Mubadalah.id – Menunaikan ibadah haji adalah bentuk penyempurnaan dari rukun Islam yang lima. Kesempurnaan ini hanya dapat diraih jika seseorang telah mampu secara fisik, mental, ekonomi, dan spiritual.
Dalam pelaksanaan haji, syarat utama yang ditekankan adalah “kemampuan.” Namun, makna “mampu” tidak hanya sebatas pada kesiapan fisik, mental, dan finansial. Tetapi juga mencakup kesiapan spiritual yakni kemampuan menjaga dan merefleksikan esensi kebaikan dari ibadah haji itu sendiri.
Tradisi Walimah Safar
Dalam tradisi di sebagian masyarakat, keberangkatan seseorang ke tanah suci disambut dengan suka cita. Sebab, sejatinya mereka yang berangkat haji adalah orang-orang yang telah mendapat panggilan untuk menyempurnakan rukun Islam.
Rasa syukur ini biasanya ia wujudkan dalam bentuk sedekahan atau walimah safar. Yaitu sebuah tradisi yang lumrah mereka lakukan sebagai bentuk kegembiraan dan penghormatan terhadap para calon jemaah.
Setelah acara walimah safar, para calon jemaah biasanya diantar ke asrama haji. Suasana haru kerap mewarnai momen ini, dengan doa-doa yang dipanjatkan serta air mata perpisahan dari keluarga dan kerabat yang mengiringi keberangkatan mereka.
Perjalanan haji bukanlah perjalanan biasa. Ini adalah perjalanan spiritual, murni untuk menghadap Allah dan mengharapkan keberkahan serta pahala dari ibadah.
Hal ini tercermin dari pakaian ihram (kain putih) yang para jamaah haji gunakan, yang sederhana dan jauh dari kemewahan. Pakaian ini menjadi simbol bahwa dalam haji, seseorang harus melepaskan atribut duniawi dan meluruskan niatnya, hanya untuk beribadah kepada Allah.
Mengharapkan Haji Mabrur
Ibadah haji bukanlah sekadar perjalanan wisata atau tamasya ke tanah suci. Diperlukan kesiapan biaya, waktu, tenaga, serta keikhlasan yang mendalam. Maka wajar bila setiap orang yang berangkat haji berharap ibadahnya diterima oleh Allah, atau yang dikenal dengan istilah haji mabrur.
Mengutip tulisan Farah Ramadanty di website Detik.com, haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah. Salah satu tandanya, menurut buku Tanya Jawab Fikih Sehari-hari karya Mahbub Maafi, adalah munculnya kebaikan yang semakin bertambah dalam diri orang yang telah berhaji.
Transformasi inilah yang menjadi inti dari esensi haji adalah seseorang yang telah menunaikan haji seharusnya bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik, baik dalam perilaku, tutur kata, maupun kebiasaan sehari-hari.
Namun, dalam realitas, tidak sedikit orang yang justru menjadikan gelar “Haji” sebagai status sosial dan bersikap sebaliknya sombong, merasa lebih tinggi. Bahkan memanfaatkan gelar tersebut untuk mendapatkan keuntungan tertentu.
Padahal, seseorang yang telah berhaji seharusnya mampu menjaga kemuliaan ibadah tersebut dengan terus memperbaiki diri dan menebar manfaat bagi orang lain. Termasuk bukan sekadar puas dengan gelar “Pak Haji” atau “Bu Haji,” tetapi benar-benar menjiwai nilai-nilai spiritual yang telah ia temui selama berada di tanah suci.
Oleh karena itu, esensi haji adalah transformasi diri menuju pribadi yang lebih baik. Maka penting bagi setiap Muslim yang akan melaksanakan haji untuk menata niat dengan tulus yaitu untuk beribadah semata karena Allah.
Sebab, ajaran Islam pada hakikatnya adalah rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam. Maka, seseorang yang telah menyempurnakan rukun Islamnya melalui ibadah haji seharusnya mampu menjadi sumber kebaikan dan kedamaian bagi sekelilingnya. []