Mubadalah.id – Saya lahir pada tahun 2002. Empat tahun pasca reformasi. Bagi saya, Orde Baru hanya sebuah era dalam sejarah Indonesia yang saya pelajari melalui buku teks sejarah atau rekoleksi cerita orang-orang yang setidaknya pernah hidup pada Orde Baru. Saya tentu tahu satu-dua hal tentang Orde Baru berupaya melukis masa depan utopis dengan kuas ‘otoritarianisme’ dan cat ‘stabilitas dan pemerataan pembangunan’ selama tiga dekade, namun saya tidak pernah berpikir banyak tentang bagaimana Orde Baru bisa mempengaruhi hidup saya.
Dengan demikian, cukup aneh namun logis rasanya ketika menyadari bahwa konstruksi dan doktrin dari sebuah era yang tidak pernah saya alami. Tetapi Ibu saya alami selama setengah masa hidupnya , yang merupakan missing link dari bahan perseteruan antara saya dan ibu. Peran seperti apa yang selayaknya perempuan jalani?.
Paham ibuisme negara ditulis oleh Julia Suryakusuma dalam tesisnya yang berjudul “State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in the Indonesian New Order”, sebuah studi pertama terhadap sepak terjang Orde Baru melalui sudut pandang gender. Ketika mempelajari teori ini pada kelas gender, saya merasa menemukan jawaban yang dapat membantu saya memahami ibu saya sedikit lebih baik.
Sebagai konteks, saya beruntung terlahir dalam sebuah keluarga kelas menengah atas yang mapan secara finansial dan cukup harmonis. Ayah saya bekerja sebagai pegawai perusahaan perkebunan BUMN. Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga — demikian bunyi KTP-nya. Nyatanya, ia turut menjalankan usaha perkebunan kelapa sawit milik ibunya dan aktif berkegiatan di semacam organisasi istri pegawai BUMN.
Hubungan saya dan Ibu sebenarnya bisa kita bilang ideal. Namun, ada satu hal yang cukup mengganjal bagi saya. Setiap kali mengutarakan harapannya untuk masa depan saya, pembicaraan selalu terpusat pada orang seperti apa yang dapat saya nikahi, seolah menjadi istri seorang dokter atau diplomat merupakan suatu karir tersendiri.
Hal ini tentu menjengkelkan bagi saya yang sudah bersusah payah belajar dan menyusun cita-cita sedemikian rupa. Hanya untuk ia katakan sukses apabila suami saya kelak sukses. Terlepas dari sesukses apa saya nantinya. Pola pikir inilah yang menjadi ‘hantu’ dari ibuisme negara orde baru.
Mengenal Sang ‘Ibu’
Ibuisme negara adalah sebuah paham yang menempatkan kaum perempuan sebagai pekerja domestik tanpa dibayar demi mendukung kapitalisme negara. Paham ibuisme negara memungkinkan negara mengontrol masyarakat dengan perempuan sebagai alat.
Dalam tesisnya, Julia Suryakusuma menggabungkan konsep pengiburumahtanggaan (housewifization) oleh Maria Mies dan konsep ibuisme oleh Madelon Djayadiningrat sehingga menghasilkan suatu paham berperspektif gender yang komprehensif yang ia namakan ibuisme negara untuk memahami konstruksi sosial keperempuanan pada zaman Orde Baru.
Jika konsep pengiburumahtanggaan menilik peran perempuan hanya melalui lensa ekonomi dan konsep ibuisme dan priyayisasi menilik peran perempuan dalam proses Jawanisasi, konsep ibuisme negara menggabungkan kedua perspektif tersebut dan menambahkan sebuah unsur lagi: kontrol negara dengan gaya birokrasi militer ala Orde Baru.
Salah satu alat kontrol ini adalah organisasi yang kita kenal dengan nama Dharma Wanita. Yakni sebuah organisasi yang diperuntukkan terhadap istri Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tujuan dari Dharma Wanita adalah meningkatkan kualitas sumber daya anggota keluarga PNS untuk mencapai kesejahteraan—dengan kata lain sebagai perpanjangan bentuk kontrol negara terhadap negara sebagai unit terkecil dalam masyarakat.
