Mubadalah.id – Berbeda dari pandangan konservatif, aliran kedua meyakini bahwa perempuan memiliki status dan posisi yang setara dengan laki-laki.
Dalam pandangan ini, perempuan dianugerahi potensi-potensi kemanusiaan yang sama dengan laki-laki, baik dari segi intelektual, fisik, maupun mental-spiritual.
Ikrar Ulama Perempuan pada Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama kali menegaskan hal ini dengan sangat jelas:
“Perempuan adalah manusia yang memiliki seluruh potensi kemanusiaannya sebagaimana laki-laki melalui akal budi dan jiwa raga. Semua ini adalah anugerah Allah SWT yang diberikan kepada setiap manusia yang tidak boleh dikurangi oleh siapa pun dan atas nama apa pun.”
Aliran pemikiran ini menolak mengaitkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dengan pembatasan peran maupun hak mereka di ranah sosial dan hukum.
Perbedaan tubuh tidak serta-merta meniscayakan perbedaan hak dalam mengekspresikan kebebasan, menentukan pilihan. Maupun mengakses ruang-ruang publik. Atas dasar itulah, mereka berpendapat perempuan berhak penuh untuk berkiprah di berbagai lini kehidupan, baik di ranah domestik maupun publik.
Sayangnya, pandangan progresif ini masih dianut oleh segelintir ulama Islam. Tak heran banyak yang menyebutnya sebagai aliran minoritas atau aliran progresif dalam diskursus fikih dan tafsir keagamaan.
Menariknya, kedua arus besar pemikiran ini sama-sama berangkat dari sumber yang serupa: Al-Qur’an dan hadis Nabi, dua rujukan paling otoritatif dalam Islam. Memang, teks-teks keagamaan tersebut memuat dua sisi yang sering tampak berseberangan.
Kesetaraan Manusia
Di satu sisi, ada ayat-ayat ini yang menegaskan laki-laki dan perempuan adalah manusia yang setara di hadapan Tuhan, penghormatan terhadap martabat manusia, dan penegakan keadilan.
Di sisi lain, terdapat pula ayat dan hadis yang bicara soal pembedaan peran laki-laki dan perempuan, superioritas laki-laki. Serta penekanan peran domestik bagi perempuan.
Tak heran jika produk-produk pemikiran ulama sepanjang sejarah Islam juga memantulkan ambiguitas ini. Kita bisa menemukan pandangan yang saling bertolak belakang tentang perempuan mulai dari yang membatasi hingga yang membebaskan.
Semua ini lahir dari pergulatan panjang dalam membaca, menafsirkan, dan merumuskan ajaran agama di tengah konteks sosial yang terus berubah. []