Mubadalah.id – Kalau mendengar istilah “perempuan mandiri,” apa yang langsung terlintas di pikiran kamu? Kebanyakan orang mungkin akan menjawab: perempuan yang punya penghasilan sendiri, kerja di kantor keren, atau punya usaha yang sukses. Semua itu sah-sah saja, bahkan membanggakan. Tapi, tunggu dulu. Menjadi perempuan mandiri itu nggak selalu soal angka di rekening, bro!
Beberapa waktu belakangan, konsep independent woman seolah-olah direduksi menjadi satu hal: duit. Kalau kamu punya uang sendiri, bisa beli apa aja tanpa minta siapa-siapa, baru deh kamu bisa menyandang label “perempuan mandiri.” Tapi kalau belum punya penghasilan tetap atau masih tinggal bareng orang tua? Hmm, siap-siap dikomentarin: “Katanya mau jadi perempuan mandiri, kok masih numpang?”
Lebih parahnya lagi, muncul narasi-narasi aneh yang menyederhanakan hidup perempuan. Misalnya, “Kamu mau kerja banting tulang atau cari laki-laki mapan aja, biar bisa hidup enak?”
Pertanyaan ini terdengar seperti pilihan, tapi kenyataannya itu jebakan. Kenapa perempuan cuma kita berikan dua opsi? Padahal, bukan itu poin dari menjadi perempuan mandiri. Dan jujur aja, kalimat seperti itu bukan hanya menyederhanakan realitas perempuan, tapi juga merendahkan mereka. Seolah perempuan cuma punya dua jalan: jadi mesin uang atau objek pemberian.
Kemandirian perempuan bukan hanya tentang uang
Ia juga tentang akal, prinsip, dan keberanian. Perempuan mandiri bisa jadi belum punya penghasilan besar, tapi dia tahu apa yang dia perjuangkan. Dia bisa mengambil keputusan sendiri, punya suara, dan berdiri di atas pilihan yang ia yakini benar. Tanpa perlu menunggu izin siapa pun.
Dalam Islam sendiri, kemandirian perempuan terakui dan dihargai, bahkan sejak masa awal kenabian. Kita bisa menengok sosok Khadijah binti Khuwailid: istri pertama Nabi Muhammad SAW, yang merupakan saudagar kaya, cerdas, dan berintegritas. Ia bukan hanya mandiri secara ekonomi, tapi juga spiritual dan emosional. Dia memilih Nabi bukan karena materi, tapi karena karakter dan misi hidupnya.
Allah SWT pun menegaskan nilai kemandirian dalam ayat:
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik…”
(QS. An-Nahl: 97)
Perhatikan: tidak disebut bahwa kehidupan baik datang hanya melalui kekayaan, melainkan dari amal saleh dan iman, yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Baik laki-laki maupun perempuan.
Jadi, Independent Woman bukan hanya mereka yang punya pekerjaan bagus atau saldo rekening yang tinggi. Tapi mereka yang bisa berpikir sendiri, mengambil keputusan berdasarkan nilai, dan menjalani hidup dengan integritas.
Dia bisa memilih menjadi ibu rumah tangga dan tetap mandiri, jika itu adalah pilihannya sendiri. Atau bekerja penuh waktu, bukan karena ingin membuktikan apa-apa ke dunia, tapi karena tahu dirinya punya potensi yang ingin ia hidupkan.
Sayangnya, banyak perempuan yang dilemahkan oleh standar sosial sempit yang mengukur segalanya dari status ekonomi atau siapa pasangannya. Padahal, seperti yang dikatakan Eleanor Roosevelt:
“No one can make you feel inferior without your consent.”
Kemandirian sejati bukan soal bagaimana dunia memandangmu, tapi bagaimana kamu memandang dirimu sendiri.
Menjadi Manusia Utuh
Kita juga bisa belajar dari kata-kata Chimamanda Ngozi Adichie, penulis dan feminis asal Nigeria, yang berkata:
“We teach girls to shrink themselves, to make themselves smaller. We say to girls: ‘You can have ambition, but not too much…’ Why should a woman’s success be a threat to a man?”
Pernyataan ini menyentil banyak realitas kita hari ini. Perempuan sering disuruh menyesuaikan diri agar tidak membuat laki-laki merasa kecil. Padahal Independent Woman tidak sedang bersaing dengan siapa-siapa. Dia hanya ingin menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Dan mari kita ingat: menjadi mandiri bukan berarti anti-romansa, anti-menikah, atau anti-bergantung pada siapa pun. Justru, perempuan mandiri tahu kapan harus minta bantuan, kapan harus bicara, dan kapan harus berdiri sendiri. Dia bisa berkata “gue butuh kamu” tanpa kehilangan jati diri. Tapi dia juga bisa berkata “gue baik-baik aja sendiri” tanpa rasa takut.
Jadi, kalau kamu masih mengira kemandirian perempuan cuma bisa terukur dari slip gaji atau barang branded yang dia punya, mungkin sudah waktunya kamu duduk, diam sebentar, dan mendengarkan kisah mereka. Kamu akan kaget betapa banyak perempuan luar biasa yang tak terlihat oleh dunia, tapi sedang menenun kekuatan mereka dalam diam.
Karena pada akhirnya, menjadi perempuan mandiri adalah tentang menjadi manusia utuh, bukan sempurna, tapi sadar akan arah hidupnya. Bukan paling kuat, tapi tahu kapan rapuh, dan memilih untuk tetap berdiri. Bukan paling kaya, tapi paling tahu apa makna hidup baginya.
Dan itu, bro, tidak bisa diukur oleh saldo, status, atau pasangan. Catet! []