Kontradiksi Peran Istri dan Ibu
Sama seperti Ayah, Kakek saya merupakan seorang pegawai perusahaan perkebunan milik negara, sehingga Nenek saya otomatis menjadi salah satu anggota Dharma Wanita dengan jabatan yang paralel dengan jabatan Kakek pada masanya. Beberapa hal yang selama ini saya sadari pada Nenek pun terasa masuk akal.
Suatu ketika, terjadi sebuah konfrontasi kecil antara Nenek dan Ibu. Nenek secara dramatis menyatakan bahwa anak-anaknya tidak mempedulikannya sehingga ia terlalu banyak menghabiskan waktu sendirian. Ibu kemudian ikut tersulut, mengatakan bahwa beliau tidak berhak berkata demikian karena Nenek juga jarang menghabiskan waktu bersama anak-anaknya akibat kesibukannya mendampingi Kakek pada masa itu.
Dharma Wanita memang lebih menekankan peran perempuan sebagai istri dibanding peran perempuan sebagai seorang ibu. Meski terdapat poin dalam Panca Dharma yang menyatakan wanita berperan sebagai pendidik dan pembimbing anak. Poin ini dikesampingkan oleh poin pertama Panca Dharma yang berbunyi ‘wanita sebagai pendamping setia suami’.
Dengan demikian, wajar saja jika Ibu dan saudara-saudaranya tidak begitu merasakan kehadiran Nenek semasa mereka kecil. Hal ini menjadi salah satu hipokrisi yang saya temukan, bagaimana hal yang dielukan menjadi tujuan utama seorang perempuan justru tidak terpenuhi akibat peran dengan narasi yang bernada sama sebagai seorang pendamping suami.
Membatasi Diri
Layaknya anak-anak lain, saya merasa bahwa Ibu merupakan seorang perempuan yang hebat. Sebelum ia menjadi ‘ibu rumah tangga’, ia sempat bekerja di sebuah bank dan hampir mencapai puncak karirnya sebelum ia berhenti. Bahkan setelah ia menjadi ‘ibu rumah tangga’, ia terus bekerja dalam manajemen kebun kelapa sawit keluarga sebagai kunci utama yang memastikan efektivitas produksi. Oleh karena itu, aneh rasanya ketika ia membicarakan kegiatannya di organisasi istri pegawai yang berkonsep sama dengan Dharma Wanita. Seolah hal tersebut merupakan pencapaian terbesarnya.
Secara lebih objektif, kegiatan organisasi yang saya maksud memang memberikan manfaat sesuai dengan program kerjanya. Seperti program pemberdayaan ibu-ibu pekebun hingga pendidikan anak. Namun, kegiatan organisasi istri pegawai seperti demikian hanya bersifat sebagai pendamping dari kegiatan para suami sebagai pegawai di kantor tersebut.
Mengutip Julia Suryakusuma, organisasi demikian mengharuskan kesukarelaan dari perempuan untuk mendukung kegiatan-kegiatan negara — tanpa bayaran. Posisi dan jabatan yang perempuan emban dalam organisasi tersebut juga memantulkan posisi dari suami mereka masing-masing, sehingga semakin menekankan ketidakberdayaan perempuan dalam menentukan posisi mereka sendiri.
Saya merasa bahwa Ibu terlalu membatasi diri sendiri. Dari percakapan kami, gagasannya mengalir tentang berbagai macam hal. Mulai dari pengasuhan anak hingga manajemen usaha. Tak jarang ia mengakui bahwa memiliki sebuah pekerjaan memberikan suatu kepuasan tersendiri — proses aktualisasi yang benar-benar memberdayakan diri sendiri.
Tetapi, ia selalu kembali menegaskan bahwa ia sedang melakukan hal terbaik yang dapat ia lakukan. Yakni mendukung suami dalam melakukan pekerjaannya dan membesarkan anak-anaknya dengan baik. Saya juga akhirnya mengerti mengapa Ibu begitu bangga atas kesibukan dan jabatannya dalam organisasi tersebut . Memang demikian kehidupan yang ia harapkan, saya saksikan dari kehidupan ibunya sendiri.
Jika memang demikian, maka saya tidak dapat menilainya dengan standar nilai pribadi saya belaka. Namun, jika kelak saya sendiri memiliki seorang anak perempuan, saya akan mengajarkan bahwa hanya diri dia yang berhak mendefinisikan diri sendiri. Bukan relasinya terhadap seorang laki-laki. []