Tulisan ini terinspirasi dari cerita-cerita para perempuan pekerja perdamaian yang hadir dalam konferensi secara online pada tanggal 2 April 2020, yang diselenggarakan oleh International Civil Society Network (ICAN). Konferensi selama tiga jam melalui media Zoom ini (selanjutnya disebut konferensi ICAN) dihadiri oleh para perempuan agent perdamaian dari berbagai negara diantaranya adalah Afghanistan, Pakistan, Srilanka, Kashmir, Jordania, Tunisia, Uganda, Kenya, Cameroon, Maldives, Indonesia dan sebagainya.
Total peserta ada 30 orang, yang kesemuanya merupakan anggota ICAN, saya adalah satu-satunya yang mewakili Indonesia maupun Asia Tenggara. Untuk mendapatkan kedalaman data, saya juga menambahkan data-data dari media, jurnal dan laporan-laporan yang ditulis oleh pihak lain untuk melengkapi data-data dan sekaligus mendetilkan dengan narasi-narasi yang pernah dirilis oleh media-media populer.
Cerita perempuan di wilayah konflik Palestina sepertinya menarik menjadi pembuka tulisan, dengan membaca situasi lock down dari kaca mata perempuan. Berikut ceritanya.
“Saya tidak pernah membayangkan dalam hidup saya bahwa akan ada suatu hari dimana saya melihat Polisi Palestina memaksa orang-orang Palestina di desa dan di kota untuk tidak keluar rumah pada jam-jam tertentu. Saya cukup tua untuk mengingat bahwa biasanya yang melakukan itu adalah Polisi Israel mengumumkan pembatasan jam, khususnya selama Intifada Pertama ” (Siham Rishmawi, 63 tahun, seorang ibu dari Palestina dari Beit Sahur, Bethlehem Selatan. Intifada yaitu rangkaian protes rakyat Palestina kepada Israel yang melakukan pendudukan di wilayah the West Bank and Gaza
Penyataan dari Rishmawi yang dikutip oleh the Jerusalem Post (jpost.com), pada tanggal 12 Maret 2020 adalah pemandangan tidak lazim di Palestina sebagai konsekuensi dari kebijakan Lock Down yang diberlakukan oleh pemerintah Palestina untuk memutus rantai penyebaran Covid 19. Lucy Talgieh, seorang aktifis perdamaian dari Palestina juga menceritakan hal yang sama pada saat pertemuan konferensi ICAN.
Lucy menambahkan bahwa kebijakan Lock Down dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh Palestina, menimbulkan dampak yang serius bagi perempuan, khususnya mereka yang bekerja di sektor informal. Menurutnya, perempuan harus memikul beban double dengan penyebaran virus ini, karena mereka yang biasanya merawat anggota keluarga yang sakit.
Padahal disisi lain, mereka juga dibebani untuk mencari uang. Dalam kebijakan lock down, semua tempat-tempat berpotensi menjadi tempat berkumpul misalnya gereja, masjid, gedung perkawinan, restoran, kafe, ditutup untuk menghentikan rantai penyebaran. Check points (tempat pemeriksaan) dibangun di mana-mana di kota Bethlehem untuk mengontrol mobilitas orang.
Kondisi serupa juga ditemui di negara-negara seperti Jordan, Srilanka, Afghanistan, Tunisia, India, Kenya, Cameroon, Uganda dan tentu saja yang sudah duluan melakukan lock down adalah China, Itali, Spanyol, Maldives, Irlandia. Visaka Dharmadasa, Pendiri Asosiasi Perempuan Penyintas dan keluarga orang yang hilang di Srilanka, juga membenarkan bahwa lock down, membuat orang para pekerja informal perempuan kehilangan rantai ekonomi mereka.
Bahkan dikatakan oleh Visaka bahwa kekerasan domestik mulai bermunculan di saat orang dalam kondisi stress dan terkurung di dalam rumah. Negara kecil seperti Maldives juga mengalami dampak yang sangat serius dari Covid 19, apalagi negeri yang berisi pantai ini menggantungkan hidup mereka dari import dan pariwisata.
Di Afghanistan, menurut tuturan Humaira, dokter perempuan dan juga aktifis, pemerintah Afghanistan telah berupaya sangat keras, tetapi banyak pasien positif tidak bisa tertangani dengan maksimal karena terbatasnya akses medis. Apalagi kondisi Afghanistan yang mengalami konflik berkepanjangan tentu saja membuat situasi semakin buruk.
Kemiskinan yang mendera dan sulitnya mendapatkan pekerjaan juga faktor yang memperburuk situasi hidup di bawah Pandemic Covid 19. Perempuan lebih banyak melakukan unpaid work karena peran gender yang dikonstruksi oleh masyarakat sebagai care giver (seseorang dalam keluarga yang melakukan peran melayani anggota keluarga) atau care taker (orang yang diminta untuk melakukan pekerjaan melayani).
Tulisan ini ingin melihat bagaimana perempuan di berbagai sektor terdampak oleh Pandemic Covid 19, khususnya perempuan di sektor informal yang bergantung pada income harian. Penulis juga tertarik melihat mulai meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga seiring dengan diberlakukannya lock down atau isolasi diri. Di bagian akhir tulisan, akan ada analisis mengapa perempuan begitu rentan terdampak dalam Pandemic Covid 19? Bagaimana para perempuan agent perdamaian melakukan respon di tengah krisis ini?
