Mubadalah.id – Kepemimpinan perempuan sebenarnya bukan hal asing bagi masyarakat Nusantara. Sejarah para arumpone (raja) perempuan di Kerajaan Bone, Sulawesi Selatan, adalah satu contoh realitas masa lalu akan hal itu.
Sebuah realitas sejarah yang menjelaskan kepada kita kalau, dalam budaya masyarakat Bugis di kawasan ini, peran perempuan tidak hanya dalam ranah reproduktif-domestik; dan ranah produktif-publik hanya bagi laki-laki. Sejarah masyarakat ini menunjukkan adanya pemberian ruang bagi perempuan untuk berdaya, bahkan dalam menjalankan peran sebagai arumpone atau orang yang menduduki puncak kekuasaan kerajaan (negara).
Enam Arumpone Perempuan
Masyarakat Bugis di Kerajaan Bone menyebut raja mereka dengan sebutan arumpone. Dalam sejarahnya, posisi arumpone tidak hanya untuk laki-laki, namun perempuan juga dapat mengisi posisi ini.
Tampilnya perempuan sebagai pemimpin suatu negara memang mewarnai sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara, termasuk dalam kasus Kerajaan Bone. Antony Reid, dalam artikelnya yang berjudul “Female Roles in Pre-colonial Southeast Asia,” menjelaskan kalau masyarakat Austronesia dan Polinesia di Asia Tenggara cenderung mudah menempatkan perempuan untuk menduduki kekuasaan tertinggi dalam masyarakat.
Pernyataan Reid itu dibenarkan oleh realitas sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Di mana, dalam sejarah Nusantara, ada sangat banyak perempuan yang menjadi penguasa suatu kerajaan. Di antara para perempuan penguasa itu, terdapat enam arumpone perempuan yang memerintah sepanjang sejarah Kerajaan Bone.
Dalam “Telaah terhadap Kontrol dan Kepemimpinan Perempuan di Sulsel,” Bahri menyebutkan nama-nama arumpone perempuan tersebut; We Benrigau Makkalempie Mallajange Ri Cina (Arumpone ke-4/1496-1516), We Tenri Pattupu (Arumpone ke-10/1602-1611), Batari Toja Daeng Talaga (Arumpone ke-17/1714-1715 dan kembali menjadi Arumpone ke-21/1724-1749), We Maniratu Arung Data (Arumpone ke-25/1823-1835), Pancaittana Besse Kajuara (Arumpone ke-28/1857-1860), dan Fatimah Banri (Arumpone ke-30/1871-1895).
Peran Arumpone Perempuan dalam Kerajaan Bone
Sebagai orang yang menduduki puncak kekuasaan, tentu para arumpone perempuan tersebut memainkan peran penting dalam Kerajaan Bone pada masanya. Seperti, peran We Maniratu Arung Data yang sangat penting dalam mempertahankan kedaulatan Kerajaan Bone dari bayang-bayang penjajah.
We Maniratu Arung Data merupakan satu di antara raja-raja Nusantara yang dalam sejarahnya tidak mau berkompromi dengan penjajah asing. Dalam buku We Maniratu Arung Data: Srikandi dalam Perjuangan Melawan Belanda, Bahtiar, Muhammad Amir, dan Rosdiana Hafid menggambarkan sikap dan perjuangan Arung Data pada masa Pemerintah Hindia-Belanda.
Ketika Pemerintah Hindia-Belanda melakukan pembaruan Perjanjian Bungaya dengan mengeluarkan Kontrak Bungaya di Ujung Pandang (Bongaijasch Kontract te Oejoeng Pandang) pada 27 Agustus 1824, Arung Data tidak mau mengakui kontrak itu. Sikapnya sangat berbeda dengan banyak raja-raja di Sulawesi Selatan kala itu yang mau menerima dan menandatangani kontrak tersebut.
Meski terkesan memiliki sikap yang tidak umum dengan kebanyakan raja-raja yang lain, dan bahkan Pemerintah Hindia-Belanda sampai melancarkan agresi militer ke Kerajaan Bone pada 1824-1825, namun keberanian perempuan ini tetap tidak surut. Ia kukuh menolak dan terus memperjuangkan kedaulatan Kerajaan Bone dari bayang-bayang Pemerintah Hindia-Belanda.
Keberanian We Maniratu Arung Data dalam hal ini menjadi antitesis dari cara pandang patriarki, yang sering menilai perempuan sebagai lemah dan tidak pantas menjadi pemimpin. Figur Arung Data seakan mengatakan sebaliknya, bahwa perempuan tidak lemah dan mampu menjadi pemimpin yang bahkan penjajah Belanda pun tidak mampu menekannya.
Perempuan juga Dapat Menjadi Pemimpin
Selain menjelaskan peran penting perempuan dalam Kerajaan Bone, sejarah arumpone perempuan secara tidak langsung juga menjelaskan budaya masyarakat Bugis yang tidak membatasi peran perempuan. Di mana, masyarakat Bugis di masa Kerajaan Bone menunjukkan sistem sosial-budaya yang memungkinkan akses dan partisipasi perempuan sebagai pemimpin.
Sistem penentuan arumpone yang tidak sepenuhnya berdasarkan pada pewarisan dari raja ke putra mahkota. Melainkan, juga melalui pemilihan di antara para kandidat. Itu cukup menjelaskan kalau para arumpone perempuan menduduki tahta Kerajaan Bone bukan semata karena mereka keturunan raja sebelumnya.
Namun, juga karena masyarakat menilai mereka pantas untuk itu. Dalam sistem ini, perempuan bisa mendapat akses untuk menjadi pemimpin, dan masyarakat turut menghormati partisipasi perempuan yang layak memimpin mereka.
Kondisi sosial-budaya itu yang kemudian membuat masyarakat Bugis di Kerajaan Bone tidak selalu dipimpin laki-laki. Ada masa di mana perempuan yang menjadi pemimpin. []