Mubadalah.id – Tulisan ini berangkat dari keresahan yang aku alami sendiri, dan judul yang kutulis adalah pertanyaan yang sampai detik ini masih menghantui pikiranku. Belum juga kutemui jawabannya yang pasti, masih berupa pengandaian. Namun, aku harap dengan semakin banyaknya orang yang memiliki perspektif feminis, ruang aman bagi perempuan tidak lagi menjadi utopis.
Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan yang diterbitkan di Jakarta tanggal 5 Maret 2021, pada tahun 2020 tercatat ada 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Meskipun angka tersebut menurun dari tahun sebelumnya, menurut Andy Yentriyani selaku Ketua Komnas Perempuan, jumlah angka tersebut hanya yang berhasil didokumentasikan saja. Faktanya,jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di lapangan lebih tinggi karena situasi pandemi.
Situasi di masa pandemi mengharuskan orang-orang beraktivitas secara online. Sayangnya, kekerasan atau pelecehan juga kerap kali terjadi di ruang online. Seperti yang aku alami baru-baru ini sebagai penyintas. Untuk memenuhi kebutuhan informasi, aku sangat aktif bermain media sosial. Setidaknya 2 paltform yang sering kugunakan, Facebook dan Instagram. Tetapi, akhir-akhir ini aku merasa tidak aman aktif di media sosial karena pesan yang masuk dari orang yang tidak aku kenal secara nyata atau tidak aku follow sama sekali.
Pertama kali mengirim pesan, pelaku bermaksud untuk berkenalan. Sebenarnya aku jarang sekali meladeni orang yang basa-basi di media sosial. Setelah aku melihat profilnya, ternyata kami memiliki beberapa teman yang sama. Lalu, aku menjawab pesan sekedarnya. Ketika ia menjadi sering menyapa lewat pesan dengan kalimat yang tidak menyenangkan, seperti “Selamat Pagi, Nok Ayu” (sebutan untuk perempuan cantik di Jawa), aku dibuat tidak nyaman karena ungkapan tersebut layaknya catcalling.
Sikapku akhirnya tidak lagi menghiraukan setiap kali pelaku mengirimiku pesan. Namun, hal itu tidak membuat pelaku berhenti begitu saja. Ia masih sering mengirimiku pesan, bahkan bertanya alamat rumahku. Tak satupun pesannya yang kubalas, melihatnya pun aku tak pernah.
Namun, pada suatu waktu, ketika aku sedang online, ia tiba-tiba meneleponku, berulang-ulang kali. Tak kuangkat sekalipun teleponnya. Jelas saja, saat itu sudah lewat tengah malam. Ada kepentingan apa orang yang tidak aku kenal sama sekali menelepon di pagi buta?
Saat aku risih dengan teleponnya yang tak kunjung usai, aku memberanikan diri untuk memperingatinya dengan mengirim pesan. “Mohon maaf, ini sudah tengah malam, saya ingin istirahat”. Namun, bukannya malah meminta maaf, pelaku justru mengancamku dengan berkata bahwa ia akan mengirimkan pellet kepadaku. Semacam ilmu sihir untuk membuat orang jatuh cinta sampai tergila-gila.
Aku benar-benar tidak habis pikir. Apa motif sebenarnya orang-orang yang bertindak seperti itu? Alih-alih menambah pertemanan lewat media sosial, ia malah melakukan pelecehan dan Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO). Parahnya, ini kejadian bukan pertama kali yang pernah aku alami, bahkan teman-teman perempuanku yang lain acap kali mengalami kejadian serupa.
Jenis pelecehan lainnya juga beberapa kali aku alami, misalnya pelecehan secara verbal. Aku pun dibuat tak habis piker lagi, karena catcalling yang aku alami di lingkungan pondok pesantren. Saat itu aku sedang berkunjung ke almamaterku dengan membawa jajanan berupa sosis dan seafood lainnya.
Di tengah perjalanan, ada dua laki-laki yang diduga santri karena memakai sarung dan peci, menjahiliku dengan menyebut jajanan yang aku bawa. Kala itu, aku juga memberanikan diri untuk menegur. Ternyata, dua laki-laki tersebut masih bocah, dan ulahnya kepadaku adalah sebuah keisengan belaka.
Dua kasus di atas adalah kejadian yang berani aku hadapi. Namun, ada satu kejadian yang aku tidak bisa bertindak apa-apa. Kali ini pelecehan secara fisik yang aku terima. Saat itu aku sedang dalam perjalanan keluar kota menggunakan bus seorang diri.
Sejak awal naik bus di sore hari, tidak ada orang yang duduk di sebelahku. Sampai pada malam hari, ketika aku terlelap dalam tidur, tiba-tiba aku merasakan ada tangan yang memegang pahaku. Sontak aku langsung terbangun. Tapi, karena kondisi bus yang gelap dan rasa kantuk yang sanga berat, aku tidak mengingat wajah orang yang tiba-tiba muncul di sebelahku itu.
Di samping itu, aku yang masih remaja, baru lulus bangku SMA dan belum tahu banyak hal tentang bentuk-bentuk pelecehan atau gerakan feminisme, saat itu aku sangat takut. Sekali pun untuk berteriak. Aku takut orang-orang mengetahui apa yang aku alami. Padahal, bisa saja orang-orang justru melindungiku, tapi respon awalku adalah rasa takut.
Begitulah perempuan dalam menghadapi kerentanan-kerentanan yang ia alami. Untuk menjadi berani, menciptakan ruang aman bagi diri sendiri, sangatlah tidak mudah. Prosesnya amat panjang dan membutuhkan mental yang kuat. Selain itu, upaya yang dilakukan harusnya tidak hanya datang dari perempuan. Melainkan laki-laki juga mestinya sadar bahwa mereka turut andil memiliki peran dalam menciptakan ruang aman dan nyaman bagi perempuan. []