• Login
  • Register
Minggu, 1 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Film

Belajar dari Serial Malaysia Bidaah: Perempuan Harus Berdaya agar Tak Mudah Diperdayakan

Serial ini dengan cerdas memperlihatkan dua sisi kehidupan perempuan: sebagai korban dan sebagai pejuang.

Siti Roisadul Nisok Siti Roisadul Nisok
08/04/2025
in Film, Rekomendasi
0
Serial Malaysia Bidaah

Serial Malaysia Bidaah

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Walid nak Dewi boleh?”

“Pejamkan mata dan bayangkan wajah Walid!”

Mubadalah.id – Dua potongan dialog ini menjadi bahan perbincangan hangat netizen sejak serial Malaysia Bidaah mencuat ke berbagai platform. Kalimat-kalimat yang terdengar ringan itu sejatinya menyimpan kenyataan yang kelam. Hal ini menggambarkan bagaimana perempuan-perempuan bisa begitu mudah dilucuti kehendaknya.

Narasi agama sekaligus dijadikan alat manipulasi oleh mereka yang berkepentingan. Serial ini menyentil kesadaran kita akan relasi kuasa yang timpang, sekaligus menyingkap luka yang kerap tak terlihat di masyarakat.

Tak bisa kita pungkiri, serial ini menarik perhatian luas dari penonton Indonesia dan Malaysia. Bukan semata karena drama dan konfliknya, tapi karena keberaniannya mengangkat tema-tema sensitif yang jarang disentuh. Khususnya soal perempuan dan eksploitasi atas nama agama.

Melalui kisah yang berbalut ketegangan, “Bidaah” mengajak kita menyimak kenyataan pahit yang sering luput dari sorotan: bagaimana perempuan bisa menjadi korban dalam sistem yang mendindas dan tertutup.

Tokoh sentral dalam cerita ini adalah Walid Muhammad Imam al-Mahdi. Dari luar, ia tampil seperti sosok religius dan kharismatik. Tapi di balik jubahnya yang suci, tersembunyi manipulasi licik dan ambisi untuk mengontrol segalanya.

Baca Juga:

Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

Tren Mode Rambut Sukainah

Walid adalah pemimpin sekte Jihad Ummah, sebuah kelompok yang menjanjikan surga tapi menyuguhkan neraka, terutama bagi para perempuan. Ia memelintir ayat-ayat dan dalil untuk membenarkan tindakan keji, menjadikan iman sebagai senjata untuk menundukkan, bukan membebaskan.

Namun, di balik segala kegelapan itu, serial ini juga menyuguhkan secercah harapan lewat sosok perempuan yang berdaya. Karakter seperti Baiduri dan Umi Hafidzah tidak digambarkan hanya sebagai korban. Mereka justru tampil sebagai figur yang mampu membaca situasi, menimbang keberanian, dan akhirnya melawan.

Lewat mereka, serial ini mengajak kita memahami bahwa kekuatan perempuan tidak selalu hadir dalam bentuk perlawanan frontal, kadang ia muncul dalam strategi, ketekunan, dan keteguhan hati. Maka, tidak salah apabila dikatakan serial ini dengan cerdas memperlihatkan dua sisi kehidupan perempuan: sebagai korban dan sebagai pejuang.

Eksploitasi Perempuan dalam Sekte Jihad Ummah

Pertama, pernikahan paksa dan poligami perempuan muda dalam sekte Jihad Ummah. Pemimpin sekte memaksa perempuan-perempuan, tanpa memandang usia, untuk menikah dengan Walid atau anggota senior lainnya.

Mereka tidak mendasari pernikahan ini pada persetujuan tulus, melainkan memaksakannya dengan dalih agama. Dengan memaksakan praktik poligami, para pemimpin sekte secara terang-terangan melucuti hak perempuan dan menjadikan mereka objek demi kepentingan kekuasaan.

Kedua, sekte ini menuntut kepatuhan mutlak terhadap pemimpin. Mereka tidak hanya mengontrol tindakan perempuan, tetapi juga pikirannya. Para pemimpin mengajarkan bahwa menolak perintah mereka adalah bentuk kedurhakaan. Kepatuhan menjadi senjata untuk meredam kritik dan membungkam nalar. Inilah bentuk kekerasan yang tidak selalu tampak secara fisik, tapi merusak dari dalam.

Ketiga, penggunaan dalih agama untuk eksploitasi seksusal. Walid memanfaatkan posisinya untuk melakukan eksploitasi seksual terhadap perempuan yang seharusnya ia lindungi. Dengan memelintir ajaran agama, ia menjadikan kekuasaan sebagai tameng atas tindakannya. Hal demikian menunjukkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai spiritual yang sejatinya menjunjung tinggi martabat manusia.

Perempuan sebagai Pejuang Kebenaran

Di sisi lain, menariknya serial ini juga berhasil menggambarkan sisi lain dari perempuan. Tidak hanya sebagai korban eksploitasi, perempuan dalam serial ini juga muncul sebagai aktor utama dalam perjuangan membongkar sistem yang menindas mereka.

Karakter Baiduri, misalnya, adalah perempuan berpendidikan yang merupakan lulusan dari sebuah universitas di Mesir. Dalam skenario secara simbolis mengangkatnya sebagai representasi dari figur-figur perempuan pejuang dalam sejarah Islam seperti Nusaibah binti Ka’ab dan Khawla binti al-Azwar.

