Mubadalah.id – Halaqah Nasional Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia; Sebuah Pendekatan Dekolonial, belum lama dihelat di Kampus Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon pada Minggu, 6 Juli 2025.
Dalam catatan yang saya tulis selama kegiatan berlangsung, adalah tanggapan dari Majelis Musyawarah KUPI Kamala Chandrakirana, saat ia menanggapi presentasi yang Samia Kotele sampaikan. Kamala, atau kami biasa menyapa beliau dengan sapaan hangat Mbak Nana, bersama Farish A Noor menjadi penanggap dalam kegiatan diskusi tersebut.
Mbak Nana membuka tanggapannya dengan memberikan apresiasi terhadap Samia, dan perasaan senangnya dengan satu gambaran yang imaji, yang menurutnya penting bagi kita. Sesuatu yang sangat sederhana, tentang arsip tua yang berdebu, yang meminta untuk kita buka karena arsip adalah harta.
“Saya kira, terutama sekarang ketika sejarah sedang dalam kontestasi besar, tentang apa artinya itu sejarah, dan bagaimana berinteraksi dengan sejarah, kita perlu menulis sendiri dan menuturkan apa yang sedang terjadi. Arsip menjadi sesuatu yang penting, sumber penting terutama ketika orang-orang sudah tidak ada. Ya kita bergantung pada arsip.” Ungkap Mbak Nana.
Mbak Nana juga berharap diskusi di hari itu menjadi titik awal bagi sebuah proses pencarian tentang sejarah kita sendiri. Jejak langkah kita, termasuk dengan membuka lemari-lemari tua yang sudah lama terkunci. Di balik pintu ketika kita membuka kita bersin-bersin, gatal-gatal, adalah sebuah pertanda bahwa kita sedang menyentuh satu realita yang sudah lama tidak kita ingat, apalagi kita kenali.
Selain itu Mbak Nana menambahkan bahwa kita telah melalui satu proses yang akan membuka mata. Bukan hanya tentang masa lalu tapi yang akan membantu kita untuk membuka jalan ke depan. Bukan hanya sekadar rekor, atau seperti yang Marzuki Wahid sampaikan. Bahwa ini adalah bukan sekadar praktik akademis tetapi juga kultural dan spiritual yang perlu menjadi sejarah yang memunculkan keadilan dan transformasi.
Posissionality KUPI
Ada tiga point penting yang Mbak Nana sampaikan dalam kesempatan diskusi Halaqah Nasional. Pertama, bagaimana menempatkan sejarah dalam perjalanan KUPI. Karena dalam pemaparan Samia ada salah satu point tentang pendekatan dekolonial adalah soal posissionality atau kedudukan diri.
Maka kita harus menyatakan, kedudukan diri kita itu di mana? Karena sejatinya tugas kita itu mempengaruhi cara kita memahami, cara kita menafsirkan, apa yang kita sampaikan, bagaimana kita memakai satu realitas.
Contohnya Mbak Nana sebagai salah satu anggota dari Majelis Musyawarah KUPI yang ia mengaku sebenarnya seperti barang aneh di dalam komunitas. Karena Mbak Nana tidak dibesarkan dalam komunitas pesantren. Walaupun leluhur Mbak Nana ada kaitannya juga dengan pesantren dan kiai di Ponorogo Jawa Timur.
“Kehadiran saya di dalam KUPI dan di dalam gerakan yang selama ini dibangun oleh pegiat-pegiat di dalam komunitas muslim, ini mungkin adalah sebuah anugerah buat saya. Dan saya percaya juga, ini menggambarkan sebuah ketertarikan yang sebenarnya sangat dalam antar gerakan. Saya ingin mengatakan itu di sini, dan ini perspektif saya dari kedudukan diri saya.”
Tentang Ikrar KUPI
Sebelum mendekonstruksikan penulisan sejarah Mbak Nana mengatakan, sejarah menjadi sentral dan kunci dalam gerakan. Lantas Mbak Nana menyebutkan salah satu kutipan penting Ikrar KUPI Kebon Jambu tahun 2017.
“Keberadaan dan peran ulama perempuan terpinggirkan oleh sejarah yang dibangun secara sepihak selama berabad-abad. Kehadiran ulama perempuan adalah keterpanggilan iman dan keniscayaan sejarah.”
