Mubadalah.id – Cara membaca dan memahami ayat tentang kesaksian perempuan secara lebih spesifik bisa kita temukan dalam pendapat Ibnu Rusyd dan Ibnu al-Qayyim. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa:
“إن الأصل أن حكم الرجال والنساء واحد إلا أن يثبت في ذلك فارق شرعي”
Artinya: “Hukum asal adalah bahwa laki-laki dan perempaan itu satu (sama, tidak berbeda). Kecuali jika dalam hukum itu dinyatakan ada sesuatu yang membedakan secara syar’i.”
Sementara Ibnu al-Qayyim berpendapat bahwa:
“قد استقر في عرف الشارع أن الأحكام المذكورة بصيغة المذكر إذا أطلقت ولم تقترن بالمؤنث فإنها تتناول الرجال والنساء”
Artinya: “Dalam ‘urf Syari’ (kebiasaan yang digunakan Allah SWT dalam membuat hukum syara’) terdapat ketetapan bahwa hukum-hukum yang dinyatakan dalam sighat mudzakkar (bentuk kata laki-laki) dan tidak disertai dengan sighat muannats (bentuk kata perempuan) mempunyai cakupan arti laki-laki dan perempuan sekaligus.”
Cara baca Ibnu Rusyd dan Ibnu al-Qayyim ini tampaknya lebih sesuai dengan gaya bahasa Al-Qur’an. Jika cara baca Ibnu Rusyd dan Ibnu al-Qayyim ini kita gunakan untuk membaca ayat kesaksian semestinya tidak perlu ada batasan-batasan area kesaksian perempuan. Misalnya boleh untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan harta benda, sedang untuk selain itu tidak.
Lalu, mengapa dalam kenyataannya pemahaman terhadap ayat-ayat kesaksian banyak pembatasan terhadap perempuan. Dan bukan sebaliknya perempuan sebagai bagian dari kata yang umum itu. Sementara secara tekstual ayat-ayat itu sendiri tidak memberikan batasan? Itulah bias gender yang perlu kita kritisi! []