Mubadalah.id – Tulisan singkat ini adalah prasyarat mengikuti Kelas “Pribumisasi Islam”, Gusdurian Academy pada 19 Mei – 23 Juni 2023 nanti. Kelas akan dipandu Kyai Marzuki Wahid atau Kang Jecky, Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), juga satu di antara para tokoh perumus 9 Nilai Utama Gus Dur.
***
Bagi penulis, Jum’at kemarin adalah jadwal telepon anak-anak yang sudah masuk kembali ke Pondok Pesantren sejak pekan lalu, usai libur lebaran Idul Fitri 1444 H. Si adik menjawab “sudah kangen berat”, saat penulis tanya “apakah sehat dan semangat?” Mendengar jawabannya, buat jantung serasa dua kali lipat berdecak. Tapi si kakak yang masih satu pesantren dengan adik, sudah siap dengan dukungannya beri motivasi, penuh semangat. Buat hati ibunya lega lagi.
Anak-anak sedari lulus Taman Kanak-kanak (TK/PAUD) memang telah belajar di Pondok Pesantren. Ini karena salah satu alasannya saat di TK mereka alami doktrin paham radikalisme lewat buku ajar baca di sekolah. Begitulah, semestinya usia TK tidak dapati pelajaran yang seperti ini. Tapi praktik pendidikan hari ini, hal demikian mungkin masih terjadi, dan akan selalu butuh pengawasan khusus dari para orang tua serta evaluasi para pemangku kepentingan di negeri ini.
Temuan Buku Ajar Berpaham Radikalisme
Beruntungnya saat itu penulis menyadari segera kejanggalan pertanyaan si kakak terutama, usai mereka pulang sekolah. “Gegana itu apa, ma?”. Penulis yang sedang menyiapkan kudapan untuk mereka, bergegas keluar memeriksa buku yang keduanya simak. “Kakak dan adik sedang belajar buku apa?”, telisik penulis.
Kejanggalan makin jadi, setelah penulis temukan di dalamnya sejumlah kalimat seperti, ‘gelora hati ke Saudi’, ‘bom’, ‘sahid di medan jihad’, ‘selesai-raih-bantai-Kiai’. Kemudian ada juga kalimat dan kata-kata ‘rela mati bela agama’, ‘gegana ada di mana’, ‘bila agama kita dihina kita tiada rela’, ‘basoka dibawa lari’, ‘Bin Baz’, ‘kenapa fobi pada agama’, dan seterusnya. (PBNU Minta Buku TK Berbau Radikalisme Ditarik, Detik.com, 2016).
Penulis bersama pasangan saat itu, memutuskan untuk konsultasi dengan pihak sekolah. Sebelum akhirnya konsultasi kepada Depdikbud Kota setempat. Namun karena belum ada titik temu juga, akhirnya beberapa proses lain pun harus kami tempuh.
Saat itu pihak sekolah memang sempat menyarankan kami untuk mencari sekolah lain bagi anak-anak. Dan ini makin buat terasa ganjil. Karena pihak sekolah tidak bersedia melaksanakan hasil Rapat Bersama Komite Sekolah, untuk mengganti dengan buku baru yang lebih inklusif, dan ramah anak-anak.
Namun bersyukur setelah proses berliku, polemik buku tersebut dapat terselesaikan. Kemendikbud saat itu mengeluarkan surat edaran pelarangan penggunaannya di sekolah-sekolah TK, di seluruh Indonesia. (GP Ansor: Buku TK ‘Anak Islam Suka Membaca’ Ajarkan Radikalisme, BBC.com, 2016).
Arus Utama Pribumisasi Islam
Gus Dur ketika mendedahkan terma “pribumisasi Islam” sejak awal, bahkan mungkin sekitar dekade 1980-an, tidak lain berlatar kegelisahannya pada perkembangan yang terjadi dalam dunia Islam. Beliau menyoroti munculnya sejumlah republik dan kerajaan dengan klaim sebagai ‘negara Islam’, yang miliki ideologi politik yang bukan saja saling berbeda, tapi juga bertentangan. Masing-masing klaim sebagai ‘ideologi Islam’. (Salahkah Jika Dipribumikan, KH. Abdurrahman Wahid, Gusdurian.Net, 1983)
Selain hal tersebut, Gus Dur juga terbetik perhatiannya pada hukum agama masa awal Islam yang kemudian berkembang menjadi fikih, yurisprudensi karya korps ulama pejabat pemerintah (qadi, mufti, dan hakim), juga ulama ‘non-korpri’. Khazanah keagamaan yang sangat ragam itu lalu tersistematisasi ke dalam beberapa mazhab fikih, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri.
