Saat itu saya berusia 11 tahun, dan duduk di kelas tiga sekolah Madrasah Ibtidaiyah. Sekolah Madrasah dijalani sore hari, selepas jam Sekolah Dasar berakhir. Di Madrasah, kami menerima pelajaran agama yang umum seperti Fiqih, Ibadah Akhlak, Tarikh Islam, Bahasa Arab, Quran Hadist, dan lain-lain. Tetapi, bukan itu yang hendak saya ceritakan. Bercerita pengalaman di Madrasah, ingatan saya berhenti pada pengalaman buruk yang hingga hari ini, hampir 23 tahun berlalu, bayangan tersebut masih melukai saya.
Jumlah murid kelas tiga hanya tujuh orang. Tiga orang perempuan dan empat lelaki. Saat itu ujian Bahasa Arab. Guru Bahasa Arab yang juga merangkap sebagai kepala sekolah memanggil setiap siswa ke ruangannya untuk di melakukan tes hafalan. Tiba giliran saya, hati saya sudah tak karuan. Bukan gugup karena tes, tapi gugup karena harus berhadapan dengan guru saya seorang diri. Guru yang sejak awal saya bersekolah, telah memberikan perhatian lebih pada saya ketimbang teman saya yang lain.
Tes berjalan lancar, saya cukup cakap menjawab soal dan melafalkan hafalan saya. Seharusnya saya dapat segera kembali ke bangku dan bergabung bersama teman lainnya. Tetapi tidak, guru bahasa Arab mengajak saya berbicara serius. Perbincangan yang jika saya ingat hari ini, sungguh membuat saya muak.
Dengan suaranya yang setengah berbisik dan wajahnya yang mendekat pada wajah saya, ia memulai perbincangan.
“Rena, cinta agama Rena?”, tentu saja saya jawab ya.
“Rena, jika seandainya ada perintah dari agama Rena, apakah Rena akan menjalankannya?” Tentu saja tak ada pilihan jawaban lain dari anak umur 11 tahun kecuali “ya”.
“Rena, mau tidak jadi istri kedua saya? Rena saya poligami ya”. Saya masih ingat. Saya bahkan masih ingat gesture tubuhnya. Saat itu saya berkerudung putih, dan baju tertutup berwarna biru yang dijahitkan oleh ibu saya. Saya hanya diam. Ia terus melancarkan serangan kata-kata.
“Poligami kan sunah dalam Islam, Nabi Muhammad Saw saja poligami, masa Rena mau melanggar ajaran rasul. Apa Rena tidak mau dapat pahala? Rena tentunya gak mau jadi perempuan yang berdosa kan.”
Ia tak memberikan saya kesempatan. Berulang kali saya berujar, saya akan kembali ke teman-teman saya, ia selalu menarik kembali tangan saya. Ia menunggu jawaban saya.
“Kalau Rena mau, saya akan minta ke orang tua Rena untuk mengijinkan”. Tidak apa-apa Rena masih sekolah, saya akan menunggu hingga Rena lulus SMA”.
Saya, yang masih 11 tahun tak bisa berpikir dengan jernih pada apa yang saya alami saat itu. Saya hanya bisa diam dan bingung. Sosok yang saya hormati dan usianya lebih tua dari ayah saya telah begitu tega membuat saya berada di kondisi yang buruk.
Saya seharusnya menikmati dunia bermain, namun keinginan atau bahkan keisengan orang dewasa itu telah menjadi hantu yang merenggut masa kanak-kanak saya. Sialnya pula saya masih harus terus bersamanya hingga satu tahun kemudian. Diri saya menuntut untuk berhenti dan lari dari sekolah itu. Namun orang tua dan masyarakat menuntut saya untuk menuntaskan sekolah hingga lulus.
Teman yang mendengar cerita saya menganggap ini lelucon. Begitupun ketika saya bercerita pada orang tua, mereka berpikir itu adalah keisengaan belaka dan tidak perlu dipikirkan serius. Tetapi apakah mereka tahu, bayang-bayang itu terus menghantui saya hingga saat ini. Fisik saya memang tidak terluka, tetapi mental saya tumbuh dengan penuh ketakutan.
Saat itu, setiap berada di sekolah Madrasah, saya takut bertemu dia. Saya takut akan diajak pada ruang tertutup lagi dimana hanya saya dan dia di ruangan itu. Saya takut belajar Bahasa Arab. Saya takut mendapati matanya yang tengah curi pandang melihat saya. Saya takut mendengar sapaannya. Bahkan saya takut lulus dari Sekolah Madrasah, lalu SMP kemudian SMA, dan saya akan dipaksa menikahinya.
Seringkali kita kerap abai pada kejadian sederhana, menganggap remeh sebuah peristiwa hanya karena peristiwa itu sudah berlalu. Banyak orang dewasa tak mendengar suara anak kecil. Dianggapnya peristiwa yang dialami bocah adalah sekedar sebuah perjalanan yang sudah selumrahnya dilalui. Sayangnya tak begitu, peristiwa bertahun-tahun lalu dapat menjadi ‘hantu’ yang akan terus mengikutinya hingga dewasa, menyebabkan trauma, hilangnya rasa percaya diri, mental yang tidak stabil hingga hidup yang terus dipenuhi kecurigaan.
Hari ini, pertama kalinya saya mencoba memberanikan diri menceritakan apa yang saya alami. Bukan untuk mencoreng namanya, tetapi untuk mengingatkan saya bahwa pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja, di usia berapapun, oleh siapapun. Dengan memanfaatkan relasi kuasa, para pelaku begitu nyaman melakukannya berulang kali. Tak ada saksi, dan tak ada sanksi bagi mereka. Korban yang kebanyakan perempuan, selama bertahun-tahun hanya bisa menata duka-dukanya dalam ruang gelap sendirian.
Kini, di masyarakat yang seharusnya sudah lebih modern, sudahkah sekolah-sekolah Madrasah di desa menjadi ruang yang aman untuk anak-anak perempuan belajar mengenai agama dan Tuhannya? Ruang yang membuat setiap individu di dalamnya menjadi kritis, ruang yang tanpa diskriminasi, yang tak menyisakan satu celah pun untuk disisipi rasa takut berada di dalamnya. []