Mubadalah.id – Beberapa waktu terakhir, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyuarakan rencana besar yang cukup menggegerkan publik: merevisi ulang sejarah nasional Indonesia. Ia menyebut akan menulis kembali, bahkan ia ingin menghidupkan kembali struktur Direktorat Sejarah dan Museum agar sejarah bisa menjadi pelajaran strategis yang wajib masyarakat pahami. Gagasan ini, jika terkelola dengan baik, berpotensi menjadi momentum penting untuk merefleksikan perjalanan bangsa secara jujur dan menyeluruh.
Namun, yang membuat rencana ini mengundang kontroversi bukan hanya soal teknis revisi sejarah, melainkan apa yang tampaknya sengaja luput dari perhatian. Kisah tragis kekerasan seksual masif terhadap perempuan saat kerusuhan Mei 1998 yang hingga kini nyaris terabaikan dalam narasi resmi.
Kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual dalam tragedi tersebut sudah terdokumentasikan Komnas Perempuan dengan angka 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus pemerkosaan. Peristiwa ini merupakan luka mendalam bangsa yang melambangkan kegagalan negara dalam melindungi warga sipilnya.
Sayangnya, sampai hari ini, tidak ada satupun pelaku kekerasan tersebut yang dihukum secara hukum. Lebih menyakitkan lagi, Menteri Kebudayaan Fadli Zon pernah menyatakan bahwa kasus pemerkosaan massal itu “masih berupa rumor” dan “belum ada bukti akurat.”
Pernyataan ini tidak sekadar mengingkari kesaksian para penyintas. Melainkan juga memperpanjang kekerasan simbolik dengan terus membungkam suara korban dan mengubur luka sejarah yang sesungguhnya harus terakui dan kita sembuhkan.
Menilik Pemikiran Klasik Ibnu Khaldun
Dalam menganalisis fenomena ini, kita dapat menengok kembali pemikiran klasik Ibnu Khaldun. Dia adalah seorang ilmuwan dan filosof besar abad ke-14 yang karya monumentalnya, Al-Muqaddimah. Di mana ini merupakan bab pengantar dari kitabnya yang lebih luas, Kitab al-‘Ibar (Kitab Pelajaran atau Sejarah).
Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun memberikan kerangka analisis sejarah yang sangat penting dan cocok hingga saat ini. Terutama dalam mengkritisi cara penulisan sejarah yang bias dan dimanipulasi oleh penguasa.
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa sejarah bukan hanya kumpulan peristiwa, melainkan juga produk dari kekuasaan yang sering kali memanipulasi fakta untuk menjaga legitimasi mereka. Ia mengingatkan bahwa banyak kabar dalam sejarah adalah “bohong” atau setidaknya “berbau kepentingan,” karena penguasa sering menulis ulang sejarah untuk membenarkan tindakan mereka dan menutupi kesalahan atau kejahatan.
Oleh sebab itu, Ibnu Khaldun menekankan pentingnya kritik terhadap sejarah (naqd al-akhbar), agar kita tidak menerima narasi sejarah begitu saja. Melainkan harus terus menggali dan menguji kebenarannya secara kritis.
Pemikiran ini sangat cocok diterapkan pada rencana revisi sejarah yang sedang Fadli Zon gaungkan saat ini. Di satu sisi, revisi tentu memerlukan perbaikan narasi sejarah yang selama ini cenderung parsial dan romantis.
Namun, jika revisi sejarah tersebut hanya menampilkan wajah gemilang bangsa dan mengabaikan luka dan ketidakadilan yang rakyat alami, terutama tragedi Mei 1998, maka revisi itu hanyalah upaya memperkuat narasi penguasa dan menutup mulut para korban. Ini adalah bentuk manipulasi sejarah yang justru memperparah luka kolektif bangsa.
80 Tahun Kemerdekaan Indonesia
Sebagai bangsa yang akan segera merayakan 80 tahun kemerdekaannya, kita harus menuntut sejarah yang lengkap. Selain itu berani mengungkap semua sisi, baik kemenangan maupun kesalahan, baik kejayaan maupun penderitaan.
Revisi sejarah yang baik tidak boleh hanya berisi kisah tentang masa prasejarah atau perjuangan kemerdekaan. Tapi juga harus menampung narasi mereka yang menjadi korban pengingkaran dan kekerasan. Jika tidak, revisi sejarah hanya menjadi manipulasi ulang yang melanggengkan ketidakadilan.
Realitasnya, narasi kekerasan seksual Mei 1998 memang menjadi “zona tabu” dalam sejarah nasional. Walaupun Indonesia kini telah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 2022, fakta tentang kekerasan seksual saat kerusuhan Mei 1998 masih enggan terakui secara terbuka.
Berbagai museum dan kurikulum sejarah nasional lebih mengutamakan narasi kejayaan dan pembangunan daripada memuat kisah kelam yang menyakitkan. Suara para korban dan penyintas tetap terpinggirkan, bahkan seringkali terbiarkan hilang tanpa jejak dalam catatan resmi.
Sebagai Menteri Kebudayaan, Fadli Zon sebenarnya memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi pelindung ingatan kolektif bangsa, termasuk mengangkat suara mereka yang selama ini terabaikan. Mengabaikan atau menyangkal penderitaan korban pemerkosaan karena alasan “belum ada bukti” yang sesuai standar resmi, sama saja dengan melakukan kekerasan baru yang halus namun menyakitkan.
Sejarah sebagai Alat Kekuasaan
Ini mengingatkan kembali kita pada pelajaran Ibnu Khaldun. Dia mengatakan bahwa penguasa sering menggunakan sejarah sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai pencari kebenaran. Maka dari itu, saat sejarah hendak direvisi, masyarakat harus lebih kritis. Bukan hanya menanyakan apa yang tertulis, tapi juga apa yang sengaja terhapus.
Jika bangsa ini benar-benar ingin membangun masa depan yang adil dan bermartabat, maka sejarah harus berani mengakui semua wajahnya, termasuk yang paling kelam sekalipun. Pengingkaran atas luka dan penderitaan hanya akan membuatnya membusuk dan terus menghambat proses penyembuhan nasional. Tidak ada bangsa besar yang lahir dari pengingkaran atas korban-korbannya sendiri.
Dengan demikian, revisi sejarah yang sesungguhnya harus menjadi momen refleksi jujur dan penyembuhan luka kolektif. Rencana besar seperti yang Fadli Zon canangkan harus kita iringi keberanian untuk menghadapi kebenaran yang tidak nyaman. Karena hanya dengan cara itu, bangsa ini bisa maju dengan fondasi sejarah yang utuh, bukan narasi palsu yang membungkam dan menyakitkan. []