Lalu muncul deretan pembaharuan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal. Pembaharuan demi pembaharuan dilancarkan. Semua ajukan klaim memperbaiki fikih dan menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, yang kita namakan Syari’ah.
Formalisme Islam
Menurut Gus Dur, hal tersebut ditambah bidang politik. Terutama doktrin kenegaraan, kian terasa kacau keadaannya. Apalagi di bidang lain, pendidikan, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya. Ini akan bisa menggiring kaum muslimin terlibat sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputus. Dan ini akan bisa mereka jadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat Islam.
Konskuensinya menurut Gus Dur, sebagaimana terus kita saksikan hari ini, akan ada keinginan-keinginan pemulihan posisi dan kekuatan itu melalui ‘penyatuan’, dan juga penyeragaman pandangan. Hal ini tampil dengan sosoknya: formalisme Islam.
Di mana hukum agama, harus seragam dan formal, dengan sumber formalnya, Al-Qur’an dan Hadist, saja. Pandangan kenegaraan dan ideologi politik dituntut harus ‘universal’; Yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul A’la Al-Maududi atau Khomeini. Pendapat lain, yang sarat dengan latar belakang lokal masing-masing, mutlak mereka nyatakan salah.
Jika sudah demikian bagi Gus Dur, inilah masa tercerabutnya kehidupan kaum muslimin dari akar-akar budaya lokalnya. Terlepas dari kerangka kesejarahan masing-masing tempat. Misalnya di Mesir, Suriah, Irak, dan Aljazair, Islam ‘dibuat’ menentang nasionalisme Arab, di mana masing-masing juga bersimpangan warna ideologinya.
Di Arab Saudi bahkan menumpas keinginan membaca buku-buku filsafat dan melarang penyimakan literatur tentang sosialisme. Di Indonesia sendiri terdengar untuk menghadapkan Islam dengan Pancasila secara konfrontatif, atau Pancasila versus Islam.
Karenanya pribumisasi, melestarikan akar budaya-budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri masing-masing, termasuk Indonesia, (terus) mendesak kita kerjakan. Doktrin islamisasi radikal negara khilafah bukanlah solusi. Itu jauh dari relevan bagi kehidupan umat Islam, hari ini juga nanti.
Upaya Preventif dari Dalam Keluarga
Jika tidak terkecuali dunia pendidikan kita terus banyak dibanjiri arus islamisasi (bahkan mungkin sampai hari ini). Maka keluarga juga telah jadi target penyebaran ideologi radikal yang menyesatkan itu. Pendidikan dan keluarga sesungguhnya adalah satu paket.
Maka dari sana setiap orang bisa lakukan upaya-upaya pencegahan sejak dini; Atau bahkan bangun resiliensi, dan terus aktifkan early warning system yang dimiliki; Termasuk peka terhadap pengetahuan mendasar akan indikasi-indikasi sekecil apapun, bahaya radikalisme agama bagi tiap-tiap anggota keluarganya.
Terkait keluarga, Sidney Jones lewat lembaganya The Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), telah berulang kali ingatkan bahaya doktrin radikalisme ini.
Dalam rilis laporannya pada 21 Januari 2021, berjudul The Decline of ISIS in Indonesia and The Emergence of New Cells, juga garisbawahi pentingnya masyarakat, tidak terkecuali individu-individu, bersama aparat untuk terus mencermati isu radikalisme, yang berkembang melalui ceramah-ceramah agama yang digemari para keluarga muda (utamanya muslim urban kota, termasuk kalangan para artisnya).
Ataupun webinar-webinar di lingkungan soial yang terindikasi bermuatan islamisasi, sebagai residu ideologi radikal yang belum benar-benar habis. (Terorisme yang Bermain di Dua Kaki, Sarie Febriane, Kompas.Id, 2021)
Maka di sinilah letak pentingnya keluarga dalam arus utama pribumisasi Islam. Komponen di dalam keluarga sebagai bagian masyarakat terkecil harus ambil bagian perannya, saling mendidik, saling mengajak anggotanya untuk terlatih membangun dialektika; Mempertanyakan setiap hal-hal yang janggal, dan tidak sesuai dengan “nilai-nilai akar” yang dimiliki dari dalam tradisinya.
Sebab Islamisasi di Indonesia yang menyasar keluarga ini, baik lewat pendidikan formal, non formal, akan kian dapat menghancurkan nilai-nilai keberagamaan umat dalam memahami keragaman itu sendiri. Oleh karena itulah, Gus Dur melalui arus utama pribumisasi Islam juga hendak melakukan upaya preventif terhadap islamisasi yang semakin masif ini.
Pengarusutamaan pribumisasi Islam, akan terus relevan kita butuhkan. Ini tidak lain adalah untuk kian menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), saat ini dan sampai kapanpun juga. Wallahu a’lam bisshawab.[]