• Login
  • Register
Rabu, 29 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Toxic Parents Masih Ada, Kita Belum Sadar Penuh Mengatasinya

Dampak jangka panjang dari adanya toxic parents ini bisa membuat kesehatan mental anak terganggu, tumbuh dalam situasi yang selalu menyalahkan diri sendiri.

Rizka Umami Rizka Umami
04/03/2021
in Keluarga
0
Toxic Parents

Toxic Parents

257
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Seorang anak laki-laki usia 18 tahun pernah bercerita kepada saya, tentang pengalaman toxic parents, dan bagaimana buruknya relasi yang terjadi antara dirinya dan orangtuanya. Sejak kecil, sang ibu bertindak sebagai algojo, di mana setiap kesalahan yang ia lakukan, cubitan dan tampolan akan mendarat pada paha dan kepalanya.

Sementara sang ayah akan membanding-bandingkan dengan anak tetangga yang dianggap bisa membanggakan, bahkan kadang dengan adiknya sendiri. Ia tidak mengerti kenapa itu bisa terjadi padanya. Ia merasa capaiannya tidak dikalkulasi sama sekali oleh kedua orangtuanya.

Hal yang sedikit berbeda dialami sang adik. Dengan dalih demi kebaikan, masa depan, dan agar tidak gagal seperti prestasi kakaknya, orang tua memaksakan kehendaknya sekuat tenaga kepada sang adik. Mereka menanamkan ambisi dan ekspektasi yang berlebihan. Bahkan mulai dari pemilihan sekolah, tempat les, jadwal bermain, semua diputuskan sepihak oleh kedua orangtuanya. Hal yang sama adalah mereka membuat anaknya menuruti semua keinginannya dengan ancaman, pukulan dan cubitan.

Selama pandemi kekerasan yang dialami anak meningkat drastis. Data dari sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak menunjukkan tingginya kasus tersebut, yakni lebih dari 5.600 kasus terhitung sejak Januari 2020 sampai September 2020. Mengutip sindonews, mayoritas orangtua yang melakukan kekerasan beralasan kesal dan marah karena ketidakmampuan anak memahami pembelajaran daring yang dilakukan. Ada yang memukul, bahkan mirisnya sampai menghilangkan nyawa sang anak.

Dari banyaknya cerita dan berita yang saya dengar, baik secara langsung maupun tidak langsung telah membawa saya pada anggapan bahwa toxic parents itu benar-benar ada dan merupakan momok paling nyata dalam lingkungan keluarga. Sayangnya tidak banyak orangtua yang menyadari dan memahami bahwa tindakan yang dilakukannya adalah bentuk lain dari racun yang punya efek buruk pada perkembangan anak.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?
  • Wahai Ayah dan Ibu, Jadilah Sahabat Bagi Anakmu!
  • Salahkah Memilih Childfree?

Baca Juga:

Jalan Tengah Pengasuhan Anak

Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?

Wahai Ayah dan Ibu, Jadilah Sahabat Bagi Anakmu!

Salahkah Memilih Childfree?

Konstruksi masyarakat pada umumnya meletakkan peran orangtua sebagai yang paling mulia, sesuatu yang luhur, penuh dedikasi dan akan selalu berupaya memberikan segala yang terbaik demi masa depan anak-anaknya. Hal tersebut mungkin benar, akan tetapi tidak dipungkiri bahwa ada realita lain yang mesti diungkapkan, yakni tidak semua orangtua dapat mengambil kewajiban dan tanggung jawabnya secara penuh. Tidak semua orangtua dapat menciptakan lingkungan yang aman dan sejahtera bagi kesehatan mental anak.

Toxic parents sendiri selama ini dipahami sebagai sikap orangtua yang destruktif, tidak menghargai keberadaan anak sebagai individu, enggan berkompromi dengan anak, tidak bertanggungjawab, bahkan melakukan kekerasan dalam bentuk fisik dan psikis pada anak (Saskara, 2020). Orangtua yang beracun ini tanpa disadari telah membuat anak-anaknya kehilangan ruang untuk berekspresi, kehilangan minat dan semangat, bahkan menjadi pribadi yang tertutup dan gampang putus asa.