Baiduri bukan hanya berani mempertanyakan ajaran sesat dalam sekte, tapi juga mengambil risiko besar untuk melawan ketidakadilan secara terbuka—sebuah keberanian yang lahir dari kesadaran dan kekuatan diri.

Lebih dari sekadar keberanian, perjuangan Baiduri lahir dari kepeduliannya terhadap perempuan lain yang menjadi korban dalam sekte tersebut, termasuk ibunya sendiri. Ini menunjukkan bahwa keberdayaan perempuan bukan hanya tentang membela diri, tetapi juga tentang memperjuangkan keselamatan dan martabat kolektif.

Sementara itu, Umi Hafidzah tampil sebagai contoh lain dari strategi perlawanan perempuan yang tidak frontal, namun sangat efektif. Meski terlihat patuh di permukaan, ia dengan cerdas memanfaatkan posisinya untuk mengumpulkan bukti dan menjebak Walid.

Perannya menunjukkan bahwa perjuangan perempuan bisa hadir dalam berbagai bentuk baik yang keras maupun yang diam-diam namun strategis. Lewat dua tokoh ini, serial Bidaah menegaskan bahwa perempuan memiliki kapasitas luar biasa untuk menjadi agen perubahan, bahkan di ruang-ruang yang secara sistemik berusaha membungkam mereka.

Mengapa Perempuan Harus Berdaya?

Sebagaimana ditegaskan dalam judul tulisan ini, perempuan harus berdaya agar tak mudah diperdayakan. Prinsip ini bukan sekadar seruan moral, tetapi sebuah kebutuhan mendasar, terutama ketika kita melihat bagaimana eksploitasi bisa terjadi begitu sistematis seperti dalam serial Bidaah. Ketika perempuan tidak memiliki daya, orang-orang yang berkuasa membungkam suara mereka, mengambil hak mereka, dan menjadikan tubuh mereka alat pemuas nafsu atas nama agama.

Dalam pandangan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), pemberdayaan perempuan bukan hanya kebutuhan zaman, tetapi juga bentuk keberagamaan yang adil.

Perspektif KUPI menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak menguasai. Sementara semua manusia adalah makhluk yang setara. Dalam logika ini, tidak ada satu pun manusia yang berhak mengklaim kuasa mutlak atas manusia lain, terlebih menggunakan agama untuk mengukuhkan dominasi.

Fondasi Keberagamaan yang Adil menurut KUPI

Prinsip-prinsip utama KUPI, martabat, adalah (keadilan), dan maslahah (kebaikan bersama)—menjadi landasan kuat dalam memperjuangkan relasi yang berkeadilan. Martabat berarti bahwa setiap manusia memiliki nilai yang setara.

Prinsip adalah menuntut agar kekuasaan, ilmu, dan privilese digunakan bukan untuk memperdaya, tapi untuk melindungi dan memberdayakan yang lemah. Dan maslahah adalah orientasi utama: segala upaya sosial dan keagamaan harus menghasilkan kebaikan bersama.

Ketika pimpinan menjalankan kekuasaan tanpa kontrol, memelintir dalil agama demi hasrat pribadi, dan melucuti hak serta kesadaran perempuan, di situlah sistem gagal menjalankan fungsinya untuk melindungi.

Maka menjadi jelas, pemberdayaan bukanlah semata program atau proyek. Melainkan menjadi kebutuhan dasar agar perempuan dapat mengenali haknya, melawan ketidakadilan, dan tidak mudah membiarkan narasi-narasi yang menyesatkan memperdaya mereka.

Perempuan yang berdaya akan menjadi subjek penuh yang sadar dan tangguh. Ia tahu kapan harus berkata tidak, tahu bagaimana membela sesama, dan tahu di mana tempatnya dalam masyarakat yang adil. Dan tentu saja, perjuangan ini tidak bisa berjalan sendiri.

Prinsip kesalingan dalam Islam mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan harus saling menopang dan menguatkan. Sebab dengan kesalingan, keadilan dapat terwujud, dan kehidupan bisa menjadi ruang aman bagi semua, tanpa kecuali. []

Siti Roisadul Nisok

Siti Roisadul Nisok

Siti Roisadul Nisok is an M.Phil student in the Faculty of Philosophy at Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. Her research interests include religious studies, digitization, philosophy, cultural studies, and interfaith dialogue. She can be reached on Instagram via the handle: @roisabukanraisa.

Terkait Posts

Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Film Cocote Tonggo

Pengalaman Kemanusiaan Perempuan dalam Film Cocote Tonggo

31 Mei 2025
Disabilitas dan Seni

Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

31 Mei 2025
Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

30 Mei 2025
Al-Ḥayā’

Menafsir Ulang Ajaran Al-Ḥayā’ di Tengah Maraknya Pelecehan Seksual

29 Mei 2025
Film Cocote Tonggo

Budaya Gosip dan Stigma atas Perempuan dalam Film Cocote Tonggo (2025)

28 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jilbab

    Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tren Mode Rambut Sukainah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Hukum Dokter Laki-laki Memasangkan Kontrasepsi IUD?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan
  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)
  • Tren Mode Rambut Sukainah
  • Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID