“…bagaimana bisa seorang pangeran diakui kalau lahir bersamaan dengan anak perempuan.”
Mubadalah.id – Demikian perkataan raja yang mengawali jalan cerita Drakor The King’s Affection. Perkataan yang terlalu menyimbolisasikan perempuan sebagai sebuah “kelemahan hidup”. Si raja mungkin lupa kalau dirinya sendiri (yang merasa utusan langit) juga lahir dari seorang perempuan.
The King’s Affection berarti Kasih Sayang Raja. Drakor tersebut tayang perdana pada 11 Oktober 2021. Ceritanya ingin menggugat kasih sayang raja yang hanya mengutamakan cucu (anak) laki-laki dan tidak dengan cucu (anak) perempuan. Bahkan, sebagaimana pada pernyataan yang telah dikutip di awal, seakan bayi kembaran perempuan merupakan aib bagi kembaran laki-laki.
Tidak ingin bayi perempuan sebab dipandang sebagai aib, sehingga keputusannya adalah: “Anak yang dilahirkan dalam istana malam ini hanyalah putra sulung Putra Mahkota. Tidak akan ada yang tahu bahwa dia anak kembar. Jadi, tak perlu khawatir yang Mulia (Raja),” ucap Tuan Sangheon yang merupakan salah seorang menteri dan termasuk kakek si kembar dari jalur putri mahkota (ibu).
Usulan tersebut disetujui oleh raja. Dan ironisnya, putra mahkota yang adalah ayah dari bayi itu hanya mengiyakan keputusan tersebut, dan memilih untuk membunuh anak perempuannya. “Bila tidak bermanfaat dalam kerajaan ini, dia pantas dibuang,” kata Putra Mahkota.
Hm, anak masih kecil, tapi sudah di-judge tidak akan bermanfaat. Itu namanya toxic-parent. Karena ingin mempertahankan status sebagai putra mahkota lantas tidak ingin mengakui putrinya. Di kemudian hari (pada episode 10), putra mahkota yang waktu itu sudah menjadi raja menyatakan bahwa menyesali sikapnya yang tidak mampu melindungi keluarga.
Kondisi patriarki sampai membunuh bayi perempuan bukan semata hoax dalam drama, melainkan adalah tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi. Toxic-parent juga bukan sekadar cerita drama, namun banyak terjadi di alam nyata.
Sejarah mencatat satu tragedi kejahiliaan (di masa sebelum Islam) ada masyarakat yang memandang kalau bayi perempuan merupakan aib, karena itu orang tuanya tak segan-segan membunuh mereka. Sikap tak manusiawi ini diabadikan oleh Tuhan dalam surah at-Takwir ayat 8-9: “Dan apabila anak-anak perempuan yang dikubur hidup-hidup telah diperiksa, lantaran dosa apa sehingga dia dibunuh.”
Setiap orang yang berakal sehat pasti sadar kalau perbuatan demikian tidaklah manusiawi. “Dengan terlahir sebagai perempuan itu bukan alasan yang pantas untuk mati,” kata Putri Mahkota dalam Drakor The King’s Affection.
Saat ini, budaya membunuh anak perempuan memang sudah tidak ada, namun kenyataannya banyak yang masih menganggap bahwa anak laki-laki lebih spesial ketimbang perempuan. Padahal, baik bayi perempuan maupun laki-laki adalah sama-sama karunia Tuhan. Meski dalam budayanya anak laki-laki yang bakal melanjutkan garis marga keluarga, namun itu tidak lantas berarti menjadikan anak laki-laki lebih spesial. Gender (jenis kelamin) bukan penentu kemuliaan seseorang.
Kurang mensyukuri anak hanya karena dia perempuan (bagi umat muslim) sangat bertentangan dengan spirit kesunnahan. Sebab, Nabi Muhammad SAW sendiri sangat bangga dan menyayangi anak-anak perempuannya. Dalam tafsir al-Azhar, Buya Hamka menceritakan sebuah riwayat di mana Nabi Muhammad SAW menggendong anak perempuannya yang masih kecil dengan begitu bangga.
Ada yang bertanya bagaimana perasaan beliau. Nabi SAW menjawab: “Dia adalah kembang yang wangi, kita cium dia. Dikaruniakan Allah kepada keluarganya.” Nabi Muhammad SAW termasuk orang yang sangat bangga dan bahagia dikaruniakan anak perempuan oleh Tuhan.
Setiap anak adalah spesial, entah itu laki-laki maupun perempuan. Tuhan tidak membedakan keistimewaan manusia hanya dari sisi biologis, melainkan dari ketakwaan. Laki-laki maupun perempuan memiliki kelebihannya masing-masing, dan punya peluang yang sama untuk menjadi manusia yang baik. []