Walaupun kita tidak menggunakan istilah dekolonisasi, Mbak Nana menegaskan pada tahun 2017 di mana KUPI pertama kali bersuara sebagai suatu kolektif gerakan, dia menyatakan legitiminasi dari ulama perempuan ini.
KUPI menggugat sejarah yang selama ini meminggirkan peran ulama perempuan secara sepihak selama berabad-abad. Yakni dengan penegasan pernyataan bahwa kehadiran ulama perempuan adalah keniscayaan sejarah. Bagaimana cara kita menunjukkan keniscayaan sejarah? Mbak Nana mengutip dari paper Samia.
“Pendekatan dekolonial memungkinkan kita untuk menyimak bagaimana produksi pengetahuan dibentuk oleh ketimpangan-ketimpangan (asymmetries) kuasa dan hirarki geopolitik.”
Jadi menurut Mbak Nana melalui ikrar KUPI, setiap kali kegiatan, Ikrar KUPI ini kita bacakan lagi secara lantang dan tegas. Menurutnya ini bukan narasi yang terus sekadar ada, tetapi ia terus hidup di dalam kesadaran kolektif gerakan.
Keberadaan Ulama Perempuan adalah Keniscayaan Sejarah
Sementara itu berkaitan dengan tiga sosok ulama perempuan Nyai Siti Walidah, Rahmah El Yunusiyah dan Nyai Khairiyah Hasyim, Mbak Nana juga sempat berkenalan dengan mereka melalui buku yang disebut “Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan.”
Di dalam buku tersebut ada biografi 18 ulama perempuan, termasuk tiga ulama perempuan ini. Dan itu bagi Mbak Nana semakin menguatkan bagaimana pentingnya keberadaan ulama perempuan adalah keniscayaan sejarah.
KUPI sebagai gerakan perlu untuk memberi bukti bahwa ada ulama-ulama perempuan ini sejak dulu. Nyai Siti Walidah lahir pada tahun 1872, Rahmah El Yunusiyyah tahun 1900 dan Nyai Khairiyah Hasyim tahun 1906.
Melalui profil tiga ulama perempuan di atas, pendekatan sejarah menjadi sesuatu yang sangat urgent. Bahkan dalam konteks gerakan KUPI atas otoritas keulamaan perempuan. Bukan sekadar keberadaannya, tapi atas otoritasnya.
Pendekatan sejarah ini menjadi sangat penting. Dia bukan sekadar sampingan, dia sentral, dia di tengah karena menurut Mbak Nana, kita sedang membuat plan yang sangat besar. Bahwa otoritas ulama perempuan ini bukan hanya hari ini. Tapi sesuatu yang sudah terbangun sejak lama, dan kita sebagai penerus gerakan ini.
KUPI Merawat Kehidupan Berbangsa dan Peradaban
Selain fokus pada bangsa dan keagamaan, point kedua adalah KUPI juga mempunyai misi bagaimana merawat kehidupan berbangsa dan peradaban. Apakah ia muncul begitu saja? Dalam amatan Mbak Nana sebagai seorang yang menjadi bagian dari proses ini, ia melihat itu sebagai hasil dari persenyawaan yang menyejarah dalam lintas gerakan.
KUPI merawat bangsa dan peradaban sebagai hasil dari persenyawaan menyejarah lintas gerakan. Sebagaimana yang Mbak Nana sampaikan, bahwa KUPI adalah hasil dari persenyawaan lintas gerakan. Apa yang dimaksud dengan senyawa? Senyawa itu adalah perpaduan antara zat-zat aktif.
“Jadi gerakan-gerakan itu bersenyawa menjadi sesuatu yang terpadu. Menurut saya baik untuk kita menelusuri, ini sesuatu amatan yang mungkin bisa kita lacak bersama gitu ya. Karena sejarah perlu kita baca bersama, tapi amatan ini penting ketika membayangkan. Kenapa? Bagaimana kita bisa sampai di sini?” Ungkap Mbak Nana.
Persenyawaan Gerakan Ulama Perempuan
Selain penjelasan di atas, ditambah dengan cerita tiga tokoh ulama perempuan yang menggambarkan keulamaan, kepemimpinan mereka, pola pikir, dan bagaimana mereka berpengaruh pada policy, pemikiran tentang perempuan dan tentang Islam. Ya, tiga sosok ulama perempuan yang tersebutkan itu juga bagian dari gerakan kemerdekaan dan misi kebangsaan.
