Mubadalah.id – Pada tahun 2023 Komnas Perempuan mencatat 671 pengaduan kekerasan terhadap istri (KTI). Jumlah ini meningkat sebanyak 22% daripada tahun sebelumnya. Selain data tersebut, kekerasan oleh suami terhadap istri rasanya kerap kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Banyak ibu rumah tangga yang menghadapi kekerasan namun tetap bertahan dengan berbagai alasan.
Selain memproses secara pidana, menggugat cerai adalah salah satu cara yang dapat istri lakukan untuk lepas dari lingkaran kekerasan dalam rumah tangga. Sayang, tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa hanya suamilah yang dapat menceraikan istri. Akhirnya, meskipun telah teraniaya sedemikian rupa, seorang istri anggapannya tetap tidak dapat bercerai dari sang suami.
Cerai Gugat
Dalam fiqih, suami memang memiliki hak untuk menjatuhkan talak kepada istri. Namun demikian perlu kita ingat bahwa perceraian tidak selalu dalam bentuk talak oleh suami. Undang-Undang Peradilan Agama yang sebagian isinya mengatur perceraian dalam perkawinan muslim di Indonesia mengenal istilah cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak adalah perceraian yang suami ajukan, sementara cerai gugat adalah perceraian yang diajukan oleh istri.
Dalam perkara cerai talak, jika pengadilan mengabulkan permohonan suami untuk bercerai, maka suami akan mengikrarkan talaknya di depan pengadilan dengan kesaksian hakim dan tercatat dalam suatu berita acara. Talak yang terucapkan oleh suami ini dianggap sebagai talak raj’i. Artinya sepanjang masa iddah, suami dan istri masih bisa bersatu kembali melalui rujuk.
Sementara dalam perkara cerai gugat, pengadilan agama menjatuhkan talak ba’in. Akibatnya, suami dan istri tidak dapat rujuk melainkan harus melakukan akad perkawinan baru. Sifat talak yang suami jatuhkan dalam cerai talak dan yang Pengadilan jatuhkan dalam cerai gugat adalah berbeda.
Kewenangan Pengadilan
Penjatuhan talak oleh pengadilan rasanya memang tidak terlalu populer di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Padahal Wahbah Zuhaili dalam Fiqh Islam wa Adillatuhu memberikan satu bagian tersendiri yang membahas putusnya perceraian berdasarkan putusan pengadilan. Pembahasan yang sama juga dapat kita temukan dalam Kitab Fiqih Sunnah karangan Sayyid Sabiq.
Salah satu dalil yang dianggap memberikan wewenang kepada pengadilan untuk memutus suatu ikatan perkawinan ialah hadis nabi yang berbunyi la dharara wa la dhirar (tidak ada kemudharatan dan tidak boleh melakukan kemudharatan/jangan membahayakan diri dan orang lain).
Berdasarkan dalil ini, Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa seorang istri yang teraniaya oleh suaminya, berhak maju ke hadapan qadhi meminta agar Ia terpisahkan dari pasangannya.
Studi berjudul At-Tafriq Al-Qadha’I Bainaz Zaujaini yang Adnan Ali Najar tulis pada Universitas Islam Ghaza menjelaskan bahwa dasar kewenangan pengadilan untuk memisahkan atau memutuskan suatu ikatan perkawinan bersumber pada ayat 229 dan 231 surat Al-Baqarah. Di mana ayat itu berbunyi fa imsaku bi ma’rufin aw tasrihu bi ihsanin (rujuklah dengan cara yang ma’ruf atau ceraikan dengan cara yang baik).
Perceraian yang baik merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan, jika suami memang cenderung menganiaya istri. Akan tetapi, jika suami tidak kunjung menjatuhkan talak kepada istrinya, maka hakimlah yang memisahkan demi menghindarkan bahaya terhadap istri.
Pendapat Adnan di atas salah satunya bersumber pada tafsir Ibnu Arabi dalam Ahkamul Qur’an atas ayat 229 surat Al-Baqarah. Ibnu Arabi menjelaskan, pada pokoknya jika suami tidak mampu memberikan nafkah, maka hendaknya suami menjatuhkan talak kepada istrinya.
Jika suami tidak mau menjatuhkan talak, maka hakimlah yang akan menjatuhkan talak untuk mencegah terjadinya dharar (bahaya) akibat ketiadaan nafkah dalam waktu yang lama.
Alasan Tafriq Qadha’i
Wahbah Zuhaili menyebutkan setidaknya ada 10 (sepuluh) hal yang dapat menjadi alasan terputusnya ikatan perkawinan oleh pengadilan. Kesepuluh alasan tersebut adalah ketiadaan nafkah, cacat atau kekurangan dari segi seksual, dan buruknya hubungan suami dan istri. Selain itu adanya kesewenang-wenangan, kepergian suami, ditawannya suami, ila’, li’an, zhihar dan kemurtadan.
Sayyid Sabiq menyebutkan setidaknya terdapat empat alasan. Yaitu ketiadaan nafkah, cacat pada suami, suami membahayakan istri, suami meninggalkan istri tanpa alasan yang kita benarkan dan suami sedang menjalani hukuman penjara.
Hukum perkawinan di Indonesia melalui Pasal 19 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 mengenal adanya 6 (enam) alasan yang dapat kita ajukan untuk meminta perceraian. Pertama, salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar kita sembuhkan.
Kedua, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal-hal di luar kemampuannya. Ketiga, salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Keempat, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. Kelima, Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
Keenam, antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran. Selain keenam alasan tersebut Kompilasi Hukum Islam menambahkan ta’lik talak dan kemurtadan sebagai alasan perceraian.
Namun perlu kita ingat, adanya alasan di atas tidak serta merta membuat putusnya ikatan perkawinan. Misalnya, kepergian suami tanpa alasan yang sah selama 2 (dua) tahun berturut-turut tidak serta merta mengakibatkan seorang istri terceraikan dari suaminya.
Istri harus mengajukan gugatan terlebih dahulu ke pengadilan. Karena hakim hanya berwenang memutuskan perceraian jika gugatan perceraian kita daftarkan dan kita buktikan adanya alasan-alasan di atas di depan sidang.
Akhiri Kekerasan Terhadap Istri
Menurut Wahbah Zuhaili, ulama madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpendapat kekerasan terhadap istri oleh suami tidaklah tercegah dengan penjatuhan talak oleh pengadilan. Melainkan melalui penjatuhan hukuman kepada suami sampai Ia berhenti melakukan kekerasan tersebut (Wahbah 2011).
Pendapat yang berbeda kita temukan dalam madzhab maliki, Imam Malik, sebagaimana mengutip dari Sayyid Sabiq, berpendapat bahwa istri berhak menuntut agar pengadilan menjatuhkan talak bila sang suami telah melakukan sesuatu yang membahayakan diri, seperti ringan tangan, memaki, mengumpat serta melakukan berbagai kekerasan lainnya (Sabiq, n.d.). Ketentuan hukum perceraian di Indonesia yang memungkinkan terjadinya perceraian dalam hal suami menyakiti istri kiranya telah berkesesuaian dengan pendapat ini.
Istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan meyakini jika rumah tangga berlanjut justru akan membahayakan bagi dia. Maka tidak perlu ragu untuk mengajukan cerai ke depan persidangan. Terlebih jika keraguan tersebut penyebabnya karena status keabsahan talak oleh hakim.
Karena sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya, perceraian yang hakim putuskan dalam cerai gugat terakui dan memiliki landasan atas keberlakuannya dalam fiqih Islam. []