Mubadalah.id – Sudah menjadi pemandangan yang lazim ketika lapangan yang menjadi salah satu ruang publik kerap menjadi saksi beragam aktivitas. Berlari pagi, jalan kaki, bertanding sepak bola, hingga riuhnya para pedagang yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pagi itu, saya dan beberapa teman merealisasikan rencana untuk jalan kaki di Kotagede. Mengawali perjalanan dari Masjid Besar Mataram Kotagede yang menyimpan banyak sejarah, kemudian melintasi pemukiman warga, lalu mengakhiri dengan sarapan di Lapangan Karang.
Ketika sampai di lapangan tersebut, terdapat plang pengumuman bahwa lapangan tutup sementara karena ada aktivitas pemeliharaan hingga akhir Juli. Beberapa saat setelah kita selesai menghabiskan sarapan memang terlihat beberapa teknisi yang menyiram rumput di lapangan.
Hal yang menarik mata saya terhadap lapangan ini adalah rumputnya yang hijau menyala dan terlihat rapi. Menggambarkan keindahan yang menenangkan ketika menyapukan penglihatan. Belakangan baru saya ketahui bahwa lapangan ini memang menggunakan rumput Zoysia Matrella yang memiliki standar setara Stadion Gelora Bung Karno.
Di tengah perbincangan bersama teman, ada pemandangan yang mencuri perhatian saya. Seorang perempuan yang mengenakan pakaian olahraga, memakai kacamata hitam dan berjalan perlahan sambil menggenggam erat pagar pembatas lapangan.
Saya mengamatinya dengan seksama, kemudian menyapukan pandangan di lintasan joging yang ternyata belum ada guiding block. Lapangan Karang dengan segala fasilitas yang menjadi simbol modernisasi kota berbanding terbalik dengan absennya akses yang tidak setara. Kemudian muncul pertanyaan mendasar dalam kepala saya, sebetulnya siapa saja yang bisa hadir? Dan siapa saja yang diam-diam tersingkir?
Akses yang Tidak Setara
Dalam konteks ini, olahraga sebagai salah satu kebutuhan untuk hidup sehat kemudian menjadi akses yang sulit terjangkau bagi penyandang disabilitas netra. Usaha untuk konsisten berjalan pagi agar badan tetap bugar seolah terhalang dengan pembangunan kota yang tidak ramah bagi disabilitas netra.
Estetika dan kecepatan yang kerap mendominasi perencanaan dan pembangunan tata kota dan tidak diikuti kesadaran inklusivitas rentan memarjinalkan kelompok disabilitas. Aksesibilitas yang tidak terpenuhi menjadi hambatan bagi penyandang disabilitas untuk melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan pagi di lapangan.
Muhammad Khambali dalam bukunya yang berjudul Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan menjelaskan bahwa akses dapat dimaknai sebagai pemenuhan hak yang sama bagi penyandang disabilitas untuk dapat mencapai, menggunakan, dan menikmati ruang maupun fasilitas sebagai hak dari warga. Namun, dengan realitas yang ada, apakah hak penyandang disabilitas telah terpenuhi untuk mendapatkan akses tersebut? Sayangnya belum sepenuhnya.
Hegemoni Ableism
Tidak terpenuhinya akses bagi penyandang disabilitas bukan sebatas persoalan teknis semata. Tetapi hal tersebut adalah hasil dari hegemoni ableism yang menjadikan tubuh “normal” sebagai standar tunggal dalam pembangunan ruang. Ketika perencanaan pembangunan fasilitas publik tidak melibatkan kelompok disabilitas, maka ruang yang terwujud akan menyingkirkan mereka secara sistemik dan tidak kasat mata.
Nasrudin Dewang dan Leonardo (2010) dalam artikelnya yang berjudul Aksesibilitas Ruang Terbuka Publik Bagi Kelompok Masyarakat Tertentu: Studi Fasilitas Publik Bagi Kaum Difabel di Kawasan Taman Suropati Menteng-Jakarta Pusat menjelaskan bahwa menjadikan orang-orang yang dapat “bergerak normal” sebagai asumsi dasar dalam pembangunan ruang terbuka publik kota merupakan langkah yang tidak bijaksana.
Karena semua orang, termasuk penyandang disabilitas sudah semestinya dapat menikmati dan memanfaatkan ruang publik sebagai tempat berkegiatan.
Hal ini mencerminkan bahwa wacanan dominan masih melihat persoalan disabilitas sebagai tragedi personal, alih-alih struktural. Dalam perspektif social model, disabilitas merupakan konstruksi sosial yang lahir dari kegagalan akomodasi yang setara dan menindas.
Adanya ruang publik yang setara akan tercapai jika telah terbangun pemahaman bahwa penyandang disabilitas merupakan bagian dari komunitas sosial warga kota yang memiliki hak yang sama dengan warga yang lain. Penting untuk membangun perspektif keberpihakan serta kesediaan mendengar suara dari penyandang disabilitas sebagai bagian upaya pemenuhan hak yang adil.
Bukan Sekedar Akses, Tetapi Pemenuhan Hak
Membangun ruang publik yang inklusif bukan hanya soal akses, tetapi ini adalah tentang mewujudkan keadilan sosial. Akses yang sudah semestinya tersedia tidak boleh kita lihat sebagai bentuk “kemurahan hati” atau “bonus” bagi kelompok tertentu. Melainkan bentuk integral hak menggunakan ruang publik secara setara.
Kelak, pengadaan guiding block di lintasan jogging Lapangan Karang seyogyanya bukan dilihat sebagai fasilitas tambahan, namun harus dimaknai sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak dasar warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan publik.
Lapangan Karang sebagai ruang publik sejatinya adalah cerminan dari siapa yang dianggap sebagai “warga” dan siapa yang hadir dengan meraba. Ketika disabilitas netra harus menggenggam pagar besi untuk sekedar berjalan, itu sama artinya kita melihat bagaimana sistem sosial membuatnya menjadi liyan.
Hal ini adalah bentuk manifestasi ketimpangan struktural bagi kelompok yang marjinal, atau lebih tepatnya dimarjinalkan. Maka dari itu ruang publik saat ini tidaklah netral, melainkan representasi dari nilai, norma, dan kepentingan yang dominan masyarakat.
Maka dari itu, membangun ruang publik yang inklusif terlebih dahulu memulainya dari perubahan paradigma, kemudian melanjutkannya dengan intervensi kebijakan yang nyata. Sudah saatnya melibatkan kelompok disabilitas untuk menjadi bagian dalam perencanaan dan pembangunan ruang publik. Mulai dari perencanaan, proses pembangunan, hingga audit aksesibilitas secara berkala.
Penting untuk memastikan elemen-elemen di ruang publik seperti guiding block, ramp, toilet aksesibel, papan petunjuk dengan huruf besar maupun braille yang cukup dan benar-benar berfungsi.
Di sisi lain, masyarakat luas juga perlu mendapatkan edukasi dan sosialisasi terus menerus tentang pentingnya ruang publik yang setara dan ramah. Karena mewujudkan inklusivitas bukan hanya tentang teknis pembangunan, tetapi bagaimana bersama-sama membayangkan kan memperjuangkan ruang publik yang setara sebagai milik semua warga. []