• Login
  • Register
Rabu, 14 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Filosofi Perempuan Jawa

Salsabila Arwa Sajidah Salsabila Arwa Sajidah
21/03/2020
in Personal
0
900
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Perempuan, sebuah kata dengan bermacam-macam julukan. Perempuan dapat menjadi sosok yang penuh prestasi dan inspirasi. Namun, terkadang perempuan juga masih dipandang sebagai sosok yang tak pantas untuk beraksi dan berkreasi.

Hal ini dikarenakan, perempuan sering dianggap sebagai makhluk yang tidak mampu dan lemah. Selain itu, padangan budaya dan sosial lingkungan sekitar kerap kali merendahkan potensi perempuan. Budaya Jawa misalnya.

Sebagai salah satu budaya besar di Indonesia, budaya Jawa secara tidak langsung melestarikan pandangan-padangan negatif terhadap perempuan. Hal ini terlihat dari beberapa definisi perempuan atau wanita yang dalam konteks budaya Jawa, berarti ”wani ditata” artinya berani ditata.

Kenyataan tersebut menggambarkan posisi perempuan sebagai objek, yang dapat ditata atau diatur. Selain itu terdapat juga sebutan perempuan sebagai kanca wingking (teman di belakang). Hal ini memperlihatkan posisi perempuan hanya sebatas di lingkungan dalam rumah saja dan tidak mempunyai peran di lingkungan masyarakat.

Kondisi demikian menerangkan bahwa peran perempuan dibatasi pada 3 area (dapur, kasur dan sumur). Dengan begitu, tugas utama bagi perempuan antara lain : masak (memasak), macak (berhias diri), dan manak (melahirkan anak).

Baca Juga:

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

Haji dan Ekonomi: Perjuangan Orang Miskin Menaklukkan Kesenjangan

KUPI Gelar Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Seruan Bangkit dari Krisis Kemanusiaan

Kemudian, perempuan yang sudah menikah dan menjadi istri, oleh suaminya akan disebut dengan ungkapan, suwarga nunut, neraka katut. Artinya seorang istri pada akhirnya akan mendapatkan nunutan (tumpangan) ketika sang suami masuk surga, tetapi jika suami masuk neraka maka istri juga akan ikut masuk neraka.

Padahal, dalam masa Jawa Kuno, pria dan wanita memiliki arti yang sejajar dalam bahasa Sanskerta. Meskipun kedudukan dan peran yang dimiliki tidak selalu sama. Dalam bahasa Sanskerta, Wanita berasal dari vanita. Akar katanya, van yang berarti tercinta, istri, perempuan, anak gadis. Pria berasal dari kata priyá. Artinya, yang tercinta, kekasih, yang disukai, yang diinginkan, dan sebagainya.

Pada masa itu, seorang perempuan dapat saja memiliki jabatan pemerintahan seperti raja atau ratu, putra atau putri mahkota, rakai (penguasa wilayah/watak), pejabat hukum, pejabat keagamaan, pejabat desa seperti hulu wanua (pengawas desa), huluair (pengawasa saluran air), wariga (ahli perbintangan), dan seterusnya. Meskipun jumlahnya tidak banyak, namun pada masa ini terdapat perempuan yang memiliki jabatan politik.

Selain itu, perempuan juga turut membantu perekonomian keluarga. Perempuan pada masa itu, membuat barang kerajian yang kemudian mereka jual. Perempuan juga dapat menjadi pedagang, mulai dari skala kecil hingga setingkat saudagar.

Kemudian, perempuan juga cukup diperhitungkan perannya dalam bidang hukum, yaitu sebagai saksi perempuan (tara saksi) dan pemutus perkara yang dijabat perempuan (pinariccheda guṇadośa). Hingga, pada masa Majapahit, perempuan menduduki jabatan di dalam Dewan Pertimbangan Kerajaan atau Bhatara Saptaprabu. Hal ini terlihat pada masa Hayam Wuruk, yang duduk dalam Dewan Pertimbangan Kerajaan adalah raja, ayah-bunda raja, paman-bibi raja, dua adik perempuan raja beserta suaminya.

Cerita diatas mengindikasikan bahwa pada masa lalu kesempatan bagi tokoh perempuan, dalam sejarah kebudayaan Jawa, untuk menonjol tidak lebih sempit dibanding masa sekarang. Serta kisah perempuan harus dipingit baru ada jauh pada masa yang lebih modern.

Meskipun demikian, kisah wanita yang dipandang rendah tersebut tetap memiliki nilai yang patut untuk diteladani. Nilai-nilai tersebut antara lain rukun, hormat, pengendalian diri, sabar, nrima, rila dan sumarah.  Demikian filosofi perempuan Jawa yang saya pahami. []

Salsabila Arwa Sajidah

Salsabila Arwa Sajidah

Terkait Posts

Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

14 Mei 2025
Laki-laki tidak bercerita

Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas

13 Mei 2025
Tonic Immobility

Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

13 Mei 2025
Kemanusiaan

Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

13 Mei 2025
Umat Buddha

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

12 Mei 2025
Membaca Kartini

Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis

10 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Laki-laki tidak bercerita

    Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Gelar Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Seruan Bangkit dari Krisis Kemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Haji dan Ekonomi: Perjuangan Orang Miskin Menaklukkan Kesenjangan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin
  • Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh
  • Haji dan Ekonomi: Perjuangan Orang Miskin Menaklukkan Kesenjangan
  • KUPI Gelar Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Seruan Bangkit dari Krisis Kemanusiaan
  • Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version