Mubadalah.id – Dalam pandangan asy-Syathibi, ayat – ayat Al-Qur’an yang menegaskan kesetaraan manusia bersifat pasti (qath‘i), tetap, dan berlaku universal. Karena itu, ayat-ayat inilah yang semestinya menjadi pijakan utama dalam menetapkan prinsip hukum maupun relasi sosial.
Sebaliknya, ayat tentang kepemimpinan laki-laki bersifat khusus, lahir dari kondisi sosial tertentu pada zamannya. Sehingga penerapannya perlu kita lihat secara kontekstual. Ini bukan berarti ayat-ayat partikular tersebut diabaikan atau dihapuskan, melainkan dimaknai ulang agar sesuai dengan perkembangan masyarakat yang terus bergerak.
Pendekatan semacam ini sejatinya sudah menjadi praktik para ulama sejak generasi sahabat, tabi‘in, hingga para mujtahid besar, yang selalu membaca teks agama dengan memperhatikan konteks zaman dan kebutuhan masyarakatnya.
Dengan perspektif kemanusiaan inilah, perempuan adalah setara dengan laki-laki sama-sama manusia yang memiliki akal budi dan dipanggil oleh Islam untuk beriman.
Dalam kedudukan yang setara ini, laki-laki dan perempuan adalah mitra (awliya’) untuk bekerja sama dalam berbagai amal sosial dan keagamaan yaitu, menyeru pada kebaikan (amar ma‘ruf), mencegah kemungkaran (nahy munkar).
Juga, termasuk dalam menegakkan ibadah seperti shalat, memperjuangkan keadilan sosial melalui zakat. Hingga memelihara ajaran tauhid dan risalah kenabian. Al-Qur’an sendiri secara tegas menggambarkan panggilan ini dalam surat at-Taubah ayat 71:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