Penelitian yang dilakukan Putu Adi Saskara juga menjelaskan bahwa ada beberapa kebiasaan berdampak negatif yang dilakukan oleh toxic parents, antara lain mereka tidak memiliki empati pada anaknya sendiri, cenderung berlebihan dalam berekspektasi, mengatur dan menyalahkan anak, mengumbar aib anak dan membanding-bandingkannya dengan anak orang lain, mengungkit-ungkit kesalahan anak, serta tidak pernah bisa menghargai usaha yang dilakukan oleh anaknya sendiri.

Dampak jangka panjang dari adanya toxic parents ini bisa membuat kesehatan mental anak terganggu, tumbuh dalam situasi yang selalu menyalahkan diri sendiri. Lebih buruknya anak-anak tersebut juga akan melakukan perilaku yang selama ini ia dapatkan dari kedua orangtuanya, sehingga besar kemungkinan ia tumbuh sebagai pribadi yang egois, mudah marah, tidak menghormati orang lain, terlalu ambisius, dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana kita bisa memutus mata rantai toxic parents, sementara dari diri orangtua sendiri tidak menyadari tindakannya yang keliru? Dalam salah satu artikel Patresia Kirnandita yang tayang di Magdalene, saya menemukan banyak andaian, jika saja orangtua sudi menjadi teman untuk anaknya, dengan kata lain menghilangkan hierarki antara orangtua dan anak yang sebelumnya mengkultuskan satu pihak dan menenggelamkan suara anak. Saya sepakat ketika Patresia mengatakan, “Barangkali orang tua juga butuh diingatkan…”

Sebagai anak, terutama yang sadar berada di tengah toxic parents, tentu kita memiliki andil yang cukup besar dalam memutus relasi beracun tersebut. Misalnya saja dengan memberanikan diri mengutarakan pendapat di depan keduanya, berani menolak keinginan orangtua yang berdampak  buruk pada kehidupan mendatang atau menjalin komunikasi yang intens dengan kedua orangtua untuk meng-counter cara pandangnya.

Ketegasan seorang anak juga dibutuhkan untuk mengingatkan kekeliruan orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Termasuk tegas untuk mengambil jarak dari orangtua ketika tekanan demi tekanan semakin membuat kita depresi. Siapa tahu dengan adanya jarak, orangtua dapat introspeksi diri dan menyadari kesewenangannya. Berani melaporkan tindakan yang dilakukan oleh orangtua atau minta bantuan hukum jika sudah menjurus pada kekerasan pun juga penting dilakukan. Sebab KDRT yang menimpa anak jumlahnya selalu tinggi dan hingga kini masih banyak korban yang takut membuat laporan.

Sekali lagi, orangtua sebagaimana manusia pada umumnya, tidak luput dari kesalahan. Sebagai manusia, sudah semestinya anak dan orangtua bisa saling mengingatkan dan menyadarkan. Dari situ prinsip kesalingan memang krusial diterapkan dalam lingkungan keluarga, antara orangtua dan anak serta adik dan kakak, agar relasi yang timpang tidak terjadi, agar orang tua tidak otoriter, agar anak mendapatkan haknya, agar antara orangtua dan anak tidak segan untuk saling memberi saran, saling memberikan pemahaman dan saling menghormati pilihan masing-masing. []

 

Tags: Kekerasan Anakkeluargaorang tuaparentingpelaku kekerasan orang terdekat
Rizka Umami

Rizka Umami

Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Konsentrasi Islam dan Kajian Gender. Sedang menekuni sastra, isu lingkungan dan isu perempuan.

Terkait Posts

Bapak Rumah Tangga

Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?

28 Maret 2023
Sahabat bagi Anak

Wahai Ayah dan Ibu, Jadilah Sahabat Bagi Anakmu!

25 Maret 2023
Marital Rape

Marital Rape itu Haram, Kok Bisa?

21 Maret 2023
Dinafkahi Istri

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

20 Maret 2023
Generasi Strawberry

Self Diagnose, Parenting, dan Labelling: Penyebab Munculnya Generasi Strawberry

16 Maret 2023
Positive Vibes Keluarga

Pentingnya Kesalingan Membentuk Positive Vibes Keluarga

15 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sittin al-‘Adliyah

    Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Pada Awalnya Asing

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Pada Awalnya Asing
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist