• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Benarkah Lembaga Pesantren Institusi Suci?

Idealnya, pesantren harus mulai mengevaluasi dirinya. Para pemujanya juga sudah semestinya menyadari itu. Tidak semua yang berada di tubuh pesantren, kekerasan apalagi, merupakan misi suci

Moh Rofqil Bazikh Moh Rofqil Bazikh
06/01/2023
in Personal
0
Lembaga Pesantren

Lembaga Pesantren

514
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Saya lumayan akrab dengan pemandangan hukuman fisik di lembaga pesantren. Mulai dari yang ringan, seperti berdiri di halaman, hingga yang sedang seperti cambukan di perut betis. Semua pemandangan itu, yang saya pikir, lazim di banyak pesantren. Dalam hal ini saya tidak hendak mengafirmasi kekerasan, bagaimanapun bentuknya. Maksud saya, pemandangan demikian adalah hal yang biasa saya dan santri lihat, nyaris sepanjang hari.

Suatu ketika, orang tua santri mendatangi institusi tempat saya menimba ilmu. Pasalnya, salah seorang santri mengadukan hukuman yang  ia terima. Bagi beberapa pihak, santri tersebut dinilai berlebihan karena membawa perkara di pesantren ke rumahnya. Pihak yang lain menganggap sebaliknya. Wajar saja, sebab santri yang bersangkutan terluka di perut betisnya akibat cambukan. Sayangnya, satu hal alpa kita ingat di sana, yakni posisi santri yang bersalah. Tidak ada hukuman tanpa sebab kesalahan.

Kita bisa mendiskusikan ulang apakah pantas hukuman fisik tetap kita pertahankan. Pertama yang harus kita ingat bersama bahwa hukuman tersebut mempunyai akar yang kuat. Ia tidak hanya hadir dan eksis di tubuh pesantren, melainkan juga turun-temurun. Hari ini dengan dulu perbedaannya hanya bertumpu pada satu hal. Dahulu, hukuman seperti itu tidak terekspos ke media, sekarang kondisinya berbeda. Sama juga dalu santri yang mendapat hukuman tidak banyak—atau bahkan tidak ada—yang mengadu ke orang tua.

Perihal yang terakhir ini yang kadang dijadikan senjata oleh santri tua untuk menyudutkan santri muda. Kemudian muncul sebuah anggapan yang banyak orang amini, santri sekarang bermasalah sedikit sudah sampai ke rumah. Ini kata yang sering saya dengar kendati dengan ungkapan yang berbeda. Meski setengah hati, saya mengamini santri hari ini yang kerap melayangkan aduan kepada orang tua. Tetapi tidak menutup kemungkinan, ini kemungkinan saja, dahulu sebetulnya juga ada hal sejenis itu, hanya saja tidak terekspos.

Desakralisasi Pesantren

Di buku-buku yang tebal, di kamus bahasa pesantren identik dengan ilmu agama. Ajaran agama—yang sering kita anggap suci itu—membuat proses takdis di pesantren dengan cepat. Tidak sedikit orang yang menganggap bahwa pesantren satu setrip lebih tinggi di banding lembaga pendidikan lain, ‘kan?

Baca Juga:

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

Mengasuh dengan Kekerasan? Menimbang Ulang Ide Barak Militer untuk Anak Nakal

Tidak Ada Cinta Bagi Ali

Bagi saya hal tersebut merupakan salah satu akibat dari penyucian terhadap pesantren. Puncaknya yang paling naif bisa kita tebak, pesantren diklaim lembaga pendidikan paling ideal.

Disebabkan mempelajari macam-macam ilmu agama lantas pesantren seolah menjadi institusi suci. Dari sini semuanya bermula, ia pelan-pelan kebal dan menghindar dari kritik. Hukuman-hukuman yang mentradisi di dalamnya tidak bisa kita utak-atik. Ditambah lembaga pesantren mempunyai hubungan intim dengan yang namanya tradisi.

Dinamika zaman ternyata belum sepenuhnya menyadarkan lembaga pesantren untuk melakukan relegislasi. Sebuah upaya untuk membuat peraturan beserta hukuman yang tidak terpusat pada fisik semata.

