Pembahasan mengenai seks dan seksualitas di masyarakat cenederung ditabukan. Kebanyakan masyarakat menilai bahwa pembicaran seks itu melanggar nilai moral, sehingga sedikit sekali orang yang berani membicarakan masalah seksualitas. Tidaklah heran kemudian, muncul bias di masyarakat yang pada akhirnya menyasar perempuan sebagai pihak yang tidak diuntungkan.
Status quo di masyarakat istri sebagai objek seksual suami yang harus selalu bersedia melayani kapan dan di mana pun suami meminta untuk dilayani. Istri tidak diperbolehkan menolak keinginan suaminya itu sekali pun tengah memasak di dapur. Hal tersebut kemudian menjadikan istri hanya sebatas pelayan suami, tanpa pernah memahami istri pun memiliki hak dilayani dalam masalah seksualitas.
Beberapa teks hadits menjadi penguat pemahaman seksual yang bias tersebut, misalnya hadits at-Tirmidzi: ”Apabila seorang suami memanggil istrinya untuk suatu hajatnya, maka harus segera disambut, walau ia sedang menjaga masakan di atas api.” Hadits tersebut kebanyakan dibaca secara literal saja, maka tak heran perempuan hanya menjadi objek pemuas seksual laki-laki. Seolah seksualitas hanya milik kaum laki-laki.
Karena terlalu fokusnya kita pada tugas istri memuaskan seks suami, taukah teman-teman bahwa seksualitas laki-laki dan perempuan itu berbeda? Beberapa waktu lalu saya membaca buku yang kebetulan membahas seksualitas perempuan yang lebih rumit dibandingkan laki-laki.
Dan dari beberapa riset menyatakan tidaklah sedikit perempuan tidak mendapatkan kenikmatan ketika berhubungan seksual dengan pasangannya. Misalnya riset yang dilakukan Universitas Indiana (2010) menyatakan, empat dari sepuluh wanita tidak mencapai orgasme saat berhubungan dengan pasangannya. Kenapa bisa begitu?
Kebanyakan orang beranggapan bahwa seksualitas perempuan sama dengan seksualitas yang dimiliki laki-laki, padahal sangat berbeda. Ketika laki-laki merasa puas dengan hubungan seksual dengan pasangannya, itu belum tentu dirasakan oleh perempuan juga.Laki-laki cenderung lebih mudah menerima rangsangan seksual, semisal gambar atau suatu objek yang dengannya laki-laki mudah berfantasi. Ini sangatlah berebda dengan perempuan, gairah seksual perempuan lebih banyak dipengaruhi emosi.
Dilansir dari Liputan6.com, dalam hubungan seksual, pria sangat mengharapkan kenikmatan fisik melalui sentuhan dan visual. Sedangkan perempuan lebih banyak mengharapkan kondisi layaknya rekreasi, yakni turut mendapatkan pengalaman batin yang memuaskan.
Juga seorang terapis asal Australia bernama Bettina Arndt, mengatakan bahwa cukup umum ditemui wanita-wanita yang tidak bernafsu untuk berhubungan seks dibanding suami mereka, dan bahwa ini adalah rahasia yang tidak mau diakui yang menyebabkan banyaknya perceraian, dan bahkan dibalik perselingkuhan pria. [Naomi Wolf, 2020:122]
Perempuan terlalu dibebankan pada tugasnya untuk melayani seks suaminya, tanpa pernah di beri kesempatan untuk memebicarakan mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh istri. Kebutuhan seksualitas perempuan pada akhirnya kurang diperhatikan, tidak dipahami oleh pasangannya, sebab terlalu fokus pada pemenuhan seks laki-laki saja.
Sehingga tidaklah heran apabila dalam hubungan pasutri terasa hambar, karena tidak adanya kesalingan dalam membina hubungan, tidak saling memahami. Hal-hal tersebut akan berujung pada perceraian atau perselingkuhan.
Maka penting sekali menerapkan mubadalah atau kesalingan dalam relasi suami istri. Janganlah tanya lagi siapa yang berkewajiban melayani siapa? Tetapi kedua subjek yang menjalin relasi sama-sama berkewajiban melayani, agar keduanya sama-sama dilayani.
Jangan lagi tanya siapa yang harus dipuaskan secara seksual? Tetapi keduanya sama-sama memiliki hak untuk dipuaskan. Tidak hanya suami dan tidak hanya istri. Tapi keduanya. Betapa indah ketika kita menjalin hubungan yang saling memahami, saling menyayangi, saling mencintai dan saling membahagiakan. Sebab bahagia bukan monopoli satu pihak, tapi milik bersama. []
.