• Login
  • Register
Senin, 14 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Peminggiran Sejarah Perempuan

Penyangkalan terhadap tragedi pemerkosaan 1998 sama saja dengan meminggirkan sejarah perempuan.

Mifta Sonia Mifta Sonia
16/06/2025
in Publik
0
Sejarah Perempuan

Sejarah Perempuan

1.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Wacana penulisan ulang sejarah oleh pemerintah Indonesia mendapat berbagai penolakan oleh aktivis, sejarawan, hingga akademisi.

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon menyebut bahwa tragedi pemerkosaan tahun 1998 tidak memiliki bukti dan hanya berdasarkan rumor yang beredar.

Sejumlah aktivis mengecam pernyataan tersebut karena termasuk pengaburan sejarah dan meminggirkan sejarah perempuan.

Aliansi Perempuan Indonesia mengecam pernyataan Fadli Zon yang mengatakan bahwa tragedi pemerkosaan tersebut tidak memiliki bukti. Padahal, sudah ada laporan resmi dan tim pencari fakta yang mengungkap tentang tragedi itu.

Bentuk Kekerasan Baru oleh Negara Pada Perempuan

“Pemerintah tidak pernah menuliskan kami ke dalam sejarah Indonesia. Setelah reformasi masih ada tindakan diskriminatif yang menyebut etnis Tionghoa bukan bagian dari bangsa Indonesia. Pernyataan Fadli Zon sangat melukai hati kami padahal peristiwa tersebut sudah ada laporannya oleh tim pencari fakta,” ungkap Dyah Wara Restiyati perwakilan Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI) saat konferensi pers secara daring pada Sabtu, 14 Juni 2025.

Baca Juga:

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan

Dari Indonesia-sentris, Tone Positif, hingga Bisentris Histori dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Negara Amnesia, Korban Masih Terjaga: Kami Menolak Lupa atas Tragedi Pemerkosaan 98

Dyah mengenang tragedi 98 sebagai kejadian yang sangat traumatis. Dyah saat itu baru lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia mengungkapkan bahwa beberapa temannya harus mengungsi karena tidak sanggup menghadapi persekusi yang dilakukan oleh sejumlah masa yang digerakkan pemerintah.

Dyah menilai penyangkalan yang dilakukan oleh Fadli Zon mencerminkan bagaimana negara abai terhadap penderitaan yang dialami oleh etnis Tionghoa.

“Jika pemerintah menyebut tidak ada kekerasan terhadap etnis tionghoa, itu sangat melukai kami. Kami setiap hari mengalami kekerasan dan negara gagal melindungi kami,” kata Dyah.

Aliansi Perempuan Indonesia menekankan bahwa pemerkosaan massal pada tahun 1998 telah terakui sebagai fakta oleh pemerintahan BJ Habibie melalui Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).

Pemerintah Mencoba Meminggirkan Sejarah Perempuan

Perwakilan YAPPIKA/FPPI, Sari Wijaya, menjelaskan bahwa sejarah merupakan sebuah cerminan perjalanan bangsa yang bisa kita jadikan sebagai alat refleksi. Peristiwa Mei 1998 bukanlah sebuah kerusuhan biasa, melainkan tragedi kemanusiaan.

Penyangkalan terhadap tragedi pemerkosaan 1998 sama saja dengan meminggirkan sejarah perempuan.

Tragedi pemerkosaan 1998 bukan hanya rumor seperti yang disampaikan oleh Fadli Zon. Tragedi tersebut memiliki bukti, penyintas yang sampai saat ini masih ada, laporan resmi, dan data advokasi juga masih ada.

“Saya melihat hari ini Fadli Zon gagal memahami etika sejarah. Dalam riset sejarah kita punya metodologi. Apa yang disebut rumor itu padahal ada risetnya. Fadli Zon tidak mencerminkan intelektual itu sendiri. Kenapa negara mengatakan itu hanya rumor padahal laporan, advokasi, dan data ada. Jangan menghilangkan sejarah kelam yang terjadi di indonesia. Sejarah harusnya menjadi alat untuk menciptakan keadilan,” tegas Sari Wijaya.

Perwakilan Perempuan Mahardhika, Nur Suci Amalia juga menjelaskan bahwa agenda penulisan ulang sejarah yang menghilangkan tragedi kekerasan seksual 1998 menunjukkan bahwa pemerintah anti terhadap gerakan perempuan.