Perempuan di Sektor Informal; Tak Bergaji, Tak Terlindungi
4.1 Juta pekerja industri Garmen di Bangladesh dalam kondisi kritis saat ini. Meskipun pemerintah Bangladesh tidak mengumumkan lock down, tetapi banyak order dari perusahaan fashion global yang dibatalkan dan ditunda kontrak karena krisis corona, seperti yang dilaporkan oleh Pusat Study Hak Buruh Global dan Konsosium Hak-Hak Pekerja (WRS). Mayoritas pekerja adalah perempuan yang sebagian besar dari mereka adalah pencari nafkah utama.
Meskipun pemerintah Bangladesh tidak pernah mengumumkan secara tegas kebijakan lock down, tetapi secara perlahan semua pabrik-pabrik garmen, textil dan sepatu mengumumkan tutup. Negara-negara di mana pabrik-pabrik bekerja seperti China, Vietnam, Indonesia, India, juga merasakan dampak yang tidak jauh berbeda.
Chul Sreymom, pekerja di Pabrik Sangwoo, Phnom Penh Kamboja, sudah lama bekerja di pabrik fashion merek ternama. Chul melihat ada 60 teman-temannya telah dirumahkan, padahal mereka pencari nafkah di keluarganya. Dia takut giliran dia yang berikutnya.” Saya tidak tahu mau kerja apa, bekerja di perusahaan garmen sudah dilakukan seumur hidupnya,” kata perempuan berumus 40 tahun ini kepada Nikkei Asian Review.
Di Indonesia sendiri sekitar 3 Juta buruh terdampak secara serius akibat kebijakan pembatasan sosial . Seperti yang dilaporkan oleh CNBC Indonesia (cnbcindonesia.com) bahwa sudah banyak buruh dirumahkan karena alasan pengurangan produksi.
KSPI sudah memprediksikan bahwa akan ada PHK besar-besaran dalam dua bulan ke depan karena ketersediaan bahan baku untuk industri manufaktur mulai menipis, khususnya bahan baku impor dari negara-negara yang terdampak corona. Selain itu, pelemahan rupiah terhadap dolar juga berpengaruh pada gulung tikarnya industri.
Tidak hanya di industri garmen yang terdampak, perempuan pekerja informal, seperti penjual sayur, ikan, dan bahan makanan sehari-hari yang biasanya ada di pasar juga akan kehilangan rantai ekonomi mereka secara pelan tapi pasti. India yang memberlakukan lock down selama 21 hari, sangat berdampak pada pekerja harian yang kebanyakan imigran.
Bukan saja menutup bisnis yang bukan esensial, tetapi juga tempat-tempat berkumpul seperti sekolah, tempat ibadah, kafe, restoran, termasuk pasar tradisional juga dinyatakan tutup. Para petugas keamanan tidak sungkan-sungkan melakukan pemukulan dan tindakan paksa lainnya kepada pada pedagang yang masih berusaha beraktifitas di pasar-pasar.
Para perempuan pedagang sayur di India harus berjalan door to door ke pelanggan mereka untuk bisa tetap menghasilkan uang yang cukup. Dibandingkan dengan berdagang di pasar, tentu saja door to door menguras extra waktu dan energi bagi perempuan, sehingga semakin lama dia berada di luar rumah.
Kebijakan tutup sekolah di Indonesia juga berdampak pada pedagang kecil yang biasanya berjualan di sekolah. Nurni, ibu yang bekerja di salah satu kantin SD di Rawamangun. Karena sekolah libur, dia juga diliburkan tetapi tidak mendapat upah. Padahal, jika dia bekerja, dia mendapatkan upah Rp 60.000 per hari. Saat ini, dia tinggal bersama anaknya, tetapi anaknya tidak bekerja lagi, suaminya merantau di Pekan Baru tanpa ada kabar. (kompas.id)
Bahkan bagi Humaira dari Kashmir, yang masih mengalami konflik, menemukan kelompok trans gender, minoritas lainnya mulai kehilangan pekerjaan mereka karena pembatasan keluar rumah. Bukan saja kehilangan pekerjaan, kelompok ini juga semakin rentan karena status sosial mereka yang di mata publik juga kurang mendapatkan perhatian. Mereka dianggap kelompok devian sehingga memungkinkan mendapatkan diskriminasi pada kondisi saat ini.
Perempuan di sektor formal yang paling rawan terdampak adalah sektor kesehatan. WHO melaporkan ada 70% tenaga medis di dunia ini adalah perempuan. Sayangnya dalam laporan Human Resources for Health Observer Series No. 24 yang berjudul “Delivered by Women, Led by Men, A Gender and Equity Analysis of the Global Health and Social Workforce’ menekankan bahwa Global health is delivered by women and led by men, and that is neither fair nor smart (kesehatan global itu dikerjakan oleh perempuan, dipimpin oleh laki-laki. Ini sangat tidak fair ataupun cerdas).
Dalam kenyataannya, meskipun jumlah perempuan lebih banyak, mereka menempati posisi bawah dan digaji rendah, rentan diskriminasi dan kekerasan. Mereka juga rentan perlindungan pada kesehatan reproduksinya. Apalagi dalam pekerjaan yang sangat rapid selama penanganan kasus di RS, banyak pekerja medis tidak diperkenankan pulang karena untuk pencegahan penularan, sehingga sudah pasti setiap menstruasi tiba mereka akan membutuhkan pembalut higienis, yang entah tersedia atau tidak. (Bersambung)