Mubadalah.id – Menjadi perempuan lajang di usia yang menurut standar masyarakat sudah matang berumah tangga, tentu bukan perkara mudah. Terlebih jika teman sebaya sudah banyak yang melepas masa lajangnya. Beragam komentar pun berdatangan. Mulai dari yang hanya sekedar basa-basi hingga mengintimidasi, menjadi konsumsi bahkan makanan telinga saban harinya.
Selalu saja, sejauh apa pun pendidikan maupun prestasi perempuan, kalau belum juga memiliki pasangan hidup atau suami, dikatakan belum lengkap. Seolah-olah, goal hidup seorang perempuan adalah ketika sudah bersuami. Ditambah, perempuan masih saja diposisikan sebagai konco wingking (teman pelengkap yang posisinya di belakang) laki-laki, terutama dalam relasi pernikahan.
Semestinya, perempuan lajang maupun yang sudah menikah, mereka tetaplah individu, manusia seutuhnya, yang bertanggung jawab atas kehidupannya. Di dalam Islam sendiri, setiap manusia, nantinya akan mempertanggungjawabkan perbuatannya kelak di akhirat. Tentu, tak ada yang bisa menolong kecuali amal perbuatannya. Suami, istri, anak, orang tua, tetangga, kerabat, semua sibuk dengan dirinya masing-masing.
Selain itu, tetap, dengan atau tanpa kehadiran laki-laki, kehidupan perempuan amatlah berharga. Pun, bahagia adalah tanggung jawab masing-masing orang. Terlepas ia memiliki pasangan maupun tidak. Menggantungkan urusan kebahagiaan ke orang lain, tentu, yang namanya manusia, tak luput dari celah kesalahan. Oleh karena itu, berharap kepada sesama manusia, hanya akan berujung pada kekecewaan.
Sebab sebaik-baiknya tempat mengadu adalah pada Allah Swt, sang pemilik semesta. Serta, sebaik-baik tempat pulang adalah pada diri sendiri.
Meski patriarki yang hingga saat ini masih membelenggu seantero dunia menghendaki dan memposisikan perempuan hanya sebagai objek dari kehidupan. Yang jelas, kualitas seorang perempuan bukan dari seberapa banyak laki-laki yang tertarik dan menyukainya. Melainkan, seberapa jauh ia menjadi individu yang bermanfaat untuk diri sendiri, bahkan orang lain, dan lingkungan sekitar.
Mengambil istilah di balik laki-laki atau suami yang sukses, ada perempuan atau istri di belakangnya. Bukankah relasi antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan itu sebagai partner? Kalau begitu, alangkah baiknya jika, di samping kesuksesan suami maupun istri, ada pasangan yang mau mensupport atau mendukung setiap langkah yang diambil.
Toh, tujuan hidup perempuan, sebagai manusia, bukan untuk mengabdi pada laki-laki atau suami. Jelas tidak. Satu-satunya tempat yang pantas untuk mengabdikan diri hanyalah pada Allah Swt, yang maha kuasa atas segalanya. Pun, di dalam konsep tauhid dijelaskan, mengabdi maupun menghamba pada selain-Nya, adalah perbuatan syirik.
Dan, karena memang sedari kita mengenal dunia, kita semua dibesarkan di lingkungan yang kental dengan kultur patriarkinya. Tak heran, mengubah mindset di alam bawah sadar yang sudah terbangun sejak kita balita, bukan perkara mudah. Semua itu butuh proses.
Terlebih, patriarkilah yang membentuk perempuan agar bergantung, terutama secara finansial dengan laki-laki atau suami. Di sini, tentu saja, perjuangan perempuan dalam meraih kemandirian finansialnya, tak jarang harus menghadapi beragam rintangan. Apalagi, perempuan kerap kali dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Meski sebenarnya ia tulang punggung maupun pencari nafkah utama keluarganya.
Bahkan, di sebuah forum diskusi yang saat itu diisi oleh Ibu Nur Rofi’ah, beliau sempat melontarkan pertanyaan ke para peserta yang hadir pada saat itu. Beliau bertanya, ketika ada seorang istri keluar kota, lalu ia sekamar hotel dengan seorang pengusaha. Apa yang muncul di pikiran kita (sebagai peserta)? Dengan serentak dan refleks, mayoritas para peserta mengatakan “dosa, zina, bukan mukhrim, selingkuh, dan sejenisnya”. Padahal, pengusaha yang dimaksud adalah seorang perempuan.
Sebelum dijelaskan kalau pengusaha tersebut adalah perempuan, barang tentu, kata pengusaha masih saja diidentikkan dengan gambaran sosok laki-laki. Artinya, alam bawah sadar kita masih merekam dan menangkap kalau pengusaha itu sudah pasti laki-laki. Meski pada kenyataannya tidak demikian.
Sebenarnya, jikalau laki-laki maupun perempuan diberikan akses, kesempatan, maupun peluang yang sama dengan laki-laki, dengan tetap memperhatikan kebutuhan reproduksi perempuan, pasti, mereka akan saling mengisi. Baik di ranah publik maupun domestik. Nah, karena sama-sama sebagai hamba dan individu yang bertangung jawab atas segala yang diperbuat, ketika ada perempuan yang memutuskan tidak menikah pun, itu juga pilihan. Bukan dosa besar.
Seperti halnya Rabi’ah Al-Adawiyah, Khadijah binti Sahnum Al-Qifthi, Aisyah binti Ahmad Al-Qurthubiyah, Karimah Al-Marwaziyah, Khadijah binti Ahmad Al-Raziyah. Mereka adalah beberapa tokoh perempuan yang semasa hidupnya dihabiskan hanya untuk thalabul ilmi dan mengabdikan dirinya pada Allah Swt. Meski begitu, siapa pun, terlepas dari para perempuan ulama tersebut, berhak atas pilihan hidupnya masing-masing. Selama itu tidak mengusik, bahkan merugikan orang lain. Wallahu a’lam []