Mubadalah.id – Tingginya tingkat pendidikan seseorang tidak menjadi jaminan ia dapat mempertahankan akal sehat dan hati nuraninya. Hal yang lebih menentukan kiranya adalah stabilitas mental yang damai, daya tahan seseorang dari merasa mudah terancam, hingga croc brain menjadi jinak terkendali.
Dulu ada hipotesa bahwa anak-anak muda yang belajar agama di pesantren tidak akan terbawa aliran paham radikal. Ternyata ada seorang Aman Abdurrahman yang juga mantan santri sebuah pondok pesantren yang masuk jaringan teroris, bukan hanya intelektual seperti DR azahari yang jago membuat bom. Lalu di mana akar masalah kerentanan mental –mudah merasa terancam– ini?
Ada orang-orang yang bermental tenang, damai, mudah beradaptasi dalam banyak situasi, berfikir dan bersikap terbuka, tanpa ragu mendengar maupun mencari informasi yang berbeda dari yang ada dalam pikirannya tanpa merasa kehilangan rasa aman.
Namun banyak juga orang-orang yang senang membangun ‘benteng pertahanan’, tidak ingin tahu hal-hal yang berbeda dari yang dia mengerti atau dipahami oleh komunitasnya, karena mudah merasa terancam. Apa yang menyebabkan munculnya kondisi mental yang berbeda dari dua kelompok di atas?
Mentalitas yang tenang ada pada mereka yang memiliki konsep, penerimaan diri yang baik. Mereka mampu memulihkan luka batin –yang biasanya diterima dalam perjalanan hidup–, memilih bahagia dan mampu mengembangkan potensi baik yang ia miliki.
Sebaliknya ada sebagian orang yang konsep dirinya rendah karena berbagai peristiwa hidup yang membuatnya merasa diri tidak berharga dan tidak berhasil memulihkannya. Konsep diri yang rendah seringkali kali mengakibatkan seseorang tanpa sadar memelihara pikiran negatif dan pesimistik. Sengatan rekayasa informasi yang menyasar croc brain akan mudah mengenai pribadi yang rentan karena memilihara pikiran negatif dan pesimistik seperti ini.
Dari sudut pandang neurosains beralih pada psikologi perkembangan, dapat dilihat bahwa orang-orang yang mudah menyebar berita bohong, ujaran kebencian, menjual sentimen agama dan menghalalkan segala cara untuk kekuasaan dunia dan bertindak anarkis, bisa jadi tanpa sadar mereka sedang mengungkapkan ketidakbahagiaan. Di mana peran pendidikan dalam perkembangan fenomena ini?
Pendidikan ada dalam tiga ranah yang saling terkait yang oleh Ki Hadjar Dewantara disebut tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan keluarga, pendidikan di masyarakat dan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan.
Sayangnya akhir-akhir ini tiga pusat pendidikan ini sedang kehilangan suasana saling dukung saling menguatkan. Keluarga adalah ruang pendidikan pertama dan terpenting, karena di sinilah konsep diri seorang anak sejak awal terbentuk.
Saat ini banyak keluarga menyerahkan pendidikan anak-anak sejak balita pada pengasuh atau tempat pengasuhan anak. Ayah yang terlibat dan tidak membiarkan ibu berperan sendiri dalam pengasuhan sangat menentukan perkembangan berbagai segi kecerdasan.
Sementara berkurangnya kehangatan keluarga, apalagi bila ada pengalaman dipisahkan, perasaan diri tidak dicintai, rasa tidak berharga, marah, kecewa akan tersimpan lama dalam bawah dasar hingga dewasa, yang bila tidak dipulihkan dapat mempengaruhi kepribadian.
Di luar keluarga, masyarakat kita bergerak makin individualistis dan mengalami kemunduran dalam menunjukkan sikap saling peduli dalam turut menyemai nilai-nilai dan memberi teladan baik bagi para muda.
Sementara lembaga-lembaga pendidikan secara umum terlalu menonjolkan penguatan kognisi peserta didik, mempromosikan hubungan penuh persaingan bukan kerjasama, kurang serius dalam menguatkan daya afeksi yang sangat penting dalam menumbuhkan kecerdasan relasional.
Suasana pendidikan di banyak lembaga pendidikan menandaskan pemahaman seolah hanya dengan kepintaran dan kuatnya hafalan, menjadi menentu kebaikan. Padahal pintar saja sangat tidak cukup untuk menjadi manusia baik dan bertanggung jawab.
Semua aktifitas pendidikan haruslah berangkat dari pengertian yang mendalam dan komperhensif tentang kemanusiaan, karena dari titik ini pendidikan dimulai dan pada titik ini juga pendidikan diarahkan.
Pendidikan harus mengupayakan pengembangan sadar diri, sadar relasi dan sadar kondisi lingkungan peserta didiknya, untuk sebesar-besar menumbuhkan keluhuran martabat manusia.
Dengan mengembangkan sikap tanggung jawab dalam arti seluas-luasnya, khususnya tanggung jawab sebagai makhluk yang mendapat amanah kelestarian dan kedamaian bumi dan seisinya, peserta didik dituntun menemukan cara belajar sesuai keunikan masing-masing, menjadi dirinya sendiri sehingga menemukan cara untuk bertanggung jawab secara merdeka.
Pendekatan pendidikan yang manusiawi akan membantu peserta didik lebih mengenali diri, menyadari riwayat tumbuh kembang diri sebagai bagian dari upaya memahami kehidupan yang lebih luas.
Pendekatan pendidikan yang selalu mempertimbangkan keunikan manusia mendorong peserta didik lebih mampu melihat ke dalam diri, menemukan kekuatan dan kelemahan, mencermati luka dan bahagia yang turut membentuk konsep dirinya.
Dengan ini peserta didik terkondisi untuk mengembangkan potensi, memulihkan luka batinnya sehingga mampu menerima diri dan menyukuri hidup. Dengan peneriamaan diri ini peserta didik yang mampu melihat keindahan dalam banyak segi kehidupan, yang membuatnya optimis dan selalu memelihara pikiran baik sehingga mudah bahagia.
Pendidikan pada tripusat pendidikan yang mendukung pemerdekaan peserta didik (termasuk pemerdekaan dari relasi kuasa dalam praktik pembelajaran) adalah jalan lapang bagi tumbuh berkembang sesuai keunikan masing-masing anak atau peserta didik.
Dengan pendekatan yang manusiawi ini kiranya pendidikan dapat berperan menumbuhkan ketahanan mental sehingga tidak makin banyak orang kehilangan akan sehat dan hati nurani menghadapi berbagai tantanan perubahan.
Menghadapi rekayasa informasi yang menyasar croc brain dari pihak-pihak yang anti kedamaian, mengahadapi makin banyaknya generasi muda yang tumbuh dalam ketidakbahagiaan, menyadarkan kita untuk lebih bersungguh-sungguh memikikan praktik pendidikan dalam tri pusat pendidikan kita.[]