• Login
  • Register
Minggu, 13 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Halalbihalal Mubadalah dan Cerita Merawat Kesalingan

Afifah Ahmad Afifah Ahmad
03/07/2020
in Pernak-pernik
0
160
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Tehran, pertengahan Juni 2020. Melalui channel YouTube Cak Masykur, saya mengikuti acara Halalbihalal Mubadalah. Ada banyak tokoh-tokoh yang saya kagumi turut mensakralkan acara ini, mulai dari Buya Husein Muhammad, Bu Nur Rofiah, Mbak Alisa Wahid, dan tentu saja Bapak mubadalah sendiri, KH Faqih Abdul Qodir. Paket acara yang juga menghadirkan para couple goal idola ini, semakin terasa meriah dan hangat. Sehangat matahari sore itu, di awal musim panas.

Sejujurnya, sebelum acara Halalbihahal, saya belum banyak berinteraksi langsung dengan para pengurus Mubadalah, hanya mengetahui beberapa acara melalui media sosial. Pemutaran video profile Mubadalah dan testimoni dari berbagai aktivis perempuan, memberikan gambaran jelas tentang kiprah yang selama ini telah dilakukan oleh Mubadalah.

Pengakuan mbak Alisa yang telah puluhan tahun mengelola berbagai NGO, tentang kematangan komunitas Mubadalah, membuat hati saya makin tertambat. Mubadalah tidak hanya memiliki konsep yang mapan, juga jaringan dan kiprah yang cukup luas.

Dan oleh-oleh Halalbihal yang sampai sekarang masih selalu saya ingat, kutipan Buya Husein Muhammad saat memberikan kata sambutan: “Cinta dua orang tidak bisa sempurna sampai masing-masing berkata: Kau adalah Aku”. Kalimat yang sangat mewakili konsep kesetaraan dan kesalingan.

Kalimat yang juga mampu menggugah memori saya tentang perjalanan merawat kesalingan bersama pasangan. Sejak awal menikah, kami memang telah berkomitmen untuk saling memberikan kesempatan belajar dan pengembangan diri kepada masing-masing pasangan.

Baca Juga:

Pentingnya Perspektif Keadilan Gender dalam Memahami Tafsir

Merebut Kembali Martabat Perempuan

Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

Kala Kesalingan Mulai Memudar

Tiga tahun pertama pernikahan, kami tetap sama-sama memiliki kesempatan belajar di kampus. Saya sendiri merasa amat menikmati masa-masa itu. Pernikahan sama sekali tak mengubah kesempatan saya untuk tetap bisa belajar formal. Bahkan, hamil tua saya masih lincah mengejar bus jemputan kampus.

Lalu kami dihadapkan pada situasi baru yang sama sekali di luar dugaan. Saya mengalami pendarahan hebat pasca melahirkan yang perlu waktu pemulihan lebih panjang. Sementara suami sedang diburu banyak tugas paper dan berbagai proyek terjemahan. Saat itu kami adalah pasangan muda di rantau, jauh dari keluarga, dan sedang asik-asiknya menikmati belajar. Inilah perjalanan terberat kami menjaga komitmen kesalingan.

Di satu sisi, ada masa depan akademis yang harus dipertaruhkan. Di sisi lain, ada biduk keluarga yang perlu diseimbangkan. Karena, persalinan yang berat itu, tidak hanya menyebabkan anemia dan masalah fisik lainnya, juga meninggalkan pengalaman traumatis.

Saya membayangkan situasi suami saat itu memang tidak mudah. Akhirnya, suami memutuskan cuti beberapa minggu agar bisa menemani saya lebih lama. Saya masih ingat, malam-malam ketika ia harus begadang dan menggendong bayi mungil yang baru beberapa minggu sambil mengerjakan beberapa terjemahan yang sudah terlanjur kontrak.

Alhamdulillah, sampai sekarang tugas domestik tetap kami bagi bertiga. Bayi di pangkuan itu kini sudah bisa diberi tanggung jawab untuk mencuci piring. Sementara suami, memilih membeli kebutuhan mingguan dan bergelut dengan vacum cleaner. Tugas masak saya pegang langsung. Di situasi tertentu, kalau saya harus nulis atau lagi asik mengikuti kelas tertentu, suami langsung pesan snappfood (gofood ala Iran).

Begitulah, meski belum jadi pasangan ideal, kami masih terus belajar menjadi pasangan yang menjaga kesalingan. Tentu, istilah “kesalingan” ini saya peroleh dari Mubadalah. Dulu, saya lebih banyak menggunakan istilah kesetaraan gender. Meskipun keduanya bermakna sama, tapi rasanya kesalingan lebih terasa nyaman, karena seolah bukan kata yang menjadi tuntutan salah satu pihak, tapi yang disadari dan disepakati oleh kedua pasangan.

Ah…saya jadi teringat puisi Rumi tentang hikmah penciptaan makhluk yang saling berpasangan. Ketika Rumi menggambarkan metafora langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan, tentu bukan sedang menggambarkan keterjarakan, tetapi hubungan kasalingtergantungan antara unsur-unsur di langit dan bumi.

Jika langit telah berjasa menurunkan hujan, maka bumi membentangkan tanah. Tanpa salah satu keduanya, tak mungkin ada tunas yang bermekaran.

Hikmat Tuhan dalam qada dan qadarnya

Ia hadirkan kita sebagai para pecinta

Seluruh bagian alam tercipta berpasangan

Dan pasangan itu saling mencinta

Seperti langit yang berkata pada bumi

Engkau dan aku ibarat magnet dan besi

Jika langit adalah lelaki maka bumi sebagai perempuan

Setiap butir biji yang jatuh, bumi akan memeluk dan merawatnya

(Rumi, Matsnawi jilid 3, bait 4400-4404) 

Afifah Ahmad

Afifah Ahmad

Founder ngajirumi.com, penulis, traveller, dan penyuka karya sastra sufistik

Terkait Posts

Tafsir Keadilan Gender

Pentingnya Perspektif Keadilan Gender dalam Memahami Tafsir

13 Juli 2025
Perempuan

Merebut Kembali Martabat Perempuan

13 Juli 2025
Narkoba

Hancurnya Keluarga Akibat Narkoba

12 Juli 2025
Ayat sebagai

Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

12 Juli 2025
Hak Perempuan

Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan

12 Juli 2025
Setara

Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara

12 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Praktik Kesalingan

    Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kala Kesalingan Mulai Memudar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merebut Kembali Martabat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pentingnya Perspektif Keadilan Gender dalam Memahami Tafsir
  • Merebut Kembali Martabat Perempuan
  • Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan
  • Kala Kesalingan Mulai Memudar
  • Hancurnya Keluarga Akibat Narkoba

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID