Mubadalah.id – Sebelum membincang sosok bidadari surga yang kita mimpikan, saya akan mengulas tentang eskalotologi. Eskatologi ini sebagai sebuah diskursus keilmuan maupun sebagai konseptual, diyakini kebenarannya oleh para pengikut agama maupun kepercayaan. Dalam Agama Islam, konsep eskatologis ini kita letakkan ke dalam rukun iman.
Pembahasan eskatologis mengenai hari akhir, proses, balasan, hingga kehidupan pasca hari akhir juga banyak Al Qur’an singgung. Bahkan Al Qur’an menggunakan banyak term untuk mendefinisikannya. Di antaranya adalah qiyamah ,as-sa’ah, yaumul hisab, yaumul ba’ats untuk mendefinisikan mengenai hari akhir.
Sedangkan balasan setelah hari akhir, yakni kehidupan pasca hari akhir atau akhirat, Al Qur’an menyebut beberapa term di antaranya kautsar, hurun ‘in, isyatir rodliyah, narun hamiyah, jannatin naim, dll.
Islam menyebut kehidupan akhirat sebagai balasan atas apa yang manusia perbuat di dunia. Kehidupan akhirat terbagi menjadi dua ‘muara’, yakni surga dan neraka. Surga sebagai balasan atas kebaikan yang manusia lakukan semasa hidup.
Sedangkan neraka merupakan balasan atas keburukan yang manusia lakukan sewaktu hidup. Surga tergambarkan sebagai kehidupan yang menyenangkan dan memuaskan. Sedangkan neraka digambarkan dengan sebaliknya. Penggambaran surga dan neraka ditujukan sebagai spirit moral kepada manusia agar senantiasa mengingat Tuhannya.
Membincang Kehidupan Paska Kematian
Kehidupan pasca kematian ini merupakan dimensi ghaib yang jauh melampaui akal dan nalar manusia. Amina Wadud menjelaskan dimensi ghaib ini sebagai perkara yang hanya bisa dibahas menggunakan kata-kata atau bahasa manusia, maka pembahasan mengenai dimensi ghaib, termasuk eskatologis merupakan pembahasan tentang bahasa.
Hal tersebut berlaku pada pembahasan surga dan segala isi di dalamnya yang tidak terlepas dari aspek kebahasaan. Surga dengan segala isi di dalamnya tergambarkan dengan sangat indah oleh bahasa manusia.
Surga ala manusia tergambarkan sebagai kenikmatan tempat peristirahatan dengan banyak buah-buahan segar, susu, dan makanan lezat. Di mana dalam ruangannya dikelilingi oleh air mengalir dengan jernih, dan dapat melihat indahnya ruang bertemankan bidadari indah nan elok.
Penggambaran isi surga oleh konsensus banyak manusia, terutama kalangan agamawan realitanya tetap menimbulkan polemik. Pendapat maupun pandangan mengenai penafsiran teks-teks keagamaan juga berlaku demikian. Tafsir keagamaan memberikan kontribusi yang besar dalam bidang ontologis, sosiologis, teologis, maupun eskatologis.
Penggambaran Surga
Dalam kaitannya dengan penggambaran surga dan isinya, pembahasan mengenai apa yang perempuan peroleh perempuan lebih sedikit terbahas daripada pembahasan mengenai kenikmatan yang laki-laki peroleh. Hal tersebut tidak lepas dari peran dan kepentingan mufasir dalam menafsirkan teks-teks keagamaan.
Pembahasan yang paling sering kita bicarakan ketika membahas surga dan isinya adalah tentang sosok bidadari. Bidadari surga dalam banyak tafsiran arus utama terinterpretasikan sebagai sesosok makhluk cantik jelita, indah, nan elok.
Seperti dalam tafsir Ath Thabari, hurun ‘in terinterpretasikan sebagai bidadari perempuan dengan mata yang indah, bola mata yang sangat hitam, dan berkulit putih bersih. Wahbah az-Zuhaili juga mengatakan hal serupa. Sangat jelas menunjukkan bahwa bidadari adalah seorang perempuan yang peruntukannya hanya bagi laki-laki sebagai balasan amal kebajikannya.
Ulama Progresif Kritisi Eskatologi Islam
Tetapi seiring berkembangnya dunia penafsiran, ulama tafsir progresif mengkritisi banyak hal tentang eskatologi dalam Islam, khususnya tentang bidadari. Quraish Shihab contohnya, ia menggambarkan bidadari surga sebagai makhluk netral gender baik feminim maupun maskulin (haura) yang bermata indah (‘aina).
Selain Quraish, Amina Wadud cenderung banyak mengkritisi konsep hurun ‘in dan zawj. Hurun ‘in adalah susunan idhafah yang secara historisnya turun untuk orang Arab sebagai rangsangan untuk mengejar kebenaran. Menurut analisis Wadud, kata ini sudah tidak pernah al Qur’an gunakan lagi setelah periode Mekkah. Setelah masa periode itu, al Qur’an menggambarkan pendamping surga (bidadari/bidadara) dengan istilah umum (zawj).
Faqihuddin Abdul Kodir sebagai ulama progresif juga menyinggung soal bidadari dan bidadara dalam bukunya: Qira’ah Mubadalah. Beberapa poin pemikirannya tentang hal tersebut diantaranya adalah;
Pertama, perempuan diposisikan sebagai subjek ayat yang mana tidak berhenti pada perintah ‘amar ma’ruf nahi munkar, tetapi juga sebagai penerima balasan atas kebajikan yang ia lakukan. Surga juga menjadi tempat bagi perempuan memperoleh segala kenikmatan surgawi tak terbatas.
Kedua, kata zawj atau azwaj tidak kita artikan sebagai bidadari-bidadari atau istri-istri. Tetapi kita artikan sebagai pasangan. Perempuan dan laki-laki di surga sama-sama mendapatkan pasangan yang baik, membahagiakan, melayani, dan menyenangkan.
Ketiga, kata muthahharah pada azwaj muthaharah bukan hanya kita artikan sebatas suci atau disucikan. Tetapi juga kebersihan, kejernihan, kesucian hati yang menyatu dalam komitmen cinta yang tunggal.
Konsep Bidadari Surga dalam Perspektif Mubadalah
Kesimpulannya, pembacaan Mubadalah terhadap konsep bidadari surga ini meniscayakan kesederajatan martabat dan kedudukan manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Esa secara primordial. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi yang sama dan setara dalam bermitra. Baik urusan domestik maupun publik, dan baik dalam mengajak kebaikan ataupun mencegah keburukan.
Terakhir, persoalan bidadari adalah satu dari sekian banyak contoh spirit moralitas untuk selalu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang terpenting adalah tetaplah beribadah, berbuat kebajikan, dan menyayangi sesama. Dan tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah kutipan syair sufistik perempuan Rabiah Al Adawiyah tentang surga dan neraka:
“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut neraka. Bukan pula karena mengharap masuk surga. Tetapi aku mengabdi karena cintaku pada-Nya. Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, tutuplah pinttu surga itu. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan Engkau palingkan keindahan wajah-Mu yang abadi padaku.” []