Refleksi May Day: Sudahkah Pemerintah Indonesia Berpihak Pada Buruh?

Para buruh di seluruh Indonesia melakukan aksi damai sebagai bentuk perlawanan dan perjuangan, bukan hanya aksi perayaan simbolik semata.

Buruh

Buruh

Mubadalah.id – Rakyat dan buruh memperingati Hari Buruh Internasional atau yang biasa disebut May Day setiap tanggal 1 Mei.

Peringatan May Day berawal dari perjuangan para pekerja di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Pada 1 Mei 1886, ribuan buruh di Chicago menggelar aksi menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam per hari.

Aksi ini berujung pada peristiwa tragis yang dikenal sebagai Haymarket Affair. Peristiwa ini memicu gelombang represi terhadap gerakan buruh, termasuk penangkapan dan eksekusi terhadap para aktivis yang dianggap bertanggung jawab.

Sebagai respons atas insiden tersebut, Kongres Sosialis Internasional di Paris pada tahun 1889 menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Penetapan ini bertujuan untuk mengenang perjuangan para buruh yang gugur dan memperkuat solidaritas gerakan pekerja di seluruh dunia.

Sejak saat itu, berbagai Negara termasuk Indonesia memperingati May Day setiap tahunnya sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan di tempat kerja.

May Day juga sebagai ajang menyuarakan hak-hak buruh, termasuk upah layak, jam kerja manusiawi, dan kondisi kerja yang aman.

Janji Presiden Pada Buruh

Pada Februari 2024 lalu, saat kampanye Pilpres 2024 di Sidoarjo, Jawa Timur, Prabowo yang kala itu masih merupakan calon presiden (capres) nomor urut 02 menyatakan rakyat tidak boleh bekerja hanya dengan upah murah.

“Kami bertekad untuk rakyat Indonesia berdiri di atas kakinya sendiri. Rakyat Indonesia tidak boleh, dan kita tidak mau rakyat kita hanya bekerja dengan upah murah, dengan UMR, tidak mau. Kita bukan bangsa UMR” ucapnya. (mengutip dari pemberitaan Kompas TV).

Gibran Rakabuming Raka pada Januari 2024 juga menyebut akan memberikan atensi khusus mengenai persoalan buruh dan keselamatan kerja. Termasuk masalah pesangon, upah, dan pendidikan anak.

Presiden Prabowo mengumbar janji untuk menyejahterakan kehidupan buruh di Indonesia. Apakah janji tersebut benar ia realisasikan?

Gelombang PHK

Berbanding terbalik dengan janji yang tersampaikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada masa awal pemerintahan Prabowo telah terjadi PHK besar-besaran.

Mengutip dari GoodStats, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, ada lebih dari 18 ribu tenaga kerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang Januari hingga Februari 2025. Lonjakan tinggi khususnya terjadi pada bulan Februari.

Gelombang PHK ini banyak muncul dari sektor manufaktur, salah satunya raksasa tekstil Sritex yang harus merumahkan lebih dari 10 ribu tenaga kerjanya. Sejumlah perusahaan manufaktur lainnya juga berhenti beroperasi pada awal 2025.

Sementara itu, data Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menunjukkan bahwa ada lebih banyak tenaga kerja ter-PHK sepanjang Januari-Februari 2025 yakni 60 ribu tenaga kerja.

Kemnaker dan KSPI memiliki sumber data yang berbeda. Kemnaker memperoleh data dari perusahaan sementara KSPI memperoleh data dari para pekerja.

Imbas dari efisiensi anggaran oleh Pemerintah pusat juga menyebabkan PHK di dua lembaga stasiun penyiaran milik Negara yakni TVRI dan RRI.

PHK masal ini tentu saja bertolak belakang dari janji Presiden Prabowo yang akan menciptakan 19 juta lapangan kerja.

Kriminalisasi Buruh

Pada akhir tahun 2024 telah terjadi kriminalisasi terhadap buruh perempuan Septia.  Hakim mendakwa Septia atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE 2016 karena menyampaikan opininya dengan menyertakan fakta terkait pelanggaran hak ketenagakerjaan oleh Pelapor Jhon LBF di HiveFive melalui akun Twitter (X) pribadinya pada 2 November 2022.

Septia menyampaikan keresahan di akun Twitter (X) pribadinya terkait pelanggaran hak ketenagakerjaan oleh HiveFive. Hal tersebut adalah upaya Septia memperjuangkan haknya sebagai pekerja dan kepentingan umum.

Negara bukannya hadir untuk menjamin hak-hak pekerja malah turut andil dalam upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan.

Kasus Septia bukan satu-satunya yang terjadi di Indonesia.  Ada banyak kasus para pekerja yang dikriminalisasi dan tidak mendapatkan perlindungan, seperti yang terjadi pada buruh sawit misalnya.

Tuntutan Buruh Pada Pemerintah

Sehingga pada peringatan May Day tahun ini sekira 200.000 buruh turun ke jalan melakukan aksi damai untuk menyampaikan tuntutan mereka pada pemerintah.

Aksi damai ini mengusung tema besar “Buruh dan Rakyat Bersatu: Lawan Badai PHK, Wujudkan Supremasi Sipil, dan Tegakkan Hak Asasi Manusia!”

Tema tersebut diambil berdasarkan kondisi terkini yang para buruh alami di Indonesia. Ada beberapa tuntutan yang mereka bawa mengigat saat ini pergerakan ekonomi di Indonesia mengkhawatirkan dan mengancam kesejahteraan rakyat terutama buruh.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengungkapkan ada enam isu penting yang akan dibawa kepada Presiden Prabowo.

Para Buruh membawa beberapa isu dalam perayaan May Day seperti menghapus outsourcing, pembentukan satgas PHK, upah yang layak, perlindungan buruh dengan mengesahkan RUU Ketenagakerjaan yang baru dan pengesahan RUU PPRT.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirah, mendesak perusahaan untuk menghentikan praktik magang yang tidak adil dan merugikan Gen Z. Ia menuntut perusahaan untuk berhenti mengeksploitasi Gen Z.

Tidak hanya di Jakarta, para buruh hampir di seluruh Indonesia juga melakukan aksi damai sebagai bentuk perlawanan dan perjuangan bukan hanya aksi perayaan simbolik semata. []

Exit mobile version