Mubadalah.id – Setiap kali kalender Hijriah berganti, ruang-ruang publik dan media sosial dipenuhi dengan ucapan selamat tahun baru Islam. Masjid-masjid ramai menggelar doa bersama, pengajian, hingga kegiatan sosial. Di banyak tempat, ini menjadi bagian dari tradisi tahunan yang hangat dan menggembirakan.
Tradisi ini tentu patut dihargai. Ia tidak hanya menjadi penanda waktu keagamaan, tetapi juga memperkuat identitas umat dan mempererat relasi sosial. Namun, di balik perayaan itu, ada satu pertanyaan penting yang patut direnungkan: apakah makna hijrah yang kita rayakan benar-benar hidup dalam keseharian?
Sejarah mencatat, hijrah Nabi Muhammad Saw dari Mekah ke Madinah bukan sekadar perpindahan fisik. Ia adalah momentum transformatif dalam sejarah Islam, yang menjadi titik awal berdirinya masyarakat yang berlandaskan keadilan, solidaritas, dan akhlak. Itulah sebabnya peristiwa tersebut menjadi dasar penanggalan Hijriah.
Namun, sebagaimana dijelaskan Nabi Saw, makna hijrah tidak berhenti pada peristiwa sejarah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, beliau menyatakan, “Seorang muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.”
Ini berarti hijrah adalah soal transformasi batin, perubahan sikap, meninggalkan keburukan, dan bergerak menuju kebaikan.
Sayangnya, dalam praktik masyarakat hari ini, hijrah lebih sering berhenti sebagai seremoni. Kita sibuk membuat poster, menyusun acara, dan berbagi status, namun lupa mengevaluasi diri. Padahal, ruh dari hijrah terletak pada perubahan sikap—bukan sekadar perayaan waktu.
Pandangan Yusuf al-Qaradhawi
Pandangan para ulama juga menegaskan hal ini. Misalnya, Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam salah satu fatwanya menyebutkan bahwa memperingati tahun baru Islam bisa menjadi sarana untuk merenung, mensyukuri nikmat waktu, dan menumbuhkan semangat kolektif untuk memperbaiki diri dan masyarakat. Namun ia mengingatkan, yang lebih penting dari perayaannya adalah konten dan semangat yang menyertainya.
Senada dengan itu, Syaikh Abdul Karim al-Khudair, seorang ulama terkemuka Arab Saudi, menegaskan bahwa mengucapkan doa atau harapan baik di awal tahun tidak dilarang, selama tidak dianggap sebagai ritual yang diwajibkan agama. Ini menunjukkan pentingnya menjaga esensi hijrah, bukan larut dalam simbolisme semata.
Di tengah dunia yang makin cepat dan penuh distraksi, semangat hijrah sesungguhnya semakin relevan. Ia bisa kita maknai sebagai usaha harian untuk menjadi manusia yang lebih jujur, lebih sabar, lebih peduli, dan lebih bertanggung jawab. Bukan hanya dalam relasi spiritual, tapi juga dalam kehidupan sosial dan profesional kita.
Hijrah, dengan demikian, bukan sekadar peringatan tahunan. Ia adalah proses panjang dan terus-menerus. Tahun boleh berganti, spanduk boleh berganti desain, namun tanpa perubahan nyata dalam cara kita memperlakukan orang lain dan memperbaiki diri, maka hijrah hanya akan menjadi rutinitas tanpa ruh.
Karenanya, mari maknai hijrah sebagai ajakan yang personal dan praktis. Tidak perlu menunggu tahun baru. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk berubah. Kita bisa mulai dari hal-hal kecil: memperbaiki hubungan dengan keluarga, mengurangi kebiasaan menunda pekerjaan, atau lebih jujur dalam bekerja.
Perubahan kecil yang kita lakukan secara konsisten seringkali jauh lebih berdampak daripada niat besar yang hanya kita simpan.
Jika semangat ini bisa tumbuh dalam keseharian, maka hijrah tidak lagi menjadi milik kalender semata, tetapi menjadi bagian dari karakter dan cara hidup kita sebagai manusia beriman dan berakal. []