Siti Walidah misalnya, dengan kerjanya di komunitas, pendidikan dan sebagainya. Pada zaman Jepang sempat kemudian dilarang untuk melakukan pengorganisasian di masyarakat. Rahmah El Yunusiyah ini sempat kena denda pihak Belanda karena dia melakukan oposisi terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang melarang sekolah karena tidak terdaftar. Jadi dia sampai kena denda dan dianggap sebagai musuh politik.
Nyai Khairiyah Hasyim ketika dia pulang dari Makkah, dia juga menjadi salah satu aktor penting untuk menerima konsep KB. Yakni terkait hak kesehatan dan reproduksi atau kontrasepsi yang pada saat itu belum terbiasa di komunitas muslim.
Peran mereka itu tidak hanya di pemikiran tentang Islam, tapi juga menjadi bagian integral dari gerakan kemerdekaan, gerakan membangun kehidupan berbangsa. Selain itu juga sebenarnya ada beberapa organisasi perempuan yang ikut dalam Kongres Perempuan pada tahun 1928. Itu organisasi yang berbeda-beda, ada yang lebih progresif, ada yang konservatif tapi mereka bagian dari gerakan.
Jadi ini adalah awal dari persenyawaan ulama perempuan, atau perempuan di dalam organisasi-organisasi muslim yang menjadi bagian tidak terpisah dari gerakan nasional, di mana gerakan dipakai untuk kepentingan bangsa.
Persenyawaan Gerakan Perempuan Transnasional
Persenyawaan sebagaimana penjelasan di atas menurut Mbak Nana bukan hanya di perjalanan nasional, tapi juga tidak terlepas dari pergerakan transnasional. Sebagaimana yang Samia katakan, ketika kita membuka lemari yang terkunci dan berdebu, ternyata buku bacaannya adalah dari Syria, lengkap dengan tanda tangan penulisnya.
Artinya, sebenarnya Indonesia tidak pernah terlepas dari dinamika di tingkat global. Satu catatan Mbak Nana tambahkan dalam diskusi Halaqah Nasonal adalah tentang CEDAW. Yakni konvensi penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang diadopsi DK PBB pada tahun 1979 kemudian 1981. Lalu dirativikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1984, sehingga dia menjadi kewajiban negara dan menjadi rujukan bagi pegiatn perempuan. Termasuk kalangan komunitas muslim.
Hasil CEDAW ini sebagai konvensi juga hasil dari gerakan perempuan di tingkat global. Dia bukan sesuatu yang tiba-tiba membuat konvensi, tapi desakan dari gerakan. Sehingga gerakan perempuan di dunia ini juga punya sejarahnya.
Pengaruh CEDAW dalam Pemikiran Komunitas Muslim tentang Gender di Indonesia
Lantas Mbak Nana melacak, apa pengaruh dari CEDAW di Indonesia, atau segala pertemuan-pertemuan internasional terkait kependudukan dan pembangunan. Kemudian pertemuan Beijing kaitannya dengan institusi-institusi yang mempengaruhi pemikiran komunitas muslim tentang gender di Indonesia.
Selain itu keberadaan jurnal dan majalah juga menjadi bagian penting. Mbak Nana bercerita tentang gurunya Benedict Anderson, yang juga sangat percaya pada media. Yakni sebagai suatu dampak transformatif membangun apa yang ia sebut dengan imagination community.
Jadi masyarakat yang kita bayangkan itu keluar dari jurnal-jurnal dan koran, di mana itu adalah sumber informasi yang sangat penting. Jurnal Ulumul Qur’an No. 4 tahun 1990 misalnya. Riffat Hasan dan Wardah Hafidz mulai mengumpulkan gagasan-gagasan tentang gender, dan gender dalam Islam.
Kemudian setelah itu ada LP3ES melalui program Fiqh Nisa tahun 1985, di mana program ini lahir sebagai sarana untuk menerapkan konsepsi yang dicapai Beijing dalam pertemuan global. Lalu pada tahun 1995, Pusat Studi Wanita (PSW) PSW di UIN Jogja dan UII Jogja. Selain itu juga Fatayat NU memiliki pendidikan gender pada tahun 1998, melalui Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF).
Fakta di atas menurut Mbak Nana tidak terlepas dari percakapan dan komitmen di tingkat global yang membangun persepsi gender di dalam upaya membangun masyarakat. Sehingga bagi Mbak Nana hal ini menggambarkan bagaimana gerakan yang terbangun di dalam komunitas muslim itu setiap zaman mempunyai interaksinya sendiri. Antara gerakan di dalam komunitas muslim itu sendiri dengan gerakan sosial politik yang sedang berjalan di momen itu.
