Mubadalah.id – Tahukah kamu, kalau angka kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam masyarakat kita masih sangat tinggi?
Berdasarkan Catahu (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2022, ada sekitar 339.782 kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) yang menimpa perempuan. Kasusnya sangat beragam. Di ranah personal, ada perempuan yang mendapat kekerasan dari suaminya, pacarnya, orang tuanya, mantan suaminya, mantan pacarnya, dan lainnya.
Di ranah publik, seperti di wilayah tempat tinggal, tempat kerja, lingkungan pendidikan, dan tempat umum lainnya, ruang aman perempuan juga terancam.
Kebiasaan yang Tidak Berkeadilan bagi Perempuan Korban KBG
Ironisnya, banyak perempuan korban KBG yang mendapat dampak berlapis. Misalnya, sebagaimana data Catahu Komnas Perempuan, para perempuan korban kekerasan berbasis gender banyak yang menghadapi dampak sosial berupa stigma, pengucilan, pemisahan dengan anak, kehilangan akses komunikasi, kehilangan akses pendidikan, mengalami perundungan, mutasi, dan bahkan pengusiran. Selain itu, mereka juga menjadi terisolasi dari masyarakat, dan mengalami konflik sosial lainnya.
Data Catahu Komnas Perempuan memang masih sangat umum. Tidak secara jelas merujuk pada kasus dan masyarakat tertentu. Namun, sebenarnya kita dapat dengan mudah membayangkan, bagaimana perempuan korban KBG mendapat dampak berlapis dalam masyarakat.
Bahkan, sebagian kita bisa jadi pernah mendengar sendiri, atau sempat membaca berita, perempuan korban KBG yang butuh dukungan dari lingkungan sekitar, namun nahas malah mendapat serangan bertubi berupa stigma sosial.
Saya sendiri beberapa kali mendengar, kisah perempuan-perempuan korban perkosaan yang seharusnya memperoleh support system dari lingkungan masyarakatnya, tapi orang-orang malah mendaratkan stigma kepada mereka.
Korban mengalami pemerkosaan kedua oleh masyarakat, yang menghantam jiwa korban dengan label perempuan sial dan sudah tidak suci. Bahkan, malangnya lagi, tidak jarang kerabat memandang korban sebagai aib.
Mental Model Patriarki
Kebiasaan stigmatisasi (pelabelan negatif) kepada perempuan korban kekerasan berbasis gender yang melekat di banyak masyarakat Indonesia, agaknya tidak lepas dari mental model masyarakat yang masih patriarki (memosisikan laki-laki lebih utama dari perempuan). Mental model patriarki membuat orang alih-alih membela para perempuan korban KBG, yang ada malah merundung korban.
Sebagaimana berdasarkan penjelasan Nur Rofi’ah, dalam sesi materinya di Akademi Mubadalah Muda 2023, dalam masyarakat yang mental modelnya patriarki garis keras, posisi laki-laki menjadi manusia (subjek utuh) satu-satunya. Sedangkan, perempuan sekadar objek mutlak kehidupan.
Ada pun dalam masyarakat yang mental modelnya patriarki garis lunak (telah agak berkesadaran), posisi perempuan sudah terpandang sebagai manusia. Namun, standar kehidupan masih berdasarkan pada ukuran laki-laki, dan abai dengan pengalaman hidup perempuan.
Baik sistem sosial patriarki garis keras maupun lunak, pada dasarnya ukuran kehidupan masih berdasarkan standar laki-laki. Sehingga, dalam masyarakat seperti ini, perempuan rentan menjadi target objektivikasi (penyalahan) atas suatu hal. Bahkan, dalam kasus KBG, sekalipun korban kekerasan berbasis gender adalah perempuan tetap yang masyarakat salahkan adalah perempuan.
Misalnya, perempuan korban perkosaan. Mereka lah korbannya. Namun, alih-alih mendapat keberpihakan, masyarakat patriarki justru menyalahkan mereka.
Kenapa terjadi pemerkosaan? Bagi orang yang mental modelnya patriarki itu akibat perempuan sendiri; pakaiannya sih yang menggoda, dasar si perempuan yang genit, salahnya sendiri keluar malam, dan lain-lain. Itulah yang selalu mereka sorot. Mencari-cari dalih menyalahkan perempuan yang sebenarnya adalah korban. Dan, malah abai dengan para predator seks yang sesungguhnya adalah si pelaku yang jelas-jelas bersalah.
Oiya, jangan salah, stigmatisasi kepada perempuan seperti itu tidak hanya keluar dari mulut laki-laki saja. Bukan tidak mungkin itu terucap dari sesama perempuan. Kenapa bisa? Sebab, mental model patriarki tidak hanya dapat melekat pada diri laki-laki, melainkan juga pada diri perempuan.
Dinamisasi Mental Model Keadilan Hakiki
Satu jalan untuk meninggalkan kebiasaan stigmatisasi kepada perempuan, atau untuk meng-counter ketidakadilan gender, adalah dengan mengubah mental model masyarakat, agar berkesadaran keadilan gender. Dalam ajaran Gus Dur perubahan demikian dapat kita sebut sebagai proses dinamisasi.
Sebagaimana dalam Menggerakkan Tradisi, Gus Dur menjelaskan kalau proses dinamisasi memiliki konotasi perubahan ke arah penyempurnaan keadaan. Maka, dapat kita pahami bahwa, dinamisasi mental model untuk keadilan relasi adalah, perubahan dari mental model patriarki menuju mental model keadilan hakiki.
Dinamisasi mental model ini dapat kita mulai dengan menumbuhkan kesadaran makruf dalam diri. Kesadaran makruf ini, sebagaimana penjelasan Faqihuddin Abdul Kodir dalam Metodologi Fatwa KUPI, menyangkut segala yang mengandung nilai kebaikan, kebenaran, dan kepantasan yang sesuai syari’at, akal sehat, dan pandangan umum suatu masyarakat. Tentu dalam mainstreaming-nya mengedepankan prinsip keadilan hakiki bagi perempuan.
Dalam prinsip keadilan hakiki, perempuan adalah manusia utuh dan subjek yang setara dengan laki-laki. Sehingga, kehidupan tidak boleh hanya berdasar standar laki-laki, namun juga harus mempertimbangkan pengalaman perempuan.
Oleh karena itu, makruf dalam prinsip keadilan hakiki, adalah dengan mempertimbangkan pengalaman perempuan yang rentan ketidakadilan. Segala pertimbangan harus mampu memosisikan perempuan dalam derajat manusia, dan bukan sebaliknya.
Mental model keadilan hakiki yang demikian dapat mendorong kita pada sistem sosial yang non-patriarki.
Dalam masyarakat yang bermental model keadilan hakiki, sebab standar hidup berdasarkan pengalaman dua pihak, maka memungkinkan ketiadaan objektivikasi (penyalahan) kepada perempuan.
Dalam kasus KBG, misalnya, yang ada adalah analisa kejadian berdasarkan pengalaman dua pihak. Siapa yang salah? Ya, pelaku. Siapa yang korban? Ya, si korban. Pelaku harus mendapat hukuman, dan korban perlu mendapat support system dari masyarakat.
Dinamisasi mental model keadilan hakiki ini mungkin nampak sederhana dalam konsepnya. Namun, agaknya bakal sulit dalam realitas implementasinya. Ya, tapi bagaimanapun perlu kita bumikan dalam upaya meniadakan ketidakadilan gender. []