolusi konflik. Secara teknis, agenda ini kemudian berimplementasi di banyak negara melalui perumusan Rencana Aksi Nasional (RAN) atau National Action Plan (NAP).
Agenda WPS memliki empat pilar dasar yang khas. Keempatnya yakni: Pencegahan (prevention), Perlindungan (protection), Partisipasi (participation), serta Pemulihan (relief and rehabilitation).
Kaitan agenda WPS dengan isu difabel
Pada tahun 2024 lalu, United Nations Economic and Social Commission for Western Asia / UNESCWA alias Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk negara-negara Asia Barat merilis sebuah publikasi terkait isu difabilitas dalam agenda WPS.
Publikasi tersebut menekankan keterkaitan dan keterikatan erat antara isu keperempuanan dan difabilitas. Secara ringkas, UNESCWA memandang bahwa selama ini, perempuan maupun kalangan difabel kerap memperoleh stigma homogen sebagai kalangan yang membutuhkan pelayanan khusus.
Padahal, banyak di antara mereka yang telah berkontribusi aktif sebagai figur publik di bidang kepemimpinan, mediasi, serta advokasi untuk perdamaian. Karenanya, paradigma yang telanjur tumbuh mesti diubah.
Selain itu, UNESCWA juga melihat bahwa perempuan dan difabel sama-sama menghadapi penghalang dalam mewujudkan agenda WPS yang inklusif. Meski UNESCWA lebih menyorot problema yang timbul di daerah Arab, rasa-rasanya temuan tersebut juga berlangsung di daerah lain, termasuk Indonesia.
Setidaknya, ada beberapa faktor krusial yang menyebabkan agenda WPS belum sepenuhnya dapat mengakomodasi kalangan perempuan dan difabel. Tiga di antaranya yakni tantangan aksesibilitas, rendahnya kesadaran akan inklusivitas difabel, serta terbatasnya data terkait perempuan dan perempuan dengan difabilitas.
Selain itu, sedikitnya jumlah organisasi yang berfokus pada perempuan dan difabilitas, serta masih minimnya mekanisme akuntabilitas atas inklusi difabel menggenapi faktor-faktor tersebut.
Sementara, Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah, menyampaikan bahwa agenda WPS memiliki beragam interseksionalitas. Artinya, isu tentang perempuan, perdamaian, serta keamanan tak pernah bisa lepas dari persinggungan dengan konteks di sekelilingnya—termasuk isu difabel.
Keterkaitan erat nan kuat antara agenda WPS dengan isu difabel membuka asa baru. Kita punya sebuah “kapal besar” yang siap mengantar menuju “tanjung harapan” berupa masyarakat madani yang inklusif sekaligus peka terhadap hak-hak difabel. []