Otonomi KUPI
Dan setiap zaman memunculkan dinamika dan produknya tersendiri. Yang menarik dari zaman ini adalah soal kemungkinan karena dia berinteraksi dengan gerakan perempuan secara paralel. Sehingga KUPI menjadi sesuatu yang penting, karena ia adalah gerakan ulama perempuan yang punya otonomi.
KUPI tidak terafiliasi pada ormas keagamaan. Dia mempunyai keyakinan untuk berdiri secara mandiri, dan ini menurut Mbak Nana memungkinkan karena kesenyawaan. KUPI punya kepercayaan dan keyakinan bisa berdiri sendiri, karena dia memang lahir dari berbagai aras gerakan. Dia tidak tunggal berasal dari lingkungan yang sama.
Satu hal lagi yang sangat penting adalah bagaimana KUPI menyatakan diri sebagai kongres. Ini soal terminologi yang menentukan sebuah catatan perjalanan. Pilihan KUPI menentukan diri sebagai kongres itu adalah suatu pilihan yang menempatkannya di dalam sejarah Kongres Perempuan, yang menyatakan diri punya akar pada Kongres Perempuan pada tahun 1928, sehingga menyatakan KUPI sebagai kongres ulama perempuan Indonesia.
Pilihan kongres ini sebagai pernyataan dari gerakan untuk menyatakan diri sebagai berkaitan dengan sejarah gerakan perempuan di Indonesia. Persenyawaan itu terjadi dalam pola pikirnya, dan cara menempatkan diri, di mana menurut Mbak Nana, ini adalah “Komitmen gerakan KUPI untuk merawat bangsa dan peradaban yang lahir dari kehadiran ulama perempuan yang tak terputus, lintas gerakan dan saling bersenyawa.”
Lantas yang menarik untuk kita lacak bersama, adalah kehadiran ulama perempuan di dalam gerakan-gerakan ini, karena yang memungkinkan persenyawaan itu terjadi secara organik. Ia ada di dalam gerakan Islam progresif, di dalam gerakan Islam pro demokrasi, gerakan kemerdekaan, dan di dalam gerakan perempuan di tingkat nasional maupun transnasional.
Gerakan perempuan ini memungkinkan persenyawaan lahir dan memunculkan KUPI yang menyatakan keyakinannya atau otonomi dia. Menurut Mbak Nana menjadi basis gerakan yang sangat luar biasa dan menjadi capaian sejarah itu sendiri.
Metodologi Dekolonial
Terakhir, Mbak Nana membicang presentasi Samia yang memberikan rujukan soal metodologi dekolonial. Salah satu yang menjadi rujukan di dalam paper Samia adalah tulisan Chandra Talhade Mohanty dalam buku “Feminisme Without Bourders”. Mbak Nana mencatat pembelajaran penting dari buku tersebut;
“Pengalaman perempuan perlu dipahami dalam kaitan dengan garis-garis pemisah yang hadir secara bersamaan dalam kaitan dengan basis sosial-kultural, politik, agama, ras, suku, bangsa dan kelas.”
Artinya, “pemaparan dan penulisan sejarah tentang hidup dan perjuangan perempuan yang bersifat utuh bersifat interseksional dan transnasional serta dibangun dengan basis solidaritas dalam ruang pergerakan yang lebih besar.”
Karena dia bicara bourders, dia bicara perempuan tidak hanya sebagai perempuan, dia juga mengalami hidup ini di dalam realitas konteks yang beragam, yang multiple, majemuk, termasuk sosial politik, agama, budaya, dan ras, dan ini mempengaruhi posisi dan kehidupannya.
Ini sebuah catatan yang menarik menurut Mbak Nana untuk kita selami bersama, jika memang memiliki semangat untuk mempunyai satu langkah bersama di dalam ruang sejarah. Karena sejarah, Mbak Nana menambahkan, sekali lagi adalah bagian dari sentral, bukan pinggiran, tapi dia sentral dari dari sejarah ulama perempuan.
“Jika kita mau menjalankannya sebagai suatu proses sejarah ulama perempuan maka ini adalah catatan-catatan yang bisa kita internalisasi dan bahas bersama. Tentu Samia menjadi bagian dari seluruh proses ini.” Pungkas Mbak Nana. []