• Login
  • Register
Sabtu, 12 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

Kita tahu bahwa pembangunan adalah proyek jangka panjang. Tapi jika sejak awal sudah bias gender, maka hasil akhirnya tidak akan adil.

Raden Siska Marini Raden Siska Marini
12/07/2025
in Publik
0
Perempuan dan Pembangunan

Perempuan dan Pembangunan

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam setiap rencana pembangunan, selalu ada peta. Jalan mana yang akan kita bangun, jembatan mana yang akan kita perkuat, sekolah mana yang akan kita renovasi, bendungan mana yang akan kita perluas. Tapi ada satu hal yang sering luput dari peta-peta itu: suara perempuan.

Padahal, dalam kehidupan nyata, perempuan adalah pihak yang paling pertama dan paling dekat merasakan dampak pembangunan—baik yang berhasil maupun yang gagal.

Mereka tahu seberapa jauh anak-anak harus berjalan ke sekolah, bagaimana kondisi air bersih di musim kemarau, atau seberapa berbahaya jembatan tua yang terlalui setiap hari. Tapi dalam forum-forum musyawarah desa atau penyusunan anggaran pembangunan, suara mereka nyaris tak terdengar.

Bila pembangunan hanya menjadi urusan teknis dan formalistik, maka yang terjadi bukan kemajuan, tapi ketimpangan yang semakin terpoles. Perempuan dan pembangunan sering kali dianggap sebagai penerima manfaat, bukan perancang kebijakan.

Mereka ditampilkan dalam dokumentasi program, tetapi tidak pernah benar-benar diminta pendapatnya dalam tahap perencanaan. Bahkan dalam pembangunan infrastruktur sekalipun—yang dampaknya sangat langsung terhadap kehidupan perempuan—peran mereka nyaris tak masuk hitungan.

Baca Juga:

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

Penyegelan Masjid Ahmadiyah di Banjar: Negara Masih Gagal Menjamin Kebebasan Beragama

Belajar dari Malaysia Soal Akses Difabel

Padahal, membangun jalan bukan hanya soal menurunkan angka kemacetan. Ia berkaitan dengan akses layanan kesehatan, pendidikan, pasar, dan ruang-ruang aman bagi semua warga, termasuk perempuan, anak, dan lansia. Tapi terlalu sering, jalan terbangun hanya agar kendaraan lebih cepat lewat, bukan agar perempuan lebih mudah mengakses posyandu.

Penerangan jalan terbangun untuk estetika kota, bukan untuk mengurangi risiko kekerasan seksual di jalanan gelap. Bahkan trotoar pun sering terbangun tanpa mempertimbangkan ibu yang mendorong stroller, perempuan hamil, atau penyandang disabilitas.

Pembangunan yang Bermakna

Dalam konteks inilah, penting sekali menempatkan perempuan dan pembangunan bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai bagian dari inti pembangunan. Kehadiran perempuan dalam forum-forum pengambilan keputusan bukanlah bentuk belas kasih, tapi keharusan etis sekaligus strategis. Sebab, hanya dengan mendengar suara yang paling dekat dengan denyut kehidupan, pembangunan bisa sungguh-sungguh bermakna.

Islam sendiri tidak menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Dalam Surah At-Taubah ayat 71 ditegaskan:

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar…”

Ayat ini memperlihatkan bahwa dalam kerja-kerja sosial, termasuk pembangunan, perempuan dan laki-laki adalah mitra. Keduanya punya tanggung jawab kolektif dalam menciptakan kebaikan dan mencegah kerusakan. Maka dalam kerangka pembangunan, tidak ada alasan untuk mengecualikan perempuan dari meja perencanaan.

Sayangnya, dalam praktiknya, banyak perempuan desa yang bahkan tidak tahu bahwa mereka bisa bersuara dalam forum Musrenbang. Tidak sedikit pula yang datang hanya untuk memenuhi kuota kehadiran, bukan untuk bicara.

Ada yang sudah menyusun proposal kebutuhan sanitasi dan air bersih, tetapi kemudian terkalahkan oleh usulan pengaspalan jalan ke tempat wisata. Ini bukan sekadar soal prosedur, tapi bukti bahwa kebutuhan hidup perempuan masih belum dianggap sebagai kebutuhan publik.

Kapan Pembangunan Mendengarkan Suara Perempuan?

Lebih jauh, kita juga harus jujur bahwa pembangunan sering kali tidak peka terhadap kerja-kerja domestik perempuan. Misalnya, kerja mengurus anak, merawat orang tua, memasak, dan menjaga kebersihan rumah.

Semua itu masih dianggap sebagai beban personal, bukan tanggung jawab negara. Padahal, semua pembangunan fisik akan sia-sia jika perempuan tetap hidup dalam keletihan yang tidak terlihat, dalam kerja tanpa upah, dan dalam pengabdian yang tidak dihargai.

Maka pembangunan yang sejati bukan hanya membangun jalan atau gedung, tetapi juga membangun struktur sosial yang adil. Struktur yang mengakui kerja perempuan sebagai kerja produktif. Memamastikan perempuan punya akses yang sama terhadap sumber daya, pelatihan, dan peluang. Struktur yang membuka ruang partisipasi perempuan sejak awal, bukan sekadar saat pelaporan.

Sudah saatnya pendekatan pembangunan bergeser: dari yang maskulin dan teknokratis, menuju yang partisipatif dan kontekstual. Perempuan tidak membutuhkan perlakuan istimewa. Mereka hanya perlu ruang yang setara. Mereka tidak minta kita hormati sebagai simbol ibu bangsa, jika dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap tersisihkan dari ruang pengambilan keputusan.

Kita tahu bahwa pembangunan adalah proyek jangka panjang. Tapi jika sejak awal sudah bias gender, maka hasil akhirnya tidak akan adil. Ketika perempuan tak terlibat dalam membangun, maka separuh dari kekuatan bangsa ini tersia-siakan. Dan ketika kebutuhan mereka terus-menerus terabaikan, maka tak heran jika hasil pembangunan terasa jauh dari kehidupan rakyat kecil.

Maka pertanyaannya hari ini bukan lagi: apakah perempuan boleh ikut membangun? Tapi: kapan pembangunan akan benar-benar mendengarkan perempuan?

Tags: Affirmasi PolitikkebijakanNegarapemerintahPengarustamaan GenderPerempuan dan Pembangunan
Raden Siska Marini

Raden Siska Marini

Aktivis gender dan pendidik yang merawat harapan akan Islam yang setara, ramah, dan membebaskan. Ia percaya bahwa ruang-ruang spiritual bisa menjadi jalan untuk membangun relasi yang adil antara manusia dan Tuhan, juga antar sesama. Kegiatannya bisa diikuti melalui Instagram @raden.siska.

Terkait Posts

Isu Disabilitas

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

12 Juli 2025
Negara Inklusi

Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

11 Juli 2025
Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Humor Kepada Difabel

Sudahkah Etis Jokes atau Humor Kepada Difabel? Sebuah Pandangan Islam

10 Juli 2025
Melawan Perundungan

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

9 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Isu Disabilitas

    Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama
  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan
  • Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan
  • Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID