• Login
  • Register
Rabu, 16 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Buku Sayap-Sayap Patah: Kritik Kahlil Gibran terhadap Pernikahan Paksa

Pernikahan yang dipaksakan justru menciptakan penderitaan yang mendalam, seperti burung dengan sayap patah, tak mampu terbang meraih kebahagiaan.

Abuyazid Albustomi Abuyazid Albustomi
30/05/2025
in Buku
0
Sayap-sayap Patah

Sayap-sayap Patah

959
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Judul Buku : Sayap-Sayap Patah
Penulis : Kahlil Gibran
Penerbit : Quills Book Publisher
Jumlah Halaman : 308 Hlm
Cetakan : Cetakan Pertama, November 2007
ISBN : 979-99178-1-2

Mubadalah.id – Suatu sore, saat saya duduk di dalam kamar, pandangan saya tertuju pada sebuah buku berjudul Sayap-Sayap Patah. Saya langsung tertarik karena judulnya yang puitis sekaligus menyiratkan kesedihan. Tanpa pikir panjang, saya membuka halaman pertama dan mulai menyelami kisahnya.

Buku ini ditulis oleh Kahlil Gibran, seorang penyair dan filsuf Lebanon yang karyanya terkenal mendalam dan penuh makna. Gibran sering membahas tentang cinta, penderitaan, dan kebebasan manusia, tema-tema yang juga menjadi inti dalam Sayap-Sayap Patah.

Lebih dari sekadar novel romantis, buku ini adalah kritik sosial terhadap praktik pernikahan paksa yang masih terjadi di banyak masyarakat.

Ringkasan Novel Kisah Sayap-Sayap Patah

Novel ini adalah kisah semi-otobiografi Kahlil Gibran yang penuh nuansa cinta, kehilangan, dan kritik sosial terhadap praktik pernikahan paksa di masyarakat Timur Tengah pada masanya.

Baca Juga:

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Ulasan Crime and Punishment: Kritik terhadap Keangkuhan Intelektual

Belajar Toleransi dari Kisah Khalifah Manshur dan Georgeus Buktisyu

Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud

Ceritanya berpusat pada seorang tokoh utama yang tidak disebutkan namanya (biasanya diasumsikan sebagai aku, yaitu Gibran sendiri) yang jatuh cinta kepada perempuan bernama Selma Karamy. Ia adalah putri dari Faris Effandi. Keluarga kaya dan berpengaruh.

Tokoh utama dan Selma saling jatuh cinta pada pandangan pertama, dan hubungan mereka berkembang menjadi cinta yang mendalam. Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama karena Selma dijodohkan dengan seorang pria lain yang tidak ia cintai, yaitu paman Yusuf, seorang uskup kaya dan berpengaruh di Gereja setempat.

Perjodohan ini terjadi bukan karena cinta, tetapi demi kepentingan keluarga dan tekanan sosial. Ayah Selma merasa tidak punya pilihan selain menerima lamaran dari pihak uskup untuk mempertahankan status sosial dan nama baik keluarga mereka.

Selma akhirnya menikah dengan paman Yusuf, tetapi pernikahan itu penuh penderitaan. Ia kehilangan kebebasannya dan dipaksa menjalani hidup dalam sangkar emas. Sementara tokoh utama hanya bisa melihat dari kejauhan dan meratapi cinta mereka yang terenggut oleh aturan dan tradisi.

Kisah ini berakhir tragis, Selma meninggal dunia setelah melahirkan anak dari pernikahannya. Sementara tokoh utama hanya bisa mengenang cintanya sebagai sayap-sayap yang patah.

Kritik Gibran terhadap Pernikahan Paksa

Melalui kisah Selma, Gibran mencoba untuk menyuarakan kritik tajam terhadap praktik pernikahan paksa yang merenggut kebebasan dan kebahagiaan individu, terutama perempuan.

Menurutnya pernikahan seharusnya menjadi penyatuan dua jiwa yang saling mencintai, bukan transaksi sosial atau kewajiban keluarga semata. Pernikahan yang dipaksakan justru menciptakan penderitaan yang mendalam, seperti burung dengan sayap patah, tak mampu terbang meraih kebahagiaan.

Lewat novel tersebut Gibran juga menekankan bahwa cinta sejati hanya bisa lahir dari kebebasan, bukan paksaan. Dalam bukunya, ia menulis, “Cinta yang tumbuh dari paksaan adalah cinta yang mati sebelum hidup.” Pernikahan tanpa cinta dan kerelaan hanya akan melahirkan luka yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Sayap-sayap patah bukan sekadar cerita masa lalu. Hingga hari ini, praktik pernikahan paksa masih terjadi, baik karena tekanan budaya, keluarga, atau bahkan dalih agama. Kisah ini menjadi pengingat bahwa cinta tidak bisa kita paksakan, dan setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri.

Pernikahan yang sehat haruslah dilandasi cinta, kerelaan, dan saling menghormati, bukan sekadar kewajiban atau pengorbanan sepihak.

Gibran tidak hanya mengisahkan luka, tetapi juga menyerukan perlawanan, keberanian untuk melawan tradisi yang menindas, untuk membebaskan cinta dari belenggu paksaan. Bukunya mengajak kita bertanya: “Jika cinta adalah sayap, mengapa kita mematahkannya dengan pernikahan paksa?”

Melalui Sayap-Sayap Patah, Gibran mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat diraih ketika kita bebas mencintai dan dicintai. Pernikahan tanpa cinta adalah penjara, dan tak ada jiwa yang layak hidup dalam sangkar. []

Tags: bukuKritik Kahlil GibranPernikahan PaksaSayap-Sayap Patah
Abuyazid Albustomi

Abuyazid Albustomi

Saya adalah mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) ISIF Cirebon.

Terkait Posts

Ronggeng Dukuh Paruk

Kisah Ronggeng Dukuh Paruk dan Potret Politik Tubuh Perempuan

14 Juli 2025
Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

4 Juli 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Novel Cantik itu Luka

Novel Cantik itu Luka; Luka yang Diwariskan dan Doa yang Tak Sempat Dibisikkan

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Berbasis Gender Online

    Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO); Pentingnya Keberpihakan Pada Korban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yang Terjadi Jika Miskin, Tapi Ngotot Menikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merawat Fondasi Pernikahan dengan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Inklusivitas yang Terbatas: Ketika Pikiran Ingin Membantu Tetapi Tubuh Membeku

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dari Layar Kaca ke Layar Sentuh: Representasi Difabel dalam Pergeseran Teknologi Media
  • Trafficking dan Dosa Kemanusiaan
  • Sound Horeg: Antara Fatwa Haram Ulama’ dan Hiburan Masyarakat Kelas Bawah
  • Mengapa Kasus Perkosaan Terhadap Perempuan Masih Sering Terjadi?
  • Ketika Disiplin Menyelamatkan Impian

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID