• Login
  • Register
Kamis, 30 Juni 2022
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Diskresi Pemerintah untuk Batasi Poligami

Mubadalah Mubadalah
27/12/2018
in Kolom
0
Poligami

Ilustrasi: beritainternusa[dot]com

38
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Kontroversi tentang poligami kembali marak hingga mendorong seorang petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) ingin membubarkan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Kontroversi seputar poligami akan terus mengemuka di negeri ini karena adanya dualisme hukum perkawinan dan keluarga di Indonesia, yaitu hukum syariat dan hukum negara. Syariat membolehkan poligami, sedangkan hukum negara (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974) berasaskan monogami) membatasinya.

Belum lama ini, isu poligami mencuat ketika Dauroh Poligami Indonesia (DPI) menggelar beberapa seri seminar dengan judul yang gagah “Cara Kilat Dapat Istri 4”. Pesertanya harus memberikan kontribusi antara Rp3,5 juta hingga Rp5 juta per orang.

Hingga saat ini, belum ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah untuk meredam apalagi melarang kampanye dan/atau praktik poligami. Itu terbukti dengan betapa leluasanya organisasi massa seperti DPI menggelar seminar dan kegiatan lainnya yang mengampanyekan poligami.

Lalu, mengapa pemerintah harus bertindak? Sebab kampanye dan gerakan pro-poligami jelas-jelas telah meledek pemerintah dan berbagai produk perundang-undangan di Indonesia.

Baca Juga:

Gusti Nurul dan Keteguhan Hatinya Menolak Poligami

Puteri Keraton Menolak Poligami, Inilah Sosok Gusti Nurul

Doa Supaya Pernikahan Langgeng Ala Ulama KUPI

Istri bukan Tulang Rusuk Suami tapi Belahan Jiwanya

Mereka memanfaatkan celah hukum dalam masalah poligami untuk mengeruk keuntungan material yang sebesar-besarnya dengan dalih agama. Ketika ditanyakan, kenapa pemerintah tidak mengambil tindakan terhadap DPI atau pihak-pihak serupa lainnya?

Jawabannya, karena kekosongan atau ketiadaan hukum. Hak masyarakat untuk berpendapat, berkumpul, bahkan mengajak orang lain berpoligami dilindungi undang-undang. Alasan lainnya, karena tidak ada orang yang dizalimi atau dianiaya dan dirugikan.

Juga tidak ada pengaduan kepada pemerintah atau kepolisian mengenai perbuatan mereka. karena itulah pemerintah tidak bisa mengambil tindakan apa pun atas mereka.

Hukum Islam maupun hukum pemerintah tentang perkawinan memang memberikan peluang kepada laki-laki di negeri ini untuk beristri lebih dari satu. Para feminis dan aktivis perempuan bisa berteriak bahwa asas perkawinan dalam UU Perkawinan (UUP) adalah asas monogami, dan bahwa poligami bukanlah tradisi Islam.

Namun, teriakan mereka tidak pernah menjadi suara yang cukup kencang untuk menggerakkan pembuat kebijakan di negeri ini melahirkan aturan yang lebih tegas tentang poligami dan model perkawinan tidak jelas lainnya. Suara mereda teredam oleh kenyataan bahwa poligami adalah praktik yang sah dan dilindungi hukum.

Langkah yang paling efektif untuk menghentikan kampanye dan praktik poligami, dan juga nikah siri adalah merevisi UUP. Namun sepertinya langkah itu sulit terwujud, karena hukum Islam, yang dianut mayoritas penduduk, membolehkan poligami. Bahkan, naskah rancangan revisi UUP yang pernah mengemuka pun—yang di antaranya mengatur sanksi bagi pelaku nikah siri—kini tidak lagi terdengar nasibnya.

Lalu, jika begitu, apa yang bisa dilakukan pemerintah?

Kekosongan atau celah hukum tidak bisa dijadikan alasan bagi pemerintah untuk berdiam diri membiarkan fenomena itu. Jika pemerintah menganggap penting upaya pembangunan keluarga yang baik, harmonis, dan sejahtera, pemerintah harus mengambil tindakan untuk membatasi kampanye poligami.

Diskresi sebagai Solusi

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pemerintah wajib melaksanakan administrasi pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan perlindungan.

Fungsi-fungsi tersebut harus dijalankan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ketika tidak ada peraturan dalam bentuk undang-undang atau peraturan lain tentang suatu masalah, pemerintah harus tetap menjalankan fungsinya. Untuk itulah ditetapkan peraturan tentang diskresi.

Menurut UU No. 30/2014 tersebut, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Lebih jauh diatur bahwa pengguna diskresi adalah pejabat yang berwenang dan sesuai dengan tujuan serta peraturan yang telah ada (Pasal 1 [3]).

Salah satu contoh diskresi yang dilakukan pejabat pemerintah adalah Surat Edaran Nomor 586/SE/2018 yang diterbitkan oleh Lurah Cipinang Besar Utara, Sri Sundari, untuk menekan angka perkawinan usia dini. Ketika ditanya alasannya, Sri Sundari menyatakan miris melihat berbagai masalah sosial di lingkungannya, terutama perkawinan anak yang tidak terdata karena terjadi di bawah tangan atau dikenal sebagai “kawin siri.”

Langkah serupa diambil Gubernur Nusa Tenggara Barat, TGB M. Zainul Majdi yang menerbitkan Surat Edaran Nomor 150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan yang merekomendasikan usia pernikahan untuk laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun.

Surat edaran itu diterbitkan untuk mendorong seluruh satuan kerja perangkat daerah serta bupati/wali kota se-NTB melaksanakan program PUP sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.

Jika berkaitan dengan usia perkawinan pejabat dapat mengeluarkan kebijakan, mestinya pemerintah juga bisa melakukan diskresi untuk meredam kampanye dan praktik poligami selama tidak bertentangan dengan peraturan.

Sayangnya, hingga saat ini, belum ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah. Ada surat edaran yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan Nomor SE/71/VII/2015 tentang Persetujuan Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai di Lingkungan Kemhan.

Namun, surat edaran itu tidak berdampak besar karena menegaskan berbagai peraturan yang telah ada tentang poligami meskipun pihak Kemenhan menyatakan bahwa SE itu dimaksudkan untuk melarang poligami.

Berkaitan dengan poligami, pejabat pemerintah dari berbagai tingkatan bisa mengeluarkan kebijakan untuk memperketat aturan tentang praktik dan/atau kampanye poligami. Misalnya, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam di Kementerian Agama bisa mengeluarkan peraturan mengenai pembinaan dan pengawasan kegiatan yang berkaitan dengan perkawinan, dan juga pembinaan keluarga sakinah.

Tujuannya adalah untuk mengedukasi masyarakat tentang aspek yang sehat dan sekaligus juga edukasi tentang asas monogami dalam Islam dan UUP.

 

Baca artikel selengkapnya di sini.

Tags: diskresiedukasiHukum Poligamikementeriaan agamakesehatanKUAperceraianperkawinanpoligami
Mubadalah

Mubadalah

Portal Informasi Popular tentang relasi antara perempuan dan laki-laki yang mengarah pada kebahagiaan dan kesalingan dalam perspektif Islam.

Terkait Posts

Krisis Iklim

Peran Anak Muda Dalam Mencegah Krisis Iklim

29 Juni 2022
Perempuan yang tidak sempurna

Tetap Bangga dan Bahagia Menjadi Perempuan yang Tidak Sempurna

29 Juni 2022
Relasi Gender

Melihat Relasi Gender Melalui Kacamata Budaya Nusantara

29 Juni 2022
Dampak Negatif Skincare

Dampak Negatif Skincare terhadap Ekosistem Bumi

28 Juni 2022
Nikah Muda

Ingin Nikah Muda? Jangan Gegabah Sebelum Memenuhi Syarat Berikut Ini!

28 Juni 2022
RUU KUHP

13 Pasal Krusial RUU KUHP yang Berpotensi Mafsadat Jika Disahkan

28 Juni 2022

Discussion about this post

No Result
View All Result

TERPOPULER

  • istri taat suami tidak kunjungi ayah yang sakit

    Kisah Istri Taat Suami tidak Kunjungi Ayah yang Sakit sampai Wafat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fikih Haji Perempuan: Sebuah Pengalaman Pribadi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Jumrah: Simbol Perjuangan Manusia Bersihkan Hati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Melihat Relasi Gender Melalui Kacamata Budaya Nusantara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tetap Bangga dan Bahagia Menjadi Perempuan yang Tidak Sempurna

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Masa Tua adalah Masa Menua Bersama Pasangan
  • Bacaan Doa Ketika Melempar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah
  • Peran Anak Muda Dalam Mencegah Krisis Iklim
  • Makna Jumrah: Simbol Perjuangan Manusia Bersihkan Hati
  • Tetap Bangga dan Bahagia Menjadi Perempuan yang Tidak Sempurna

Komentar Terbaru

  • Tradisi Haul Sebagai Sarana Memperkuat Solidaritas Sosial pada Kecerdasan Spiritual Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal
  • 7 Prinsip dalam Perkawinan dan Keluarga pada 7 Macam Kondisi Perkawinan yang Wajib Dipahami Suami dan Istri
  • Konsep Tahadduts bin Nikmah yang Baik dalam Postingan di Media Sosial - NUTIZEN pada Bermedia Sosial Secara Mubadalah? Why Not?
  • Tasawuf, dan Praktik Keagamaan yang Ramah Perempuan - NUTIZEN pada Mengenang Sufi Perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah
  • Doa agar Dijauhkan dari Perilaku Zalim pada Islam Ajarkan untuk Saling Berbuat Baik Kepada Seluruh Umat Manusia
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2021 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2021 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist