Mubadalah.id – Pada 2023 data Komnas Perempuan mencatat tentang Perkawinan Anak merupakan Praktik Berbahaya, yang menghambat Indonesia Emas 2045. Bahkan sampai hingga saaat ini semakin terlihat bahwa, praktik-praktik perkawinan anak sangatlah merugikan perempuan, dan merampas hak-haknya. Yakni hak pendidikan, hak reproduksi, bahkan lebih jauh hak hidup bagi perempuan itu sendiri.
Berdasarkan data Pengadilan Agama atas permohonan dispensasi perkawinan anak, tercatat sebanyak 65.000 kasus pada tahun 2021, dan 55.000 permohonan pada tahun 2022. Pengajuan dispensasi perkawinan pada usia muda terutama penyebabnya karena pemohon sebab mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD). Selain itu faktor pendorong dari orang tua yang menginginkan anaknya segera menikah. Tentu hal tersebut sangat memprihatinkan.
Secara sosial, pernikahan anak sangat rentan memunculkan perceraian. Bahwa 22 persen perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berakhir dengan perceraian mencapai 50%. (Indonesia Demographic and Health Survey, 2012). Pernikahan anak juga bisa berakhir dengan perceraian sebelum menginjak setahun usia pernikahan mereka, kerentanan terjadinya KDRT, dan pemaksaan hubungan seksual.
Terpaksa Menjadi Dewasa
Dalam usia masih anak-anak, mereka dipaksa keadaan menjadi dewasa dengan kemampuan pengasuhan yang sangat terbatas. Pada aspek kesejahteraan, pernikahan anak berhubungan dengan tingkat kesejahteraan yang lebih rendah, dan sulit untuk mencapai kesejahteraan yang baik.
Hal ini berbanding lurus dengan kebijakan pendidikan di mayoritas sekolah yang menutup akses bagi perempuan yang sudah menikah sebelum usia 18 tahun. Sehingga mereka berpeluang kecil untuk meningkatkan kesejahteraan baik melalui bekerja maupun menjadi pengusaha. Hingga akhirnya mereka menjadi sangat miskin. Yakni 29,9 persen dan miskin 28,8 persen (BPS dan UNICEF, 2016)
Tentu praktik berbahaya tersebut perlu upaya pencegahan perkawinan anak, dan gerakan kongkrit. Jika merujuk Fatwa KUPI I di Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Babakan Ciwaringin, Cirebon, pada 2017 tentang praktik kawin anak, maka ulama KUPI dengan tegas meminta pemerintah Indonesia mencegah dan menghapus perkawinan di bawah umur. Sebab terbukti membawa kerugian dalam pernikahan.
Gerakan ulama perempuan telah memiliki momentum sejarah yang baik sekali saat untuk melakukan pencegahan perkawinan anak yang sangat krusial ini. Di mana semua berorientasi pada perempuan, tentu paradigma dan metodologi fatwa khas KUPI menjadi modal untuk menolak perkawinan anak. Tidak hanya itu saja peran dan partisipasi aktif anak muda pada gerakan-gerakan Ulama Perempuan ke depan harapannya menjadi semangat baru wajah dakwah kekinian untuk mencegah perkawinan anak terjadi.
Gerakan Kolaborasi
Melalui kolaborasi dari gerakan pemuda harapannya akan memiliki posisi negosiasi yang tinggi. Di tengah upaya Indonesia menemukan model pemerintahan dan demokrasi yang lebih solutif. Pemuda tentu hadir memulai perbincangan tentang wacana politik. Sehingga keinginan banyak pemuda diperhitungkan dalam keputusan negara.
Pemuda punya potensi untuk melakukan perubahan. Yakni dengan pelibatan anak muda yang miliki pengetahuan agama dan memiliki keberpihakan pada perubahan dan mampu menguasai media digital.
Media digital sebagai alat untuk menjangkau masyarakat agar lebih mudah menerima edukasi tentang bahaya dan dampak berbahaya dari perkawinan anak. Upaya edukasi dan sosialisasi sederhana, juga bagian dari usaha-usaha kecil yang kita lakukan secara konsisten, mampu memberikan pengaruh positif terhadap pencegahan perkawinan anak.
Yakni dengan memberi penekanan bahwa menghindari perkawinan anak adalah upaya kolektif untuk menciptakan kesejahteraan dan memastikan masa depan yang lebih baik. Sehingga sudah selayaknya para pembaca bisa ikut serta mengkampanyekan pencegahan perkawinan anak demi kebaikan bersama.
Gerakan yang dilakukan jaringan muda semakin menguatkan gerakan yang KUPI lakukan untuk mencegah perkawinan anak. KUPI menjadi ruang perjumpaan pemikiran dan gagasan orang-orang yang memiliki komitmen besar pada nilai kemanusiaan, perdamaian dan keadilan. KUPI menyadarkan kita, bahwa perempuan juga bisa memberikan kontribusi dalam membangun peradaban bangsa dan dunia. []