Idealnya, pesantren harus mulai mengevaluasi dirinya. Para pemujanya juga sudah semestinya menyadari itu. Tidak semua yang berada di tubuh pesantren, kekerasan apalagi, merupakan misi suci. Saya juga yakin pimpinan pondok sepakat dengan pendapat saya ini.

Hukuman tidak Terpusat pada Fisik Semata

Tidak ada yang namanya hukuman sampai melukai atau bahkan mencederai. Bagian ini memang sengaja saya buat untuk melihat bahwa hukuman yang berbau fisik memang pernah atau masih langggeng. Selanjutnya, sebagai proses awal untuk perbaikan ke depan, maka hukuman fisik pelan-pelan harus kita tinggalkan.

Saat ini waktu yang tepat membicarakan efektivitas sebuah hukuman. Capaian dari sebuah hukuman sudah saatnya kita perjelas. Sebagai upaya menjauh dari kegiatan asal menghukum saja. Barangkali ada ratusan cara untuk menciptakan hukuman yang efektif tanpa menyentuh fisik.

Saya yakin pihak pesantren mampu mengkreasikannya. Anda boleh menyangkal bahwa hukuman fisik semacam itu efektif. Saya akan menanggapi bahwa tidak semua santri jera mendapat hukuman fisik semata.

Adik kelas saya berkali-kali menerima hukuman fisik, namun tetap mengulangi tindakannya. Berkali-kali dipukul tetap saja melanggaran larangan pesantren. Saya yakin hal seperti ini tidak hanya satu kasus, ada banyak. Opsinya, baik efektif atau tidak, hukuman fisik bukan langkah terbaik saat ini. Tidak masalah jika ia memang jaya dan efektif di dahulu. Hari ini, bersamaan dengan munculnya kasus santri,  adalah waktunya pesantren lepas dari belenggu dan hegemoni masa lalu.

Kritik dan Evaluasi

Seorang santri yang dibakar musabab tuduhan mencuri. Saya kembali yakin, ini bukan kasus satu-satunya. Tidak jauh beda dengan fenomena gunung es di permukaan. Main hakim sendiri di pondok adalah hal lazim. Lagi-lagi saya tidak hendak membenarkan tindakan terebut. Sama sekali tidak.

Saya hanya ingin memperkuat bahwa itu nyata adanya. Sayangnya, kejadian semacam itu seolah-olah tidak teratasi dengan baik. Sampai di titik ini saya belum mengerti langkah apa yang telah pesantren ambil untuk menanggulangi itu.

Pada saat yang sama kita harus berani berspekulasi. Jangan-jangan santri yang main hakim sendiri termotivasi hukuman ala pesantren yang berbasis pada kekerasan fisik. Bukan hal mustahil bahwa santri tersebut tidak puas dengan hukuman pesantren. Ganjaran yang barangkali dianggap tidak seberapa. Baik opsi pertama maupun kedua, sama-sama menunjukkan ketidakberesan hukuman di tubuh pesantren. Sepertinya, memang sudah waktunya pesantren mulai rendah hati dan mengevaluasi diri.

Jangan sampai hanya karena menjadi gerbong misi suci, lalu anti terhadap evaluasi dan kritik. Tatkala hilangnya nyawa santri berulang kali terjadi di lembaga pesantren, dengan beragam motif, saya sangat pesimis. Saya pesimis atau mungkin malu untuk mengatakan pesantren sebagai institusi suci. Takutnya, label suci dan ideal yang melekat di tubuh pesantren justru menjadi tabir. Sebuah penghalang yang menjadikan ketidakberesan pesantren seakan terampuni. []

Tags: Budaya KekerasanLembaga KeagamaanpendidikanpesantrenSantri
Moh Rofqil Bazikh

Moh Rofqil Bazikh

Moh. Rofqil Bazikh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Meski buka pembaca yang rajin, ia menaruh minat pada kajian keislaman dan usul fikih. Tulisan-tulisannya telah tersebar di berbagai media cetak dan online. Dapat ditemui di media sosial @rofqilbazikh(Twitter), @rofqil_bazikh(IG).

Terkait Posts

Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Keadilan Semu

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

15 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

    KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version