Pemerintah jarang menyebutkan tentang gerakan perempuan dalam setiap buku sejarah yang masuk ke kurikulum pendidikan.

“Orde baru telah memanipulasi sejarah sama halnya dengan hari ini. Sejarah harusnya tidak untuk melanggengkan kekuasaan sehingga tidak perlu ada sejarah resmi atau nasional. Ini juga membahayakan gerakan perempuan saat ini. Karena gerakan perempuan sejak 1928 tidak ditulis oleh pemerintah. Narasi nasionalisme muncul untuk mengontrol perempuan,” ungkap Suci.

Pernyataan Fadli Zon semakin menegaskan bahwa pemerintah masih anti terhadap gerakan perempuan. Pemerintah menganggap pengalaman tubuh perempuan tidak valid.

Negara Gagal dalam Menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat

Tuba Falopi, seorang penyintas kekerasan seksual yang aktif di Forum Aktivis Perempuan Muda (FAMM) Indonesia mengatakan bahwa tudingan Fadli Zon memicu trauma lama bagi penyintas.

“Sebagai penyintas, saya merasa sakit dan marah ketika melihat pernyataan Fadli Zon. Pengalaman perempuan itu valid. Pernyataan Fadli Zon meminggirkan rahim perempuan dan semakin menegaskan bahwa negara gagal menyelesaikan tragedi pemerkosaan 98,” jelas Tuba Falopi.

Pemerintah menggunakan tubuh perempuan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan. Negara tidak pernah hadir dalam pemulihan korban malah meminggirkan sejarah perempuan.

Dengan sengaja tidak mengakui peristiwa perkosaan Mei 1998 karena tidak ada bukti maka ini adalah sinyal untuk pemerintah agar segera menyelesaikan kasus tragedi Mei 1998 dan pelanggaran HAM berat.

Tuba Falopi mengecam pernyataan Fadli Zon yang terkesan tidak berempati pada korban dan keluarganya. Fadli Zon sebagai cerminan pemerintah Indonesia yang tidak berempati pada pengalaman perempuan.

Pernyataan Fadli Zon semakin membuatnya yakin bahwa pemerintah belum memiliki komitmen untuk memulihkan hak-hak penyintas tragedi kekerasan seksual 1998 karena memahami konteksnya saja pemerintah tidak mampu.

“Fadli Zon sebaiknya meluangkan waktunya untuk membaca karya sastra agar belajar empati karena pernyataan Fadli Zon sangat tidak berempati. Fadli Zon membangun narasi yang berat sebelah,” ungkap perwakilan Koalisi Perempuan Indonesia, Siti Ummul Khoir.

Aliansi Perempuan Indonesia menuntut Fadli Zon untuk mencabut pernyataannya dan minta maaf kepada korban beserta keluarganya serta menolak penulisan ulang sejarah yang meminggirkan sejarah perempuan, apalagi menghilangkan tragedi kekerasan seksual pada perempuan. Aliansi menilai pernyataan yang keluar dari pejabat setingkat menteri akan dianggap sebagai kebenaran bila kita biarkan. Padahal itu menyesatkan. []

Tags: Etnis TionghoaFadli ZonKekerasan seksual terhadap perempuanPenulisan ulang sejarahSejarah PerempuanTragedi 1998
Mifta Sonia

Mifta Sonia

Seorang perempuan yang sedang menggeluti dunia Jurnalistik dengan keinginan bisa terus menyuarakan suara-suara perempuan yang terpinggirkan.

Terkait Posts

Mas Pelayaran

Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

13 Juli 2025
Perempuan dan Pembangunan

Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

12 Juli 2025
Isu Disabilitas

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

12 Juli 2025
Negara Inklusi

Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

11 Juli 2025
Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Humor Kepada Difabel

Sudahkah Etis Jokes atau Humor Kepada Difabel? Sebuah Pandangan Islam

10 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mas Pelayaran

    Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kala Kesalingan Mulai Memudar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merebut Kembali Martabat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Perspektif Keadilan Gender dalam Memahami Tafsir

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kidung Reksabumi; Sebuah Ajakan Umat Beragama untuk Saling Jaga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pentingnya Perspektif Keadilan Gender dalam Memahami Tafsir
  • Merebut Kembali Martabat Perempuan
  • Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan
  • Kala Kesalingan Mulai Memudar
  • Hancurnya Keluarga Akibat Narkoba

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID