Mubadalah.id – Pada 23 Mei 2025, Kementerian Agama Republik Indonesia menggelar Konferensi Pers Penyelenggaraan Ibadah Haji 1446 H / 2025 M melalui kanal YouTube resminya. Dalam kesempatan tersebut, Nyai Badriyah Fayumi, selaku Mustasyar Diniy PPIH atau pembimbing ibadah Petugas Haji 2025, menyampaikan sejumlah persoalan penting terkait fikih haji, khususnya bagi perempuan.
Dalam pemaparannya, Nyai Badriyah menekankan bahwa Fikih Haji Perempuan perlu dibahas secara khusus, setidaknya karena tiga alasan utama:
Pertama, haji sebagai bentuk jihad Perempuan. Nyai Badriyah menjelaskan bahwa ibadah haji bagi perempuan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam, bahkan disebut sebagai bentuk jihad.
Hal ini merujuk pada hadis ketika Ummul Mukminin, Aisyah Ra, bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulullah, para laki-laki bisa berperang dan berjihad bersamamu. Lalu bagaimana dengan kami para perempuan?” Nabi menjawab, “Ya, bagi mereka (perempuan) ada jihad, yaitu haji dan umrah.”
Hadis ini menunjukkan bahwa jihad bagi perempuan tidak dalam bentuk peperangan, melainkan melalui ibadah haji dan umrah.
Dahulu, perjalanan haji bisa memakan waktu hingga setahun dengan pengorbanan besar: berpisah dari keluarga, meninggalkan rutinitas harian, serta menghadapi tantangan fisik dan emosional. Semua ini menjadi bentuk jihad tersendiri bagi perempuan. Maka sayang sekali jika kesempatan ini tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Perbedaan Biologis
kedua, perbedaan biologis yang berpengaruh pada fikih haji. Perempuan memiliki kondisi biologis yang berbeda dengan laki-laki seperti haid yang tentu berdampak pada hukum dan tata cara ibadah haji.
Misalnya, bagaimana perempuan harus bersikap ketika sedang haid saat melaksanakan tawaf ifadah, tawaf wada’, atau tawaf umrah. Juga ada perbedaan dalam hal ihram dan berbagai praktik ibadah lainnya. Inilah yang menjadi dasar pentingnya bimbingan fikih haji yang spesifik bagi perempuan.
Ketiga, dominasi jumlah jemaah perempuan. Secara sosiologis, saat ini jumlah jemaah haji perempuan menurut Nyai Badriyah cukup naik sangat signifikan. Dari 221.000 jemaah haji Indonesia tahun ini, sekitar 120.000 di antaranya adalah perempuan. Maka, pembimbingan ibadah haji tidak bisa bersifat umum saja, tetapi perlu memberikan ruang khusus untuk menjelaskan persoalan-persoalan perempuan.
Bahkan menurutnya, tidak hanya perempuan, laki-laki pun perlu memahami fikih Perempuan. Terutama karena banyak di antara mereka yang berhaji bersama istri, ibu, atau anggota keluarga perempuan lainnya.
Lima Pesan untuk Jemaah Haji Perempuan
Menjelang pelaksanaan ibadah haji, Nyai Badriyah Fayumi menyampaikan lima pesan penting yang ditujukan secara khusus kepada para jemaah haji perempuan. Pesan-pesan ini lahir dari pengalaman, keilmuan, serta kepedulian beliau terhadap kondisi perempuan selama menjalankan ibadah haji.
Karena dalam konteks haji, perempuan menghadapi situasi yang tidak selalu sama dengan laki-laki, baik dari sisi biologis, teknis pelaksanaan ibadah, hingga kebutuhan praktis di lapangan.
Oleh karena itu, bimbingan yang bersifat spesifik dan aplikatif sangat dibutuhkan agar jemaah perempuan bisa menjalani seluruh rangkaian ibadah. Berikut lima pesan penting tersebut:
Pertama, haid bukan halangan untuk wukuf. Perempuan yang sedang haid tetap bisa melakukan wukuf di Arafah, karena yang tidak boleh dilakukan saat haid hanyalah tawaf.
Jika haid datang saat baru tiba di Makkah dan waktu wukuf sudah dekat, jemaah disarankan mengubah niat haji dari tamattu’ menjadi qiran. Dengan niat ini, jemaah bisa mengikuti wukuf terlebih dahulu dan menunaikan umrah setelah suci.
Kedua, antisipasi dengan pembalut atau pampers. Antrean toilet saat wukuf sering kali sangat panjang. Untuk menjaga kebersihan dan kesucian pakaian ihram, Nyai Badriyah menyarankan agar jemaah perempuan mengenakan pembalut atau pampers sebagai langkah antisipatif.
Ketiga, masker dan aurat saat ihram. Secara fikih, perempuan tidak diperkenankan menutup wajah dan telapak tangan saat ihram. Namun, dalam kondisi cuaca ekstrem atau risiko penyakit menular seperti ISPA, penggunaan masker diperbolehkan demi menjaga kesehatan.
Sebagai bentuk kehati-hatian, Nyai Badriyah menyarankan membayar fidyah berupa puasa tiga hari atau bersedekah kepada enam fakir miskin.
Mengenai aurat, membuka jilbab di hadapan sesama perempuan saat ihram memang tidak termasuk pelanggaran. Namun, tetap untuk menjaga aurat sebagai bentuk kehati-hatian dan penghormatan terhadap ibadah.
Hemat Tenaga dan Perbanyak Ibadah
Keempat, hemat tenaga, perbanyak ibadah. Menjelang puncak ibadah di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina), aktivitas fisik akan meningkat.
Nyai Badriyah menyarankan jemaah perempuan untuk menyimpan tenaga dan mengisi waktu dengan ibadah ringan yang berpahala besar seperti zikir, tadarus, sedekah, doa, kesabaran, dan pengendalian diri.
Kelima, hindari perdebatan, perkuat keikhlasan. Terakhir, Nyai Badriyah mengimbau jemaah agar tidak membuang energi untuk perdebatan yang tidak perlu. Fokuslah pada niat dan keikhlasan agar ibadah berjalan khusyuk dan hati tetap tenang.
Maka dari itu, fikih haji perempuan bukan sekadar pelengkap dalam bimbingan ibadah haji, melainkan sebuah kebutuhan penting yang harus mendapatkan perhatian khusus.
Bahkan penjelasan dari Nyai Badriyah Fayumi menunjukkan bahwa perempuan memiliki tantangan dan keistimewaan tersendiri dalam berhaji baik dari sisi biologis, sosial, maupun spiritual.
Karena itu, pemahaman yang tepat akan fikih haji, khususnya bagi perempuan, akan sangat membantu dalam memaksimalkan ibadah, menjaga kenyamanan, serta mencapai haji yang mabrur.
Apalagi dengan jumlah jemaah perempuan yang semakin besar setiap tahunnya, penyampaian materi fikih perempuan secara komprehensif bukan hanya menjadi hak perempuan untuk dipahami.
Tetapi juga menjadi tanggung jawab kolektif agar pelaksanaan ibadah haji lebih inklusif dan penuh keberkahan. Semoga setiap langkah para jemaah perempuan menuju Tanah Suci senantiasa dilindungi, dimudahkan, dan diterima sebagai amal terbaik di sisi Allah SWT. []