• Login
  • Register
Jumat, 11 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

Kemenag tampaknya perlu menerapkan seleksi ketat dalam memilih calon pengantin yang bakal mendapat tiket nikah massal.

M. Baha Uddin M. Baha Uddin
08/07/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Nikah Massal

Nikah Massal

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar dalam acara nikah massal di Masjid Istiqlal pada Sabtu (28/06/2025) menyambut baik sekaligus mengutarakan keresahan ihwal perjalanan pernikahan di Indonesia mutakhir. Progam ini mendapat sokongan dari kementerian yang beliau pimpin, tepatnya dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Mendengar kata “massal”, mengingatkan kita akan kegiatan keagamaan serupa sewaktu kecil, yakni sunatan massal. Dan, biasanya, kegiatan yang terikuti diksi ini tidak berbayar, alian cuma-cuma. Bahkan, mungkin bakal mendapat benefit lebih di luar fasilitas gratis yang terberikan.

Sorotan mengenai keresahan Menag Nasarudin ialah menyindir generasi Milenial (lahir pada 1981 hingga 1996) agar lekas menikah, jangan melulu pacaran atau kumpul kebo. “Di luar negeri, banyak yang memilih pacaran tanpa ikatan resmi. Tapi ini Indonesia, negara Pancasila yang berketuhanan.” jelas Menag Nasarudin.

Ungkapan tersebut memang pantas terucapkan oleh seorang pejabat, apalagi beliau adalah menteri yang berurusan dengan agama dan kepercayaan. Ada unsur nasihat moralitas dan penganjuran terhadap umat Islam, umumnya, untuk tak tergoda atau berlama-lama pacaran.

Lebih baik menikah, berbuhungan sesuai syariat dan patuh pada hal-hal administratif negara. Kita tahu, segala bentuk administratif di Indonesia kadang memiliki dampak nyata dalam mengurus dokumen lainnya, termasuk pernikahan. Ringkasnya, negara memudahkan ihwal hal-hal bersifat resmi.

Baca Juga:

Perjanjian Pernikahan

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

Bias Kultural dalam Duka: Laki-laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

Nikah Massal sebagai Solusi?

Namun, Menag Nasaruddin seakan melihat sebuah pernikahan dalam kanon agama semata. Maksudnya menganggap bahwa nikah massal sebagai solusi dari pelbagai persoalan yang generasi Milenial hadapi. Pun, kedudukannya sebagai pejabat publik perlu mendapat garis tanya, karena dasarnya kebijakan program lembaga negara, lalu segala anggarannya terserap dari sana, apakah gelaran nikah massal itu tulus atau malah tendensius?

Saya paham dan mengerti, program nikah massal ini Kemenag tuju agar dapat membantu pasangan yang terkendala secara ekonomi dalam melangsungkan pernikahannya, kan? Dan, ternyata biaya pernikahan—yang Rp600 ribu, sekaligus maharnya pun Kemenag tanggung.

Selain itu, tiap pasangan mendapat Rp2,5 juta sebagai bantuan ekonomi mikro untuk modal usaha. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang konon bakal memantau bantuan yang terberikan pada pasangan pengantin itu.

Jangan hanya karena melihat setitik celah alasan lalu mendasarkannya untuk menguatkan dalih sebuah program, tetapi dengan sengaja menafikan hal-hal lain di sekitarnya. Menag Nasuruddin mesti paham juga bagaimana pemaknaan menikah dari sisi sosial, ekonomi, dan budaya. Kita tak bisa menyederhanakan urusan (kebijakan) agama sat set sekali jadi tapi menegasikan unsur-unsur penyokongnya, yang menguatkannya.

Ada yang tak boleh Menag Nasaruddin lewatkan dari program nikah massal bisa menjadi pemicu ketergantungan masyarakat soal finansial pada pemerintah. Mereka yang hendak menikah tetapi masih kesulitan biaya boleh jadi akan berharap penuh pada progam nikah massal Kemenag. Mereka menanti negara memberi bantuan, sementara mereka tak punya sedikitpun upaya dan usaha untuk benar-benar mandiri sebagai pasangan dalam membentuk penyangga finansialnya. Ironis!

Konsepsi negara memberi Rp2,5 juta bernada bantuan dalam kasus di atas tentu terbilang murah. Rakyat tak mendapat didikan dari negara untuk bagaimana mendapat finansial lewat jalan kreativitas dan kerja keras. Namun, negara selalu hadir terlambat, menunggu di ujung kenestapaan berharap mendapat sanjungan dan ampresiasi karena berusaha “membantu” rakyatnya.

Kearifan Memerintah

Inilah gaya pemerintahan yang, bagi saya, kurang kreatif. Sedikit-sedikit dan terlihat gampang sekali memberi bantuan. Ini bukan soal negara harus welas asih pada rakyatnya saja, tetapi mendidik rakyat melalui sumbangan, bantuan, dan bentuk cuma-cuma lainnya adalah konsep yang buruk. Semestinya ada upaya dan jalan usaha yang masyarakat tempuh sebelum akhirnya ia mendapatkan bantuan itu.

Demikian halnya, Kemenag tampaknya perlu menerapkan seleksi ketat dalam memilih calon pengantin yang bakal mendapat tiket nikah massal. Misal, salah satu syaratnya, calon pengantin seminimal memiliki penghasilan sebagai penguat pondasi keberlangsungan kehidupan rumah tangganya kelak. Dengan begitu, ia terdidik untuk tak menggantungkan harapannya pada bantuan pemerintah.

Ini termaksudkan agar mereka yang betul-betul mendaftar, menyiapkan berkas, menjalani proses, dan sampai akhirnya mendapat tiket nikah massal memaknainya sebagai penghargaan—bukan bantuan—dari pemerintah atas usahanya selama ini.

Walau dalam proses pernikahan segala biaya dan mahar pemerintah tanggung, lalu mungkin mendapat biaya tambahan lain, itu mereka maknai bukan sebagai dana primer, tetapi menjadi dana sokongan untuk kemudian ditabung. Karena dari awal mereka mendaftar nikah massal, pondasi finansialnya sudah aman dan kokoh.

Sebagai penutup, saya jadi teringat ucapan Dr. Sidik Hasan, penguji tugas akhir saya semasa kuliah sarjana, mengatakan bahwa pernikahan itu sangat kompleks, sehingga berhubungan dengan berbagai aspek, ia tak sepenuhnya tunggal berjalan.

Dalam pada itu, paradigma yang oleh Menag Nasaruddin dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, khususnya, mesti pegang soal program nikah massal adalah keterpojokan momentum masa pernikahan tidak mesti menjadi alasan sebuah lembaga negara memberikan bantuan cuma-cuma kepadanya. []

Tags: Kementerian AgamaMasjid IstiqlalNasaruddin UmarNikah Massalpernikahan
M. Baha Uddin

M. Baha Uddin

Bergiat di Komunitas Serambi Kata

Terkait Posts

Negara Inklusi

Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

11 Juli 2025
Ikrar KUPI

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

11 Juli 2025
Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Humor Kepada Difabel

Sudahkah Etis Jokes atau Humor Kepada Difabel? Sebuah Pandangan Islam

10 Juli 2025
Melawan Perundungan

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

9 Juli 2025
Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berhaji

    Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam dan Persoalan Gender

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam dan Persoalan Gender
  • Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata
  • Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam
  • Peran Perempuan dan Perjuangannya dalam Film Sultan Agung
  • Tauhid: Fondasi Pembebasan dan Keadilan dalam Islam

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID